Jakarta, Prohealth.id – Indonesia mengalami penurunan fertilitas secara konsisten selama periode 1971–2000. Tingkat kelahiran turun dari 5,6 persen anak per perempuan menurut hasil sensus penduduk 1971 menjadi 2,34 persen menurut sensus penduduk tahun 2000. Penurunan tingkat kelahiran di Indonesia kemudian mengalami kemandekan (fertility stalling).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI), kemandekan penurunan fertilitas berada pada tingkat yang lebih tinggi. Total Fertility Rate (TFR) stagnan pada angka 2,6 persen anak per perempuan menurut hasil SDKI tahun 2002/2003, 2007, dan 2012.
Peneliti Senior Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) sekaligus Guru Besar FEB UI, Prof. Dra. Omas Bulan Samosir, Ph.D., menyampaikan, ada 14 provinsi yang mengalami kemandekan penurunan fertilitas pada periode 2000–2010. Empat belas provinsi tersebut, yaitu; Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara.
“DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur sudah memiliki tingkat kelahiran di bawah tingkat penggantian penduduk 2,1 persen anak per perempuan, masing-masing 1,81 persen, 1,94 persen, dan 2 persen anak per perempuan. Hal inilah yang perlu dijaga karena apabila dibiarkan, pada 2065 hingga 2070 Indonesia akan mengalami penurunan angka kelahiran seperti yang dialami Tiongkok dan Singapura,” ujar Prof. Omas.
Ia menilai perlunya perencanaan pembangunan di bidang Keluarga Berencana (KB) yang sesuai dengan kondisi wilayah, khususnya terkait faktor-faktor yang memengaruhi fertilitas, karena tren fertilitas di setiap provinsi beragam.
Dalam Monthly Discussion bertajuk “Dekomposisi Fertilitas” yang diadakan LD FEB UI pada 31 Januari 2023 lalu, ia menyebut beberapa faktor yang memengaruhi penurunan fertilitas di Indonesia, antara lain pola perkawinan, efektivitas kontrasepsi dan aborsi, serta ketidaksuburan pada masa menyusui. Pemahaman tentang faktor-faktor ini penting untuk program intervensi pengelolaan fertilitas, baik pada tingkat nasional maupun sub-nasional.
Berdasarkan SDKI tahun 1991 dan 2017, ada perubahan dalam ukuran-ukuran fertilitas di Indonesia berdasarkan tiga faktor tersebut. Kekuatan pengaruh pembatasan fertilitas dari pola perkawinan menurun, sedangkan dari pola pemakaian dan efektivitas kontrasepsi meningkat. Sementara itu, pengaruh pembatasan fertilitas dari pola ketidaksuburan pada masa menyusui menunjukkan tren menurun.
Data SDKI 2017 menunjukkan pola perkawinan berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas keseluruhan (TFR) menjadi 68 persen dari tingkat fertilitas dalam perkawinan (TMFR). Provinsi-provinsi dengan tingkat fertilitas yang lebih tinggi (TFR>3) memiliki proporsi kawin yang lebih tinggi, di antaranya Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Pola pemakaian dan efektivitas kontrasepsi berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas dalam perkawinan (TMFR) menjadi sebesar 33 persen dari tingkat fertilitas alamiah (tingkat fertilitas dalam perkawinan tanpa pemakaian kontrasepsi dan aborsi yang disengaja/TNMFR). Provinsi-provinsi dengan tingkat fertilitas marital yang lebih rendah (TMFR<4) memiliki efektivitas kontrasepsi yang lebih tinggi, antara lain Yogyakarta, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Adapun pola ketidaksuburan pada masa menyusui berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas alamiah (TNMFR) menjadi sebesar 88 persen dari tingkat fekunditas (tingkat fertilitas dalam perkawinan tanpa pemakaian kontrasepsi dan aborsi yang disengaja dan menyusui).
Provinsi-provinsi dengan tingkat fertilitas alamiah yang lebih tinggi (TNMFR>14) memiliki median ketidaksuburan pada masa menyusui yang lebih pendek, contohnya adalah Yogyakarta.
Jika digabungkan, pola perkawinan serta pemakaian dan efektivitas kontrasepsi secara bersama-sama berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas secara keseluruhan (TFR) menjadi hanya sebesar 22 persen tingkat fertilitas alamiah (TNMFR). Pola perkawinan, pemakaian dan efektivitas kontrasepsi, serta ketidaksuburan pada masa menyusui secara bersama-sama berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas secara keseluruhan (TFR) menjadi hanya sebesar 20 persen dari tingkat fekunditas (TF).
Untuk mencegah terjadinya penurunan fertilitas yang berdampak pada penurunan penduduk, Prof. Omas merekomendasikan pengelolaan fertilitas yang meliputi promosi penundaan usia kawin, promosi pemakaian dan efektivitas kontrasepsi, serta promosi menyusui. Intervensi program pengelolaan fertilitas harus disesuaikan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Dalam hal ini, peran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diharapkan bukan hanya sebagai lembaga regulator untuk menurunkan fertilitas, melainkan juga sebagai lembaga yang menjaga dan mempertahankan pada tingkat tertentu. Penguatan program KB dapat dilakukan dengan memanfaatkan revolusi 4.0 serta teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan pencapaian pembangunan Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Indonesia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post