Jakarta, Prohealth.id – Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial Sekda Pemprov DKI Mariana mengatakan, merokok merupakan faktor risiko utama bagi berbagai penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, kanker, saluran pernafasan, hingga diabetes.
Kondisi menyebabkan lebih dari 70 persen kematian dini, secara global dan juga meningkatkan risiko penyakit menular, seperti TBC sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. “Ditambah beberapa penelitian telah menunjukkan kaitan antara merokok dan Covid-19,” kata Mariana pada sesi webinar “Bahaya merokok dan Covid-19 serta Upaya Mengendalikannya”, Selasa (30/11/2021) lalu.
Kajian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 29 April 2020 menemukan fakta bahwa seorang perokok yang menderita Covid-19, kemungkinan tingkat keparahannya dan risiko kematiannya akan lebih tinggi dibandingkan penderita yang tidak merokok. Perokok telah merusak fungsi paru-paru sehingga tubuh lebih sulit melawan virus corona dan penyakit-penyakit penyerta yang dimilikinya.
Selain itu, menurut Mariana, ada penelitian terbaru terhadap perubahan status dan perilaku merokok setelah 10 bulan di masa pandemi di Indonesia. Penelitian itu dilakukan oleh Center for Indonesia’s Strategies Development Initiatives (CISDI).
“Sebagian besar perokok tidak mengubah status merokoknya dan tetap merokok selama masa pandemi,” ungkapnya.
Hal itu dibenarkan oleh Lara Rizkia, peneliti CISDI yang hadir sebagai pembicara pada webinar yang digelar oleh Smoke Free Jakarta tersebut. Survei tersebut menjelaskan tentang perubahan status dan perilaku merokok yang dilakukan setelah 10 bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, dimana jumlah perokok aktif persisten sebesar 29 persen.
“Sebanyak 29 persen responden menyatakan tetap merokok setelah 10 bulan masa pandemi Covid-19,” kata Lara.
Selain itu, 4 dari 10 perokok aktif persisten telah mengurangi konsumsi dan pengeluaran merokok. Sebanyak 37 – 42 persen perokok aktif persisten mengurangi batang rokok yang dikonsumsi dan pengeluaran untuk membeli rokok.
Lalu, satu dari empat perokok aktif persisten ternyata beralih ke rokok murah. “Terdapat 24 persen perokok aktif persisten yang beralih ke rokok yang lebih murah selama masa pandemi.
Menurut Lara, meskipun sebagian besar perokok tidak mengubah konsumsinya (adiktif), sekitar seperempat dari mereka adalah perokok rasional yang responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi.
“Ini karena terpaksa, karena kondisi ekonomi, sehingga mereka harus mengurangi konsumsinya,” paparnya.
Hanya saja, terdapatnya variasi harga rokok dari murah hingga mahal, yang memungkinkan perokok beralih ke rokok yang lebih murah. “Perokok akhirnya memilih rokok ketengan, yang penting tetap merokok meskipun jumlahnya sedikit,” tegas Lara.
Tak hanya penelitian CISDI, Mariana juga menyampaikan laporan terbaru yang dilakukan oleh Muhammadiyah Covid-19 Command Center. Penelitian tersebut menjelaskan tentang bahaya merokok dan kaitannya dengan Covid-19.
“Upaya-upaya telah dilakukan, seperti edukasi, publikasi yang terus menerus untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang bahaya merokok dan Covid-19,” ujar Mariana.
Dosen Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan (FIKES) Emma Rachmawati yang hadir pada sesi webinar menjelaskan bahwa riset yang mereka lakukan berkaitan dengan signifikansi penyakit kronis dan perilaku merokok dalam perkembangan sindrom gangguan pernapasan akut pada pasien Covid-19.
Hasil riset menunjukkan adanya penyakit kronis dan perilaku merokok dapat digunakan sebagai prediksi awal perkembangan ARDS (ISPA akut) di antara pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
“Adanya satu penyakit kronis diidap oleh pasien plus perilaku merokok dapat digunakan sebagai deteksi awal untuk melihat pengembangan penyakit akut dari ISPA, diantara pasien Covid-19 yang berpotensi meninggal atau dirawat di ICU,” papar Emma.
Pengurus Muhammadiyah Covid-19 Command Center itu juga menyebutkan, hasil riset mereka menemukan sebanyak 148 orang atau setara 31,2 persen pasien Covid-19 merupakan perokok, terdiri dari laki-laki 140 orang atau setara 60,87 persen, dan sisanya perempuan.
“Ini sesuai dengan data nasional perokok laki-laki yang jumlahnya 60 persen dan pasien Covid-19 juga 60 persen,” katanya.
Emma menambahkan, status merokok pasien current (masih aktif merokok hingga sekarang) dan former smoker (mantan perokok) pada kelompok usia di atas 60 tahun berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan pasien Covid-19.
“Status merokok pasien former smoker berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan pasien Covid-19,” ungkap Emma.
Riset mencatat, rata-rata kelompok pasien yang masuk kategori current smoker menghabiskan lebih dari 8 batang rokok perhari.
Temuan lainnya, perokok terbanyak pada kelompok pasien Covid-19 dengan penyakit komorbid terbanyak adalah Hipertensi 82 orang atau setara dengan 34,74 persen, dan diabetes 75 orang atau setara 31,77 persen.
Adapun perokok pada kelompok usia dibawah 60 tahun sebanyak 118 orang setara dengan 30,49 persen. Sementara perokok pada kategori tingkat keparahan Covid-19 meliputi 148 perokok setara dengan 33,71 persen pada rawat inap sebanyak 439 orang, dan 13 orang atau setara 25 persen pada perawatan ICU yaitu 52 orang.
Sementara itu, Pengelola Program Napza Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Intan Kusumawati menjelaskan bahwa prevalensi perokok usia diatas 15 tahun berdasarkan Riskesdas 2018 jumlahnya turun menjadi 33,8 persen dari 36,3 persen pada Riskesdas 2013
Namun, menurunnya jumlah perokok di 2018 ternyata berdampak buruk pada perokok muda. Jika pada Riskesdas 2013, perokok muda prevalensinya 7,2 persen, di Riskesdas 2018 angkanya naik menjadi 9,1 persen.
“Jika tidak segera dilakukan upaya pengendalian dan pencegahan, diperkirakan pada 2030, jumlah perokok muda kita bisa mencapai angka 30 persen,” terangnya.
Menurut Intan, di dalam satu batang rokok ditemukan banyak senyawa kimia berbahaya. Menurut penelitian, tidak ada satu pun dari bahan kimia tersebut yang memiliki manfaat bagi tubuh.
“Rokok itu adalah racun, namun secara sadar masyarakat mengkonsumsinya. Dan nikotin menyebabkan adiksi atau ketagihan,” ujarnya.
Sejauh ini, kematian akibat rokok berhubungan dengan penyakit jantung sistemik, kanker dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Termasuk juga penyakit lainnya, seperti Hipertensi dan Diabetes.
Sementara itu, data kasus Covid-19 di Jakarta hingga 28 November 2021, menurut Intan, telah mengumpulkan data kasus positif sebanyak 863.862. Adapun jumlah total secara nasional sebanyak 4.255.936 kasus.
Khusus terkait total kematian di DKI Jakarta sebanyak 13.576 orang, sementara secara nasional jumlahnya mencapai 143.808 jiwa.
Sedangkan capaian vaksinasi di DKI Jakarta sudah mencapai 90%, baik dosis I maupun II. Vaksinasi dosis I sebanyak 11.091.875 dan dosis II sebanyak 8.987.124.
“Namun ini jangan membuat kita lengah karena vaksinasi bukan segalanya. Masih banyak hal penting lainnya yang harus kita lakukan dalam upaya pencegahan Covid-19,” katanya.
Intan mengingatkan bahwa pandemi belum berakhir. Saat ini, sejumlah negara di dunia sedang bersiap menghadapi gelombang ke-4 Covid-19. “Selain ada beberapa varian baru yang muncul,” ujarnya.
Oleh karena itu, Intan mengingatkan tentang pentingnya protokol kesehatan. Saat ini, upaya pencegahan Covid-19 dari yang awalnya 3M telah berkembang menjadi 6M.
“Pertama kita harus memakai masker. Sampai hari ini masker tidak lepas dari wajah kita. Kita juga disarankan untuk rajin mencuci tangan, menjaga jarak fisik minimal 1 m. Kemudian membatasi mobilitas, menghindari keramaian dan kerumunan, serta menghindari makan bersama,” terangnya.
Enam hal penting itu harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini hingga nanti kedepannya. Selain itu, upaya pencegahan Covid-19 bisa didukung dengan menerapkan perilaku CERDIK.
CERDIK awalnya merupakan slogan yang kerap digunakan terhadap pencegahan penyakit tidak menular. CERDIK diawali dengan cek kesehatan secara rutin. Menurut Intan, penduduk berusia 15 – 59 tahun wajib memeriksakan kesehatan di fasilitas layanan kesehatan, minimal 1 kali dalam setahun.
“Itu mencakup pemeriksaan tekanan darah, berat badan, tinggi badan, lingkar perut, gula darah, kolesterol dan termasik screening merokok,” katanya.
Selain itu, warga diminta untuk enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet seimbang, istirahat cukup dan kelola stres.
Jika perilaku CERDIK dan protokol 6M dilakukan, ditambah kegiatan vaksinasi, Intan meyakini, warga lebih terlindungi dari bahaya Covid-19. “Dan jika pun kita terpapar apabila telah divaksinasi, mudah-mudahan kasusnya tidak menjadi berat,” katanya.
Pentingnya vaksinasi diamini oleh Mariana. Menurutnya, komitmen Pemprov DKI dalam memberikan perlindungan terbaik bagi warga Jakarta tak perlu diragukan lagi. Bahkan, bagi mereka yang ingin berhenti merokok bisa mendatangi pelayanan berhenti merokok yang disediakan di Puskesmas.
“Informasi tentang pelayanan berhenti merokok telah disediakan oleh Pemprov DKI kepada mereka yang ingin berhenti merokok,” katanya.
Mariana menambahkan, “Hal itu merupakan komitmen Pemprov DKI Jakarta melalui program The Partnership for Healthy Cities untuk melindungi kesehatan masyarakatnya.”
Selain itu, Mariana mengimbau masyarakat untuk aktif melakukan pemantauan di kawasan dilarang merokok, kawasan dilarang reklame rokok, termasuk melaporkan pelanggaran terhadap Pergub, Ingub serta Sergub yang telah dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta. “Ini bisa dilakukan melalui aplikasi JAKI,” ujarnya.
Terakhir, dia mengingatkan semua pihak, termasuk keluarga, kolega dan teman untuk selalu menjalankan protokol kesehatan demi mencegah penyebaran Covid-19.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post