Jakarta, Prohealth.id – Hampir seluruh kota di Indonesia kini menghadapi permasalahan sampah. Hal ini karena jumlah dan jenis sampah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi masyarakat.
Kementerian Lingkungan Hidup mengungkapkan sampah organik mendominasi di Indonesia dengan jumlah 60 persen. Posisi selanjutnya ada sampah plastik sebesar 14 persen. Adapun mayoritas produksi sampah organik berasal dari sampah makanan yang mencapai 23-48 juta ton setiap tahunnya.
Solusi mengatasi sampah terus berjalan dengan berbagai pendekatan dan penggunaan teknologi. Bahkan pengelolaan sampah saat ini berkembang menjadi kegiatan yang bernilai ekonomis sehingga melahirkan gerakan ekonomi sirkular.
Dhini Ardianti, dosen ilmu komunikasi Universitas Pasundan, Bandung, memaparkan hasil penelitiannya tentang pengelolaan sampah. Ia mengingatkan pentingnya penanganan sampah bersifat mekanis dan menggunakan teknologi. Meski demikian, perlu ada pemahaman yang kuat dan alasan utama pentingnya penanganan sampah.
Selain itu, penanganan sampah harus terintegrasi dan melibatkan banyak pihak melalui pendekatan pentahelix. Ini adalah model kerja sama yang melibatkan lima unsur: pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha/sektor swasta, dan media. Dengan demikian, terjalin kolaborasi dan kerja sama antara pemangku kepentingan untuk penanganan sampah dengan harmonis.
Berdasarkan hasil penelitian Dhini, para pemangku kepentingan harus saling berinteraksi, berbagi informasi, bekerja sama dalam mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, dan membuat keputusan. Semua ini dengan mempertimbangkan perspektif dan kepentingan semua pihak yang terlibat. Namun, yang terjadi adalah hal tersebut belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan konsep kolaborasi pemangku kepentingan. Padahal sama-sama memiliki tujuan untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan dan menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang terlibat serta saling mendukung satu sama lain.
Apabila kolaborasi pemangku kepentingan terwujud, setidaknya akan menghasilkan beberapa manfaat. Contoh; meningkatnya pemahaman, identifikasi solusi yang lebih baik, dukungan yang lebih luas, dan mengurangi konflik. Dengan terlibat dalam proses kolaboratif, pemangku kepentingan memiliki kesempatan untuk berkomunikasi secara langsung, memahami keprihatinan dan kepentingan masing-masing, serta menemukan solusi yang dapat mengurangi potensi konflik di masa mendatang.
“Gerakan bebas sampah tidak akan memberikan makna apa pun terhadap pengelolaan sampah jika hanya terbatas pada gerakan sesaat seperti gerakan angkut sampah. Namun gerakan ini hendaknya dimaknai sebagai gerakan untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang terpadu dan berkelanjutan,” kata Dhini saat ditemui pada awal April 2025.
Menurut Dhini, penyelesaian masalah sampah tidak bisa secara instan, tetapi harus memperhatikan seluruh aspek yang terkait dengan pengelolaan sampah. Antara lain; aspek regulasi, kelembagaan, operasional, finansial, dan peran serta masyarakat. Setiap kota di Indonesia pasti memiliki banyak individu dan lembaga yang peduli terhadap masalah sampah, tetapi mereka berjalan sendiri-sendiri, sehingga dampaknya tidak terasa. Oleh karena itu, butuh kerja sama dan kolaborasi antara pemangku kepentingan untuk mengatasi sampah.
Selain itu, komunikasi lintas sektor penting untuk mendorong perubahan sistem pengelolaan sampah. Sehingga pasti berlandaskan empat prinsip yaitu; zero waste, desentralisasi, partisipasi berbasis masyarakat, dan integrasi.
Zero waste bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat agar menghasilkan lebih sedikit sampah. Desentralisasi adalah untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah. Jika selama ini tersentralisasi di tempat pembuangan akhir (TPA), maka menjadi desentralisasi di tingkat kecamatan. Partisipasi atau berbasis masyarakat maksudnya mendorong masyarakat untuk melakukan pengolahan sampah dan bersifat terintegrasi artinya mewujudkan pengelolaan sampah terpadu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan.
Dhini mengakui permasalahan sampah berbeda dengan permasalahan lingkungan hidup lainnya mengingat masyarakat selalu menghasilkan sampah setiap hari. Namun pengelolaan sampah tidak seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, melainkan menjadi tanggung jawab para penghasil sampah itu sendiri.
“Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya tentang pengelolaan teknis saja. Namun yang lebih penting adalah di balik sampah terdapat banyak faktor perilaku masyarakat yang harus berubah dengan karakteristik yang sangat beragam. Tantangannya adalah mengubah paradigma atau pola pikir bahwa sampah itu bukan dibuang, tetapi dikelola,” tegasnya.
Penelitian Dhini mengambil kasus penanganan sampah di kota Bandung dengan menganalisis pola komunikasi dan kolaborasi para pemangku kepentingan persampahan di kota Bandung. Penelitian ini dengan melakukan wawancara mendalam terhadap pihak-pihak yang melakukan komunikasi lingkungan dalam penanganan sampah di kota Bandung. Sebuat saja; pemerintah kota, NGO, kelompok masyarakat penggiat lingkungan, pelaku usaha, akademisi, dan media.
Selain Dhini, tim peneliti yang terlibat di antaranya Uud Wahyudi, Herlina Agustin, dan Ute Lies Siti Khadijah. Penelitian ini sudah dipublikasikan dalam jurnal Pena Justisia Volume 24, Nomor 1, Tahun 2025, pada tanggal 13 Maret 2025 dengan judul Stakeholder Participation in Waste Management Communication.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post