Dari hasil asesmen dan survei ECPAT Indonesia pada 2020-2022, kasus eksploitasi seksual anak di ranah daring meningkat. Sebanyak dua persen anak pengguna internet berusia 12 hingga 17 tahun di Indonesia adalah korban dari kasus-kasus serius eksploitasi dan pelecehan seksual online dari temuan penelitian pada 2022.
Hasil asesmen yang dilakukan bersama WhatsApp pada 2021 menyebutkan 2,9 persen anak pernah mendapatkan konten pornografi. Sedangkan hasil asesmen yang dilakukan bekerjasama dengan Bandungwangi pada 2021 menemukan adanya peningkatan penawaran eksploitasi seksual anak dalam prostitusi secara online di masa pandemi.
Penelitian bersama Aliansi Down to Zero di tahun 2020 menemukan 3 dari 10 responden anak mengalami kejahatan dalam bentuk eksploitasi seksual anak di ranah daring.
“Fakta-fakta tersebut mendorong ECPAT Indonesia menitikberatkan program-programnya pada 2023 untuk membangun sistem pencegahan eksploitasi seksual anak di ranah daring,” ucap Kordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian seperti dikutip dari pers rilis Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2023 “Keberlanjutan Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual” di Jakarta pada Jumat, 29 Desember 2023.
Di samping itu belum ada peraturan secara khusus tindak eksploitasi seksual anak di ranah daring berdasarkan hasil kajian kebijakan yang dilakukan ECPAT Indonesia. Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dia melanjutkan,“Situasi ini membuat kasus-kasus seperti grooming online, sexting, sextortion, dan live streaming terhadap anak belum mendapatkan jaminan kepastian hukum.”
Karena itu ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indonesia Child Online Protection (ID-COP), dan UNICEF bekerja sama untuk menyusun draft rancangan peraturan peta jalan perlindungan anak di ranah daring.
Langkah ini diproyeksikan memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak Indonesia dari predator seksual ketika berselancar di internet. Sedangkan Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan hingga Agustus 2023 ada 2335 kasus kekerasan anak di Indonesia dengan jumlah kekerasan seksual anak sebanyak 487 kasus.
Berdasarkan data dari Simfoni PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sampai Desember 2023 ada 12.391 kasus kekerasan seksual, 351 kasus eksploitasi, dan 401 kasus trafficking dengan jumlah korban anaknya yang mencapai 19.017.
“Dengan banyaknya kasus kekerasan dan eksploitasi yang menimpa anak maka diperlukan komitmen penyelesaian kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi seksual anak di Indonesia. Implementasi kebijakan hukum yang ada juga perlu mendapatkan perhatian lebih agar korban mendapatkan jaminan kepastian hukum dari kasus-kasus yang menimpa mereka dan dapat memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban,” ungkap Ahmad.
Penggunaan Sistem Pembayaran Elektronik
Eksploitasi seksual anak (ESA) ini berlangsung melintasi batas geografis antar negara dan aksi para pelaku dilakukan menggunakan sistem pembayaran seperti transfer antar bank, uang elektronik, kripto, dan sebagainya.
Untuk itu ECPAT Indonesia sejak 2016 membangun kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mereka bekerjasama pendidikan dan pelatihan untuk mempertajam analisis keuangan pembayaran transaksi eksploitasi seksual anak seperti perdagangan anak untuk tujuan seksual, pornografi anak, prostitusi anak, dan lain-lain. PPATK pada 2022 merilis temuannya transaksi sebesar Rp 114 miliar terkait pornografi anak.
ECPAT Indonesia melakukan asesmen lanjutan bekerjasama dengan Bandungwangi pada 2023. Mereka menemukan 19 aplikasi yang sering dimanfaatkan untuk menawarkan jasa prostitusi perempuan dan anak Perempuan. Teknologi keuangan (fintech) digunakan sebagai alat pembayaran seperti transfer bank, transfer pulsa, tukar gift atau followers di Bigo Live melalui ATM, transfer melalui Western Union dan transfer melalui e-wallet.
Hal ini mendorong ECPAT Indonesia buat memperluas jangkauan wilayah advokasi menjadi lintas sektoral atau multipihak tidak hanya dengan PPATK. Namun melibatkan KemenPPPA dan perusahaan fintech.
Sebagian besar perusahaan fintech pada 2023 ini dan aplikasi perbankan sudah merasa bahwa kebijakan SOP di internal untuk melakukan background check atau monitoring dan pencegahan transaksi keuangan kasus eksploitasi seksual anak menjadi penting. Ini berdasarkan survei pada 179 responden yang menunjukkan 64,52 persen menyatakan setuju adanya SOP namun pemerintah harus mengeluarkan regulasi dan melakukan pengawasan terkait dengan pelaksanaan SOP tersebut.
Kerentanan Paparan Pornografi di Internet
Teknologi digital atau internet telah mendekatkan anak-anak pada kerentanan terpapar pornografi. Selain itu gap pengetahuan atau kemampuan orang tua dengan anak dalam menggunakan teknologi internet memicu lemahnya kontrol dan pendampingan orang tua kepada anak ketika berselancar di dunia maya sehingga anak rentan mendapatkan informasi negatif yang berpengaruh membentuk perilaku anak menjadi pelaku yang membuat, merekam, menyebarkan, dan menjual konten pornografi.
Temuan ini berangkat dari riset yang dilakukan ECPAT Indonesia pada 2023 yaitu melalui monitoring dan evaluasi program pembentukan desa ramah anak terbebas dari pornografi yang bekerjasama dengan KemenPPPA.
Baseline Survey Baseline Survey OCSEA (Online Child Sexual Exploitation and Abuse) kerjasama antara ECPAT Indonesia, KemenPPPA, dan UNICEF pada 2023 yang melibatkan 512 responden anak menunjukkan ranah daring atau online menjadi arena bermain anak. Karena hampir keseluruhan atau 99,4 persen anak memakai internet sekitar 5 jam sehari di rumah dan sebagian lainnya mengakses internet di sekolah. Alasan mereka diantaranya karena dunia daring memberikan kesenangan dengan menghadirkan hiburan atau permainan, tersedianya akses ke informasi, dan dapat berkomunikasi dengan teman.
Tingginya intensitas anak-anak bermain internet dalam keseharian mereka akan meningkatkan juga kerentanan terpapar pornografi di internet.
Dari hasil survei OCSEA ditemukan hanya sekitar 37,5 persen anak yang mengetahui cara berinternet aman dan 69 persen anak yang tidak membatasi waktu ketika bermain internet serta memiliki pengalaman menonton pornografi. Hal ini menjadi hal miris karena tingkat paparannya yang tinggi. Bahkan dua anak mengaku mengalami kerentanan secara langsung terkait dengan paparan pornografi.
Peningkatan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Atas Anak
Hasil laporan yang diterima ECPAT Indonesia pada 2023 sebanyak 16 kasus dari sebelumnya 29 kasus pada 2022. Kasus mengalami penurunan laporan dalam hal jumlah. Namun dari segi kasus kekerasan seksual berbasis elektronik meningkat.
Kasus kekerasan seksual berbasis elektronik mendominasi kasus kejahatan seksual pada anak di Indonesia saat ini dengan semakin berkembangnya teknologi digital belakangan ini maka modus-modus kejahatannya semakin beragam. Mulai dari grooming untuk tujuan seksual, sexting, sextortion, dan live streaming kekerasan seksual.
Peningkatan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik ini terjadi akibat rendahnya pengetahuan literasi digital masyarakat Indonesia saat ini sehingga banyak yang menjadi korban terutama anak-anak.
Banyak lembaga yang mendampingi korban menerima pengaduan menjadi kewalahan dalam mendampinginya karena kekurangan staf pendamping. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan di ranah siber yang menimpa perempuan mengalami peningkatan besar dengan jumlah 869 kasus. Bukan hanya perempuan dewasa saja yang menjadi korban. Namun anak perempuan turut menjadi korbannya. Sedangkan kekerasan seksual berbasis elektronik ini korbannya bukan hanya anak perempuan saja namun korban anak laki-laki pun meningkat.
Discussion about this post