Jakarta, Prohealth.id – Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masih mengalami kebuntuan padahal prevalensi perokok anak kian tinggi dan mengancam kesehatan generasi masa depan Indonesia.
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menjelaskan, revisi tersebut sangat berhubungan dengan perlindungan generasi muda. Sayangnya revisi PP pengamanan zat adiktif ini belum juga menunjukkan perkembangan. Padahal, desakan revisi Peraturan Pemerintah itu sudah mencuat sejak tahun 2018.
“PP yang sekarang tidak melindungi hak anak, masih membolehkan iklan rokok di mana-mana,” katanya dalam konferensi daring bertema ‘Desakan Kepada Presiden RI: Segera Selesaikan Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif’ pada Selasa (22/6/2021).
Saat ini iklan rokok sekarang kerap muncul dalam tautan digital. Menurut Lisda, hal itu menyebabkan anak-anak pun terkena pemasaran iklan rokok. Lisda menjelaskan, kondisi ini kian parah karena selama pandemi Covid-19, anak-anak rentan melihat iklan rokok karena belajar menggunakan gawai (gadget) di rumah.
“Di gadget mereka (anak-anak) tidak bisa menolak tiba-tiba muncul iklan rokok. Nah, itu (iklan dalam jaringan internet) belum ada aturannya,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, revisi Peraturan Pemerintah itu kian mendesak. “Negara harus ambil bagian yang besar untuk (melindungi) anak-anak,” tuturnya.
Lisda menegaskan iklan rokok dalam internet hanya salah satu contoh saja dari sekian banyak contoh lain yang merugikan anak Indonesia. Akibatnya, jika contoh kecil ini tidak diselesaikan melalui revisi PP Pengendalian Zat Adiktif, dapat diprediksikan target utama untuk mencapai tujuan menurunkan prevalensi anak perokok pada 2024 tak akan tercapai.
“Target 8,7 persen. Ini baru bisa running (berturutan) kalau revisi PP disahkan,” ujarnya. Adapun target tersebut sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2020-2024.
Menurut dia, menolak atau menunda revisi menyebabkan kegagalan dalam menurunkan prevalensi. Lisda mengatakan, tiap tahun penurunan prevalensi perokok anak masih berkisar 70 ribu orang per-tahun, yakni sekitar 0,4 persen.
“Kalau berlama-lama (revisi) ada apa ini? Kita sepakat kan anak-anak akan dilindungi,” ujarnya.
Lisda pun mengingatkan, hal tersebut juga terkait peran Indonesia dalam kesepakatan global tentang hak anak. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi Hak Anak pada 20 November 1989. Kesepakatan internasional itu menjadi pedoman dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Indonesia pun ikut menyepakati konvensi itu. Pada 26 Januari 1990, Indonesia menandatangani Konvensi Hak Anak.
“Pemerintah dan rakyat punya kewajiban melindungi hak anak, kesehatan dan perlindungan dari zat adiktif,” katanya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi setujuan soal iklan rokok yang gampang ditemukan dalam akses digital.
“Ini perlu diatur jam tayang, sehingga anak tidak terpapar. Ini menjadi wabah baru periklanan,” katanya.
Menurut dia, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, saat ini menyimpan kecacatan. “Itu (revisi) harus upgrade (meningkatkan) akomodasi berfungsi efektif melindungi masyarakat,” tuturnya.
Tulus mengatakan, antara lain poin yang mendorong perlunya revisi itu, karena tak mengatur rokok elektronik. “Apakah sama rokok elektronik dengan rokok konvensional?” ujarnya mempertanyakan.
“Peraturan Pemerintah (PP 109 Tahun 2012) ini hanya secuil dari apa yang dimandatkan agar negara hadir dalam pengendalian tembakau.” sambung Tulus lagi.
Dewan Penasihat Indonesia Institute for Social Development (IISD), Sudibyo Markus mengatakan, politik sangat menentukan revisi peraturan tersebut, yakni wakil rakyat maupun kementerian.
“Cermati satu per satu, nasib revisi PP ini tidak ingin terhenti di tengah jalan,” katanya.
Dewan Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Nafsiah Mboi mengatakan, upaya revisi tersebut bisa merujuk dalam aturan hukum tentang kesehatan, yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
“Itu mengikat kita semua dalam Undang-Undang ini ada satu bagian khusus zat adiktif,” ujarnya.
Nafsiah menjelaskan, Pasal 113 yang mengatur tentang zat adiktif. “Spesifik di pasal itu. Zat adiktif sudah jelas (dalam) perintah Undang-Undang,” kata Mantan Menteri Kesehatan periode 2012-2014 tersebut.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post