Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) menemukan salah satu faktor utama masalah implementasi Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) adalah permasalahan data dan pemutakhiran data pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sehingga menyebabkan ketidaktepatan penerima bantuan sosial. Hal itu dipaparkan dalam siaran pers SPRI pada Rabu, 28 Desember 2022 lalu.
Dilansir dari laman resmi Anggaran Kementerian Keuangan, terjadinya ketidaktepatan penerima bantuan sosial ini diakibatkan oleh masih terfragmentasinya data yang digunakan oleh bantuan sosial atau subsidi tersebut serta basis data terpadu (BDT) atau DTKS belum sepenuhnya dapat digunakan oleh beragam program bantuan sosial dan subsidi karena perbedaan target penerimanya.
Begitu juga dalam hal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Hasan mengungkapkan dalam laman resmi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bahwa perlu dilakukan improvisasi dan inovasi agar para pekerja informal atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) terjamin dapat membayar iuran JKN dengan baik. Hal itu karena sebagian di antara mereka termasuk dalam golongan hampir miskin bukan miskin sehingga penting bagi BPJS Kesehatan mendapat dana tambahan untuk menjamin mereka yang kesulitan membayar iuran.
“Ada golongan hampir miskin, bukan miskin sehingga tidak masuk DTKS, sehingga untuk membayar iuran sekeluarga baginya berat. Dana Desa sebagai sumber dana yang mandatori ke seluruh desa bisa dipertimbangkan untuk membantu iuran JKN bagi mereka yang menunggak, atau yang belum terdaftar, atau yang sudah terdaftar tapi kesulitan membayar iuran,” ujar Abdillah.
Selain itu, SPRI menyebut terdapat beberapa permasalahan lainnya dalam implementasi Program Perlindungan Sosial di tahun 2022.
Pertama, permasalahan pendistribusian bantuan sosial yang tidak sampai kepada penerimanya yakni berupa saldo kosong dan/atau terjadi Pungutan Liar (Pungli) dari pihak-pihak dan oknum-oknum tertentu.
Kedua, cakupan penerima yang masih terlalu sempit dan kecil di tengah meningkatnya kemiskinan ekstrem, dimana indikator penerimaannya tidak sensitif dalam mengukur kondisi masyarakat yang tengah mengalami penurunan pendapatan serta manfaat yang masih tidak mencukupi untuk kebutuhan dasar manusia.
Ketiga, sistem informasi dan penanganan pengaduan yang tidak jelas dan tidak transparan. Terakhir, tidak adanya partisipasi masyarakat dalam memonitoring, evaluasi, dan terlibat dalam berbagai penentuan kebijakan pelaksanaan bantuan sosial.
Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS Masih Tuai Polemik
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, persentase penduduk Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan mengalami kenaikan sebesar 1,26 persen menjadi 69,62 persen di tahun 2022.
Adapun menurut jenisnya, terdapat sebanyak 69,22 persen penduduk Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan BPJS dan terdapat sebanyak 7,56 persen yang memiliki jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Kemudian terdapat 2,81 persen penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dari kantor dan 0,58 persen penduduk memiliki jaminan kesehatan berupa asuransi swasta.
Angka kenaikan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan cukup menggembirakan karena telah melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang sebesar 85 persen dalam hal cakupan kepesertaan Program JKN di tahun 2022. Hal itu disampaikan Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Bappenas, Muhammad Cholifihani dalam laman resmi BPJS Kesehatan.
Meski begitu, laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan hingga di tahun 2022, pelayanan kesehatan kepada peserta BPJS oleh rumah sakit tampaknya tidak berhenti menuai polemik. Pada saat ini, kasus yang muncul berupa terdapat beberapa pasien yang belum pulih dipulangkan pihak rumah sakit dengan alasan kuota BPJS penuh.
Merespon hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago menyatakan agar pihak terkait memberikan ketegasan kepada pihak rumah sakit agar tidak memulangkan pasien sebelum sembuh karena hal itu melanggar undang-undang.
“Dibutuhkan ketegasan dari Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan agar pasien tidak boleh dipulangkan sebelum pasien tersebut sembuh. Itu tidak boleh dipulangkan, karena itu melanggar undang-undang,” ujar Irma yang dikutip dari laman resmi DPR RI.
Dalam siaran pers SPRI, Anggota Perkumpulan Inisiatif yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial (KPRS) Ari Nurman mengatakan pemerintah harus lebih berani melakukan berbagai perubahan yang lebih besar agar ada perbaikan kebijakan perlindungan sosial bagi rakyat miskin.
“Pemerintah harus berpikir out of the box dalam memperbaiki berbagai kebijakan Perlinsos. Selama ini rakyat miskin hanya dijadikan objek bukan sebagai subjek atas pembangunan. Selama rakyat hanya menjadi objek, kebijakan Perlinsos akan sangat sulit untuk responsive. Oleh karena itu, upaya untuk menanggulangi kemiskinan harus bersamaan dengan dan dibarengi usaha untuk mendengar suara orang miskin,” ungkap Ari.
Sementara itu, SPRI memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah agar dapat terus berkomitmen dalam melindungi dan memelihara masyarakat miskin melalui perlindungan sosial.
Pertama, perbaikan data yang partisipatif dengan melibatkan rakyat dari sejak awal (perancangan indikator miskin, penentuan penerima manfaat) hingga di akhir monitoring dan evaluasi.
Kedua, peningkatan alokasi anggaran untuk pendanaan Perlindungan Sosial Rakyat Miskin.
Ketiga, mendesak Pemerintah Daerah untuk membuat skema program perlindungan sosial di tingkat lokal untuk melindungi kelompok miskin yang tidak menerima manfaat program perlindungan sosial nasional.
Keempat, pelibatan rakyat miskin se-Indonesia dalam proses monitoring penentuan penerima manfaat dan distribusi program. Kelima, transparasi dan akuntabilitas pengelolaan data dan pengelola-nya kepada publik (transparasi proses, prosedur, dan pelaku pengelola data) yang wajib dipublikasikan dalam jangka waktu tertentu.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post