Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengkhawatirkan pergeseran komitmen terhadap cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang merupakan usulan pemerintahan berjalan saat ini, seiring dengan momentum Pemilu 2024 dan pemerintahan baru kelak.
Olivia Herlinda, Chief of Research and Policy CISDI, menjelaskan perilaku dan kebiasaan mengkonsumsi produk tinggi gula serta rokok tidak hanya dipengaruhi keputusan individu, tetapi juga lingkungan sekitar dan kebijakan yang berlaku.
“Perilaku kita dipengaruhi sangat banyak sekali faktor, tidak sepenuhnya otonomi. Kita dipengaruhi iklan, kemudian di mana-mana ada banner dan sebagainya tentu juga secara subconsciously kita sudah sudah memasukkan (produk) itu dalam pikiran,” ujar Olivia dalam talk show berjudul; Cukai MBDK dan Rokok untuk Indonesia Lebih Sehat di Go Work, Menara Rajawali, Jakarta Selatan (05/12/2023) lalu.
Oleh karenanya, Olivia menjelaskan saat ini CISDI turut mengawal berjalannya dua kebijakan yang diyakini mampu menurunkan penyakit tidak menular dalam jangka panjang, yaitu RPP Kesehatan serta cukai MBDK.
“Kami mengapresiasi draf RPP Gula, Garam dan Lemak untuk pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular yang cukup progresif. Sudah ada masukan juga untuk tambahan front-of-package labeling dalam kemasan dan pembahasan mengenai cukai MBDK,” kata Olivia.
Asal tahu saja, prevalensi penyakit tidak menular (PTM) terus meningkat di Indonesia dengan stroke, jantung, dan diabetes masing-masing menempati posisi pertama, kedua, dan ketiga penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Seperti diketahui, rokok dan gula menjadi faktor risiko ketiga penyakit ini.
Olivia mengatakan masyarakat membutuhkan kebijakan yang bisa menciptakan lingkungan lebih sehat, mempunyai akses ke produk-produk pangan yang lebih sehat, dan memiliki informasi untuk mengambil keputusan menjalani pola hidup dan makan yang lebih sehat. Maka saat ini CISDI hanya masih menunggu draf akhir yang sudah disahkan untuk segera diterapkan.
Berlatar kondisi tersebut, CISDI bekerja sama dengan Bijak Memilih menyelenggarakan talk show ini dengan melibatkan puluhan anak muda yang aktif dalam proses diskusi urgensi cukai terhadap produk yang berpotensi membahayakan kesehatan, khususnya rokok dan MBDK.
Ahli Gizi Masyarakat, DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum, menjelaskan produk tinggi gula sama dengan rokok, lambat laun membuat konsumen kecanduan. Adapun beberapa ciri kecanduan gula yang mirip kecanduan rokok.
Menurut dr. Tan, beberapa ciri kecanduan ini termasuk kalau seseorang sedang marah, bete, atau sebal yang dicari adalah makanan manis atau minuman manis.
“Inginnya makan cuma sedikit, tapi lama-lama sepotong gede, next udah enggak bisa ngebatasin. Sama seperti orang merokok jadi kebiasaan dan tergantung sama rokok,” kata dokter Tan.
Dokter Tan juga menyoroti kemunculan produk-produk terbaru yang menyembunyikan kandungan gula sebenarnya.
“Next yang lebih parah lagi adalah munculnya produk bernama sugar free, tetapi di dalamnya ada xylitol, maltitol, sorbitol, ditambah dengan aspartam yang sekarang sudah ada penelitiannya malah menyebabkan kanker,” ujarnya.
Lebih lanjut kata dr. Tan Shot Yen, adanya pembiaran atas lingkungan tidak sehat selama lebih dari 70 tahun. Ini bisa dilihat dari tidak terselenggaranya kolaborasi pentahelix yang melibatkan pelaku industri dalam mengentaskan malnutrisi, termasuk obesitas.
“Zaman saya masih kecil, akses makanan kemasan enggak banyak. Warung sebelah cuma jual kopi sama pisang goreng. Tapi sekarang, tiap mengajak cucu saya ke supermarket, troli saya isinya penuh dengan produk makanan kemasan,” kata dokter Tan.
Sementara itu, dr. Fatcha Nuraliyah, MKM, dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, menerangkan saat ini Kementerian Kesehatan tengah mengusulkan pemberlakuan cukai MBDK dan berproses menyusun draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Gula, Garam, dan Lemak (RPP GGL) sebagai aturan turunan Undang-Undang Kesehatan.
“Draf RPP GGL saat ini sedang didiskusikan antar-kementerian sebab dibutuhkan kerja lintas kementerian agar aturan ini bisa berjalan baik. Sementara cukai MBDK sudah masuk dalam APBN 2024,” kata Fatcha.
Terkait pengendalian tembakau, Iman Maha Putra Zein, Project Lead for Tobacco Control CISDI, mengatakan bahwa CISDI telah memberikan masukan substansi dalam draf RPP Kesehatan mengenai tembakau sebagai zat adiktif. Masukan lain termasuk pengaturan rokok elektronik, yang sebelumnya hanya diatur Kementerian Keuangan sebagai salah satu produk yang dikenakan cukai. Namun, detil aturan lainnya, seperti pelarangan iklan, dinilai masih kurang ditegaskan di dalam draf tersebut.
“Tantangan saat ini adalah tidak ada satupun regulasi, baik undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah atau peraturan menteri yang melarang total segala macam bentuk iklan rokok. Padahal iklanlah yang menormalisasi produk rokok,” kata Iman.
Orang muda sebenarnya sudah cukup ramai membicarakan topik cukai rokok dan cukai MBDK. Bahkan, melalui wadah DPRemaja yang diinisiasi CISDI, orang muda sudah mulai membuat kampanye untuk mendorong kenaikan cukai rokok.
Zakiah, perwakilan DPRemaja Dapil I Jakarta yang mengikuti DPRemaja ketika masih duduk di bangku SMA, membagikan ceritanya tentang kampanye antirokok.
“Waktu SMA aku gerakin suara siswa-siswi dan bekerja sama dengan sekolah untuk membuat survei. Dalam waktu lima hari ada 1.000 lebih responden yang setuju jika cukai rokok perlu dinaikkan,” kata Zakiah.
Menurut Zakiah, kenaikan cukai rokok menjadi hal penting karena saat ini jamak didapati bahwa anak SD dan SMP sudah mulai merokok.
“Biasanya mereka nyoba rokok ketengan karena harganya murah,” ujarnya.
Harapan penanganan dampak buruk rokok bagi generasi muda sebenarnya berada di tangan calon pemimpin selanjutnya yang akan terpilih dari pemilu 2024. Sayangnya, ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden masih belum terlihat memprioritaskan dan belum pernah secara khusus membahas cukai rokok maupun cukai MBDK.
Efraim Leonard, Community Lead Think Policy Indonesia & Bijak Memilih, mengatakan partisipasi politik yang lebih aktif dan kritis dari generasi muda sangat dibutuhkan untuk mendorong capres dan cawapres memprioritaskan suatu isu atau program, termasuk cukai rokok dan cukai MBDK. Ia juga menjelaskan, partisipasi generasi muda diprediksi meningkat dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu lebih dari 50 persen dari total keseluruhan 5 pemilih.
“Untuk itu, generasi muda perlu memahami isu-isu yang diangkat oleh politisi dan partai politik yang akan dipilihnya nanti, karena proses pembuatan kebijakan akan menentukan masa depan mereka,” ujar Efraim.
Ia juga menambahkan, Bijak Memilih menghadirkan sebuah website bijakmemilih.id yang berisi informasi mengenai profil capres-cawapres, hingga keberpihakan partai terhadap suatu isu ataupun topik.
“Melalui website ini, para pemilih terutama pemilih muda bisa lebih mengenal capres-cawapres sebelum pemilu,” ucapnya.
Discussion about this post