Kelahiran Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dipicu oleh sejumlah kasus dugaan kekerasan seksual di sejumlah kampus yang menjadi pemberitaan di media massa. Perguruan tinggi sebagai lembaga intelektual dan pendidikan tertinggi ternyata tidak lepas dari sejumlah kasus kekerasan seksual.
Di sisi lain, pada saat itu peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana kekerasan seksual dinilai masih belum komprehensif. Peraturan perundang-undangan yang ada dinilai belum berpihak sepenuhnya pada korban kekerasan seksual. Pembuktian kekerasan seksual yang sulit hingga aturan tentang pelindungan dan pemulihan korban yang tidak ada menjadi salah satu Kendal dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Sejumlah pihak, baik legislatif, eksekutif, hingga kelompok masyarakat sipil sebenarnya terus mendorong peraturan perundang-undangan tentang kekerasan seksual. Namun, sejumlah perdebatan yang belum menemukan titik temu membuat pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan menemui jalan buntu.
Di tengah kekosongan aturan di ranah pidana tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melangkah lebih cepat dengan menerbitkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut memang bukan untuk penanganan kasus di ranah pidana, tetapi dinilai cukup komprehensif dalam memberikan pelindungan dan penanganan dampak kepada korban dan memberikan efek jera kepada pelaku hingga mencegah keberulangan.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chatarina M Girsang mengatakan Permendikbudristek tersebut bagaikan embun di tanah tandus karena merupakan regulasi yang ditunggu-ditunggu. Perguruan tinggi ternyata rentan dengan kekerasan seksual yang bagaikan fenomena gunung es.
“Kampus yang berisikan orang dewasa dan manusia yang memiliki intelektual tertinggi ternyata rentan dengan kekerasan seksual. Yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada yang terjadi. Karena itu, kekerasan seksual di kampus tiidak bisa dianggap enteng,” kata Chatarina dalam Seminar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi yang diadakan di Auditorium Gedung D Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi secara daring dan luring, Selasa (6/12/2022).
Chatarina mengatakan setelah Permendikbudristek tersebut diundangkan, muncul sejumlah korban yang akhirnya berani berbicara melalui sejumlah saluran. Mereka menyayangkan mengapa Permendikbudristek tersebut tidak lahir lebih awal, sehingga saat mereka menjadi korban bisa dibantu mengatasi trauma yang dialami dan mengganggu proses pendidikan mereka di kampus.
Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memang mengambil paradigma keberpihakan kepada kepentingan terbaik bagi korban. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di kampus yang diamanatkan dalam Permendikbudristek tersebut, harus mengutamakan pada penanganan dampak psikologi korban untuk mengurangi traumanya, seiring dengan pemeriksaan kasus yang berujung pada rekomendasi sanksi bagi pelaku.
“Fokusnya pada dampak yang timbul akibat kekerasan seksual, baik dampak fisik maupun psikis. Itu yang harus menjadi perhatian Satgas PPKS. Dampak psikis yang paling utama, maka perlu pendampingan dari psikolog klinis untuk membantu korban sekaligus pembuktian dampak psikisnya,” jelas Chatarina.
Satgas PPKS di kampus dapat menggunakan hasil pemeriksaan psikis yang dilakukan psikolog sebagai alat bukti dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Bahkan, Satgas PPKS dapat merekomendasikan sanksi yang lebih berat bagi pelaku kepada pimpinan perguruan tinggi bila dampak psikis yang dialami korban semakin berat.
“Berbeda dengan kekerasan fisik yang penanganannya relatif bisa lebih adil karena pengelola kampus memiliki pemahaman yang sama, pembuktian kekerasan seksual lebih sulit. Karena itu dukungan pimpinan kampus sangat penting. Jangan karena pelakunya dosen yang lebih dikenal, pimpinan kampus lebih percaya daripada dengan mahasiswa yang menjadi korban,” kata Chatarina.
Kekerasan Berbasis Gender
Ketua Asosiasi Pusat Studi Wanita dan Gender Indonesia Prof. Emy Susanti mengatakan kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender lainnya antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi.
“Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang paling berat karena bisa berdampak pada fisik, psikis, bahkan ekonomi,” kata Emy.
Kekerasan berbasis gender terjadi karena terdapat diskriminasi gender, terutama pada perempuan. Emy mengatakan perempuan mengalami banyak diskriminasi sepanjang hidupnya, bahkan sejak lahir. Misalnya, kelahiran anak laki-laki dirayakan lebih meriah daripada anak perempuan, anak laki-laki lebih berpeluang mendapatkan pendidikan lebih tinggi, hingga perempuan pekerja mendapatkan upah yang lebih tinggi.
Diskriminasi gender terhadap perempuan seolah menjadi bagian dari budaya di masyarakat, terutama pada masyarakat patriarki. Karena itu, menurut Emy, tidak perlu merasa heran bila di perguruan tinggi yang merupakan masyarakat intelektual terjadi kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual karena faktor budaya hidup di masyarakat.
Emy mengatakan mencontohkan diskriminasi gender saat terjadi kekerasan seksual di perguruan tinggi, ketika perempuan yang menjadi korban. Kerap kali pimpinan perguruan tinggi belum berpihak pada kepentingan korban dan malah menyalahkan gaya berpakaian korban sebagai pemicu kekerasan seksual. Diskriminasi lainnya adalah pimpinan perguruan tinggi fokus pada penjatuhan sanksi pada pelaku, tetapi malah tidak memberikan bantuan kepada korban.
“Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi menjadi perhatian karena perguruan tinggi merupakan contoh bagi masyarakat. Bila terjadi kekerasan seksual di perguruan tinggi, maka akan menjadi contoh buruk dan mencerminkan kondisi di masyarakat,” tuturnya.
Penasihat Dharma Wanita Persatuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Franka Makarim memberikan apresiasi kepada para rektor dan pimpinan perguruan tinggi yang memberikan dukungan dan membantu korban kekerasan seksual yang melapor.
“Saya berharap kita bisa memberikan suasana kampus yang aman dan kondusif. Bila kampus sudah aman dari kekerasan seksual, semoga masyarakat di lingkungan sekitarnya juga tidak berani melakukan kekerasan seksual,” katanya.
Franka mengatakan perguruan tinggi sudah memiliki landasan hukum dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Pimpinan perguruan tinggi dan Satgas PPKS yang dibentuk harus “jemput bola” dengan lebih menempatkan keberpihakan kepada mereka yang menjadi korban kekerasan seksual.
Mengingat kekerasan seksual masih terjadi di lingkungan perguruan tinggi, Franka meminta sivitas akademika mengambil langkah nyata untuk melakukan pencegahan dan pemenuhan hak korban serta melakukan pendekatan untuk mencegah keberulangan bukan hanya menangani kasus yang sedang terjadi.
“Kebijakan dan aturan dari Kementerian tidak akan berdampak nyata kalau kita hanya berdiam diri saat ada kasus kekerasan seksual yang muncul,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Prof. Nizam mengatakan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan hal baru untuk memastikan kampus aman dan nyaman serta membahagiakan bagi seluruh sivitas akademika.
“Kita berharap bila kampus aman dan bisa memberikan rasa aman dari kekerasan seksual, akan menular kepada lingkungan di sekitarnya,” tuturnya.
Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual
Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menyebutkan kekerasan seksual mencakup Tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Indikator yang menjadi penanda suatu tindakan dapat dikatakan sebagai kekerasan adalah terdapat paksaan. Paksaan bisa dalam bentuk pemberian hukuman ataupun iming-iming atau bujuk rayu.
Permendikbudristek tersebut menyebutkan kekerasan seksual mencakup 21 jenis atau bentuk tindakan, yaitu menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban; memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; dan menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual kepada korban.
Kemudian, menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat tidak nyaman; mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban; mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Lalu, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi (transaksi tidak terbatas pada transaksi uang, tetapi juga meliputi transaksi jabatan, angka kredit, prestasi, ataupun transaksi nilai lainnya) atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
Selain itu, memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban; memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual.
Kekerasan seksual juga mencakup melakukan percobaan perkosaan, tetapi penetrasi tidak terjadi; melakukan perkosaan, termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi; memaksa atau memperdayai korban untuk hamil; membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja (yang dimaksud sengaja adalah bertujuan untuk membuat seseorang mengalami kekerasan seksual); dan/atau melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
Banyak korban yang belum memiliki kapasitas diri atau pemahaman mengenai hak-haknya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk membela diri. Korban merasa harus mengikuti keinginan pelaku.
Dalam beberapa kasus, pelaku melakukan kekerasan seksual melalui manipulasi dan bujuk rayu, seperti menjanjikan sesuatu kepada korban sehingga korban tidak menyadari kekerasan seksual yang dialami. Apalagi, pelaku memiliki otoritas terhadap pelaku, misalnya antara dosen dengan mahasiswa, sehingga terjadi ketimpangan relasi kuasa.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post