Jakarta, Prohealth.id – Indonesian Youth Summit on Tobacco Control (IYSTC) pada tahun ini mengangkat tema “Cerdas Berpolitik untuk Kebijakan yang Berpihak pada Kesehatan Publik”.
Salah satu masalah kesehatan di Indonesia ditunjukkan dengan indikasi buruk bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok tertinggi ke-3 di dunia setelah China dan India. Berdasarkan hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS, 2022) menyatakan 70,2 Juta penduduk Indonesia adalah perokok, angka ini meningkat 8,4 juta selama 1 dekade. Belum lagi 83 persen perokok di dunia, mulai merokok sejak umur 14-25 tahun. Mirisnya, Indonesia adalah salah satu negara yang usia perokoknya semakin dini.
Menurut Eva Susanti, Direktur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan RI, dalam keynote speech di acara IYSTC 2, menyatakan bahwa data Tobacco Control Atlas menyebutkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah perokok terbanyak di Asia.
“Dari GATS kita ketahui bahwa perilaku merokok ini masih menjadi ancaman dan terlebih anak-anak sudah mulai merokok di bawah usia 18 tahun. Lebih parahnya, hasil studi terkait beban penyakit, akibat penyakit tidak menular akan terjadi disabilitas dan kematian dini yang meningkat pada usia remaja dan puncaknya pada usia produktif. Salah satu faktor risikonya adalah perilaku merokok,” jelas Eva dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Sabtu (16/12/2023).
Eva menambahkan bahwa sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs), Indonesia memandang peran anak muda sangat penting. Undang-Undang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib mensinergikan keterlibatan dan partisipasi aktif dari generasi muda secara inklusif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Maka, dalam IYSTC #2 juga menghadirkan perwakilan pemuda dalam talk show Muda Berpolitik.
Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, dalam membuka sesi talk show menyoroti bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 tertinggi di dunia pada indeks Tobacco Industry Interference dengan skor 84. Hal ini membuat komitmen politik pemerintah dalam mengatur konsumsi rokok tidak optimal, terbukti dari lemahnya pengaturan konsumsi rokok di UU Kesehatan Omnibus Law yang baru ataupun pada proses dead-locknya wacana revisi Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengendalian Bahan Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan yang seharusnya sudah direvisi sejak 2018 namun berakhir tidak selesai.
“Rokok produk legal tapi tidak normal, maka perlu dikendalikan konsumsinya. Saat ini pemerintah sedang menyusun RPP Kesehatan yang salah satunya mengatur tentang pasal zat adiktif. Kami mendesak agar kebijakan yang seharusnya memperkuat regulasi sebelumnya, tidak lagi diintervensi oleh industri rokok. Momentum Pemilu seharusnya tidak menghambat kebijakan pro perlindungan anak dan kesehatan masyarakat,” jelas Shella.
Berbicara tentang isu kesehatan dan pengendalian rokok, Melki Sedek Huang, Ketua BEM Universitas Indonesia turut menyampaikan bahwa isu ini harus diperjuangkan dan disuarakan secara kritis supaya tidak bisa diintervensi oleh industri. Ia menyebut, kebebasan anak muda dalam menyampaikan pendapatnya harus dijamin keamanannya.
“Semakin sering anak muda berisik, semakin baik. Hari ini kita memang susah, memang ini sistem, tetapi kalau sistem ini dibantu dengan kehadiran dari anak muda, maka itu jadi tonggak untuk mendukung hal yang lebih baik di masa depan,” tegas Melki.
Hal ini pun diamini oleh Rian Fahardhi, Founder Distrik Berisik, yang mengaku hari ini salah satu fokus anak muda adalah cara membangun solidaritas.
“Bangun kekuatan di isu masing-masing. Kita butuh kekuatan dan kesadaran. Usaha yang bisa kita lakukan kita mesti membangun kesadaran baru dengan memperjuangkan sampai ke akar-akarnya. Saya yakin bahwa tidak akan ada yang sia-sia. Kalau memang isu ini penting, maka harus jadi generasi yang siap turun tangan, tidak hanya unjuk tangan,” tutur Rian.
Oleh karena itu, memasuki momentum pemilu, penting bagi anak muda untuk mengetahui track record baik dari capres, cawapres, legislatif, maupun eksekutif.
Try Luthfi Nugroho, Public Affairs Lead Bijak Memilih menekankan bahwa setidaknya ada tiga framework yang digunakan di Bijak Memilih. Pertama, mengetahui isu. Anak muda harus ketahui isu apa yang mau kita perjuangkan, misalkan tentang pengendalian rokok. Kedua, mengetahui partai politik mana yang mendukung isu tadi. Ia menyebut, Bijak Memilih menyediakan informasi untuk mengetahui hal tersebut. Ketiga, kritis terhadap rekam jejaknya.
“Kalau melihat dari ketiga capres, mereka semua peduli pada isu anak (stunting) dan kesehatan ibu. Kalau aspek rokok, tidak ada yang spesifik menyebutkan itu, tapi lebih ke pola hidup sehat. Proses pemilu merupakan proses transfer kedaulatan dari rakyat ke pemimpin negara. Maka, gunakan hak pilih kalian sebaik-baiknya,” jelas Luthfi.
Sejalan dengan yang disampaikan terkait track record, IYCTC juga turut meluncurkan situs www.pilihantanpabeban.id. Situs ini memuat tentang kebijakan-kebijakan pengendalian rokok yang selama ini turut menjadi pertanyaan apakah ada intervensi industri rokok di dalamnya, serta memunculkan mapping para eksekutif dan legislatif yang mendukung maupun menolak terhadap kebijakan pengendalian rokok.
Data ini didapatkan berdasarkan pandangan/sikap yang ambil dari berita media massa. Adapun tujuan gerakan Pilihan Tanpa Beban ini untuk mencari figur dan kolektif gerakan yang mampu berkomitmen mencegah konflik kepentingan korporasi industri rokok dengan kebijakan publik ke depannya.
Dalam acara IYSTC 2 ini, IYCTC bermaksud mengonfirmasi atas temuan yang telah ada di dalam website dengan mengundang perwakilan partai politik incumbent dan pendatang baru, sekaligus mengonfirmasi komitmen mereka dalam kebijakan pengendalian rokok melalui debat partai politik. Sayangnya, tidak ada satupun partai politik incumbent yang hadir. Hanya terdapat 3 perwakilan partai pendatang baru yang hadir, diantaranya Partai Buruh yang diwakili oleh Ilhamsyah, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia yang diwakili oleh Rina Adeline, dan Partai Persatuan Indonesia/Perindo yang diwakili oleh Michael Victor Sianipar.
Berkaitan dengan regulasi dan intervensi dari industri rokok, Rina Adeline, Partai Gelora, menyampaikan bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat besar dan setuju regulasi juga diperketat, termasuk harga rokok yang masih murah, cukai yang rendah.
Ilhamsyah, Partai Buruh, menambahkan bahwa apapun hanya akan menjadi ide dan gagasan yang didiskusikan, selagi negara tidak mempunyai keberpihakan kepada masyarakat, selagi hanya mengedepankan kepada investasi yang punya modal. Negara tidak boleh berorientasi pada kepentingan pribadi/pada kepentingan modal. Kalau tetap seperti itu, maka harus ada perubahan politik.
“Kami menginginkan perubahan politik. Rakyat harus mempersatukan kekuatan, baik dari masyarakat, NGO, masyarakat sipil, harus sadar bahwa perlu ada perubahan politik,” katanya.
Sementara itu Michael, Partai Perindo, memperkuat bahwa pendidikan adalah satu aspek yang tidak boleh ketinggalan, selain itu harga rokok harus dinaikkan karena masih mudah dijangkau dan masih banyak tempat yang menjual eceran. Terkait dengan larangan iklan (rokok) juga harus didorong. Ini semua bisa terjadi kalau pemilik otoritas bisa berlaku adil pada kepentingan masyarakat umum. Proses yang cacat akan melahirkan regulasi yang cacat.
Michael yakin bahwa semua punya kepentingan, tapi tidak boleh ada kepentingan golongan yang melebihi kepentingan negara. Pada akhir kegiatan ada empat orang muda yang menyampaikan gagasan besarnya untuk pengendalian tembakau di Indonesia pasca Pemilu 2024. Mereka adalah Sarah Haderizqi Imani (Kota Tangerang, Banten), Andi Indah Ayu Lestari (Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan), Mutiara Apridha Putri (Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan), dan Kharisma Putri S. W (Kota Madiun, Jawa Timur). Empat anak muda ini percaya bahwa momentum pemilu adalah momentum tepat untuk menguji kembali nalar kritis calon pemimpin di Indonesia. Baik itu calon presiden-wakil presiden maupun legislatif di tingkat pusat dan daerah.
Semua tokoh politik harus mempertimbangkan kebijakan yang berbasis bukti dan meletakkan keberpihakan yang jelas yaitu memenuhi hak atas kesehatan masyarakat serta kesejahteraan yang adil bagi semua. IYSTC tahun ini juga menekankan peran orang muda dalam politik yang seharusnya tidak lagi menjadi objek tapi subjek yang berdaya.
Acara ini dihadiri setidaknya 100 orang peserta secara luring dan telah ditonton oleh lebih dari 3000 (tiga ribu) orang pada streaming Youtube. IYSTC ini merupakan acara di tahun kedua, setelah sebelumnya dilaksanakan pada 2022 lalu. Harapannya, IYSTC 2 ini dapat mendorong anak muda berpartisipasi secara bermakna dalam mengambil inisiatif untuk memilih calon pemimpin yang pro terhadap kesehatan, termasuk mengendalikan rokok di Indonesia.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh keresahan IYCTC pada isu kesehatan yang menjadi isu minor dalam perumusan kebijakan. Oleh karena itu, perspektif ini harus diubah mengingat momentum politik yaitu Pemilu 2024 akan segera hadir, menjadi penting bagi masyarakat sipil untuk terus mendorong narasi progresif agar seluruh kandidat mulai dari capres-cawapres hingga caleg RI dan daerah dapat mengambil perhatian serius pada isu ini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post