Jakarta, Prohealth.id – Tim riset Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) melalui seminar daring memaparkan hasil penelitian berjudul Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian yang menemukan keterkaitan harga rokok dengan pola konsumsi rokok anak dan remaja.
Penelitian menjelaskan, ketengan rokok pun mendorong kemunculan perokok anak-anak. Soal lain PKJS juga menyoroti kemudahan anak-anak membeli rokok. Hal itu tersebab keberadaan warung yang melayani ketengan di kawasan dekat sekolah di Jakarta.
Ketua PKJS Aryana Satrya mengatakan, prevalensi anak-anak merokok di Indonesia belum mencapai target. “Maka harus turun sekitar 8 persen,” katanya, Rabu (16/6/2021).
Ojak Simon Manurung, selaku Direktur Pemberdayaan Konsumen, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan mengakui harga yang terlampau murah membuat anak-anak semakin rentan terpapar rokok. Apalagi riset soal harga dan akses sangat berpengaruh pada pola konsumsi.
“Merokok juga gaya hidup, misalnya perokok pemula anak-anak,” kata Ojak.
Dia menjelaskan, ihwal pengendalian rokok memang terkait langsung antara konsumen dan pelaku usaha. Menurut dia, misalnya soal pemberdayaan konsumen terkait pemahaman mengonsumsi barang tertentu.
“Rokok ketengan itu, kami sangat setuju terkait pembatasan. Kalau bisa mencontoh peredaran minuman beralkohol, itu kan ada batasan,” katanya.
Ojak menambahkan, bahwa membeli minuman beralkohol saja diatur melalui batasan usia.
“Pembeli minuman beralkohol usia 17 tahun ke atas dibuktikan dengan KTP (Kartu Tanda Penduduk,” ujarnya.
Menurut dia, pengendalian konsumsi rokok bukan masalah tunggal. Ada banyak pemangku jabatan yang punya peran untuk upaya tersebut.
“Kami dari Kementerian Perdagangan terkait edukasi, sosialisasi. Hasil penelitian (PKJS) bisa kami pakai untuk itu,” ucapnya.
Soal edukasi, Ojak menjelaskan, pembinaan bukan cuma konsumen tetapi pun pelaku usaha.
“Penjualan ini ada rantai itu, distributor, agen, sampai retail,” tuturnya.
Ojak mencontohkan, misalnya pelaku usaha antara lain berdagang memakai kios atau warung dekat sekolah penting dibina agar tak melayani pembeli rokok yang masih di bawah umur.
“Sementara aturan (jualan rokok ketengan) belum menembus ke sana. Ada aturan-aturan yang katakanlah memang bisa diterapkan terkait dasarnya perlindungan konsumen,” katanya.
Soal harga Ojak setujua agar dibuat lebih mahal sehingga memengaruhi supaya orang tak mudah membeli rokok.
“Supaya menekan orang yang akan coba-coba (merokok). Harga rokok yang mahal akan menekan perokok,” ujarnya.
Irsyad Zamjani, selaku Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan pihaknya telah menyoroti masalah pengendalian konsumsi rokok paling tepat dimulai dari keluarga dan sekolah.
“Saya pikir perlu keteladanan dari orang dewasa,” kata Irsyad.
Dia menambahkan edukasi tak cukup sekadar ceramah atau materi pembelajaran yang cenderung peyorasi alias ungkapan sesuatu tentang hal yang tidak baik.
“Mungkin dari sisi kampanye perlu lebih persuasif (bujukan yang halus),” tuturnya.
Menurut dia, cara tersebut bisa lebih menyentuh ketimbang melulu menggambarkan dampak buruk.
“Kalau itu lebih menyerang individu, nanti (orang bisa bilang) itu tubuh saya sendiri, kenapa Anda pusing?” ujarnya mengumpamakan.
Pendekatan persuasif, kata dia, lebih menekankan perilaku merokok juga merugikan orang lain.
“Kalau ditakuti malah penarasan dan ingin mencoba. Kalau persuasi keteladanan saya kira mereka (anak-anak) bisa menginternalisasi (menghayati),” katanya.
Soal zonasi, ia berpandangan perlu memperluas pencegahan konsumsi rokok terkait penetapan lingkungan sekolah.
“Radius sekian kilometer dari sekolah (tidak menjual rokok ke anak-anak) kalau itu bisa diadvokasi ke pengambil kebijakan,” ucapnya.
Adapun aturan hukum yang menyentuh soal itu ada dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015. Peraturan itu tentang kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.
Namun, Irsyad memandang aturan hukum itu perlu evaluasi lagi terkait sorotan tantangan pengendalian konsumsi rokok.
“Saya sepakat mengontrol tembakau atau rokok saat ini sangat krusial (genting),” ujarnya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post