PEMILU: Luputnya Permasalahan Gambut di Debat Cawapres
Ada permasalahan mendasar yang terlewat dari debat calon wakil presiden terhadap isu pangan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan karena sikap semua pasangan calon (paslon) masih ambigu terhadap isu gambut.
Jakarta, Prohealth.id – Dalam debat calon wakil presiden (Cawapres) ketiga paslon menyinggung isu deforestasi dan penyediaan tanah untuk rakyat.
Menurut siaran resmi dari Pantau Gambut, klaim terkait deforestasi belum sepenuhnya mencerminkan keberpihakan para paslon terhadap masalah gambut. Hal ini mengingat mayoritas partai pengusung ketiga pasang calon memiliki sikap dukungannya terhadap Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law sektor ketenagakerjaan.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (22/1/2023), dari Pantau Gambut ketiga paslon juga tidak menyinggung kerusakan ekosistem gambut dan dampaknya berupa kebakaran hutan dan lahan.
Wahyu Perdana, Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut menyebutkan bahwa gagasan para cawapres tentang isu pangan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan di debat kemarin cenderung normatif saja. Ia mengatakan, hampir semua partai politik mendukung Undang-undang Cipta Kerja sehingga memiliki dampak negatif yang signifikan pada tata kelola kehutanan dan agraria.
Dengan tegas, Wahyu menyatakan bahwa regulasi ini ‘memutihkan’ perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Padahal, pemberian izin ini membuat kerusakan pada 407,2 ribu hektare kesatuan hidrologi gambut (KHG) dalam fungsi lindung ekosistem gambut.
Masalah kian parah akibat penegakan hukum yang tidak tegas dan transparan. Padahal KLHK telah menyegel 35 perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023.
Dalam konteks pangan, Undang-undag Cipta Kerja memberikan dampak buruk. Regulasi sapu jagad tersebut meredefinisi klausul cadangan pangan nasional pada UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Setelah perubahan, impor pangan dapat dilakukan meskipun cadangan pangan nasional masih mencukupi. Petani lokal pun menjadi korban karena pasokan pangan dari luar negeri yang membanjiri pasar nasional.
Situasi ini adalah konsekuensi dari persetujuan para partai politik yang ikut mengesahkan Omnibus Law sektor ketenagakerjaan. Peran partai pendukung ketiga calon presiden dan wakilnya juga bertanggung jawab atas gagalnya proyek Food Estate sebagai program pemenuhan kebutuhan pangan nasional.
Tim Pantau Gambut menemukan penanaman singkong di Kabupatan Gunung Mas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah gagal total. Hal ini lantaran hanya ada dua hingga lima singkong kecil seukuran jari. Ukurannya masih jauh berbeda dari singkong umumnya yang bahkan menyerupai lengan tangan manusia.
Pada akhirnya, peran partai politik sangat sentral, baik dalam konteks penentuan calon presiden maupun penentuan kebijakan strategis pasca pemilihan umum. Pasca pemilihan umum, partai politik sebagai anggota parlemen menjadi pemeran utama dalam perumusan kebijakan–khususnya undang-undang.
Dengan kata lain, calon presiden dan wakilnya bukanlah aktor tunggal dalam pembuatan kebijakan. Presiden terpilih yang tidak sejalan dengan sikap partai pendukungnya membuat visi- misi-program saat kampanye menjadi ambigu. Hal ini dapat menimbulkan disintegrasi pemerintahan.
“Perbedaan antara program Paslon dan sikap partai politik pengusungnya membuat perlu adanya pemantauan dan advokasi. Tujuannya untuk memastikan implementasi kebijakan sesuai dengan kepentingan publik, perlindungan lingkungan hidup, dan prinsip-prinsip demokrasi,” katanya.
Discussion about this post