Bertepatan dengan peringatan Hari Gizi Nasional pada 25 Januari 2023 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pentingnya pengelolaan anggaran tepat sasaran, akuntabel, dan transparan untuk program peningkatan gizi masyarakat dan mencegah stunting.
Untuk memulai target dengan transparan maka pada Oktober 2022, KPK bersama Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menggelar audiensi dan koordinasi terkait upaya pencegahan korupsi pada penurunan stunting pada bayi di bawah lima tahun (balita).
Upaya penurunan stunting ini menjadi program prioritas nasional untuk mencapai target yang diharapkan pada tahun 2024. Program ini termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Adapun target nasional pada 2024, prevalensi stunting ditargetkan turun hingga 14 persen, dengan penurunan stunting di atas 3,3 persen per tahun.
Secara rinci, KPK memaparkan pengalokasian dana dari pemerintah pusat pada tahun 2022 lalu cukup tinggi untuk pengentasan stunting yaitu Rp34,1 triliun. Pengalokasian anggaran terbesar ada di Kementerian Sosial (Kemensos) yaitu Rp23,3 triliun; disusul Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah sebesar Rp8,2 triliun; lalu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp1,3 triliun, sementara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebesar Rp810 miliar. Anggaran tersisa masih tersebar juga di 17 kementerian/lembaga lain.
Menurut Niken Ariati, Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) alokasi dana yang cukup besar ini harus diikuti dengan pengelolaan anggaran yang tepat sasaran dan transparan.
“Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Sehingga perlu upaya lebih lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi,” kata di Gedung Merah Putih KPK, pada 25 Januari 2023 lalu.
Peringatan ini diberikan Niken mengingat KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi mendapatkan informasi adanya laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal. Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah. Meskipun program ini menjadi prioritas nasional.
Kemudian, lanjut Niken, dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi.
“Praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan,” ujar Niken.
Pada aspek penganggaran, Niken menuturkan temuan lapangan menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah.
Selanjutnya pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari DAK non fisik masih belum berjalan optimal.
Pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan sebagai contoh untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat.
Pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis yang menyebutkan bahwa terdapat keterbatasan peran vendor. Vendor yang menyediakan alat tersebut harus mendapat lisensi dari BKKBN.
Pada aspek pengawasan, belum ada pedoman teknis untuk APIP dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.
“Praktik-praktik dalam aspek tersebut sangat berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa disepelekan karena akan berdampak pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan,” tegas Niken.
Berkaca dari temuan dan kondisi tersebut, Niken menyebut pihak KPK memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, pada aspek penganggaran, KPK merekomendasikan adanya integrasi perencanaan dan penganggaran antara pusat dan pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih alokasi anggaran. Ke depannya, juga dibutuhkan peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menyusun Pedoman Penyusunan APBD-nya.
“Tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran melalui format digital mulai dari level desa hingga pusat, termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA, dan DIPA, sehingga ke depan tagging anggaran untuk stunting benar-benar mendukung penurunan prevalensi stunting.” jelas Niken.
Kedua, pada aspek pengadaan, perlu adanya kajian efektivitas dari barang yang dihasilkan dan beban administrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan objek sehingga dapat bermanfaat. Kementerian/lembaga juga perlu mempersiapkan dengan baik petunjuk teknis (juknis), dan koordinasi dengan LKPP terkait kesesuaian barang yang tampil di e-catalog.
Niken juga menegaskan diperlukan pedoman teknis yang akan digunakan Inspektorat untuk melakukan pengawasan program percepatan penurunan prevalensi stunting ini.
“Rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat mencegah adanya penyimpangan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting,” pesan Niken.
Menurut data survei Kementerian Kesehatan RI, kasus stunting di Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 21,6 persen. Angka ini didapatkan dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dipresentasikan pada Rapat Kerja Nasional BKKBN, bertepatan dengan Hari Gizi Nasional. Temuan menemukan prevalensi stunting di Indonesia tersebut turun dari angka sebelumnya 24,4 persen pada tahun 2021.
Dalam forum tersebut, Presiden RI Joko Widodo mengatakan stunting bukan hanya urusan tinggi badan tetapi yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan yang ketiga munculnya penyakit-penyakit kronis.
“Oleh sebab itu target yang saya sampaikan 14 persen di tahun 2024. Ini harus bisa kita capai, saya yakin dengan kekuatan kita bersama semuanya bisa bergerak. Angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama,” ucap Jokowi.
Ia mengingatkan, infrastruktur dan lembaga yang ada, lanjutnya, harus digerakkan untuk memudahkan menyelesaikan persoalan stunting. Dari lingkungan mulai dari air bersih, sanitasi, rumah yang sehat, ini merupakan kerja terintegrasi dan harus terkonsolidasi.
“Jadi target 14 persen itu bukan target yang sulit hanya kita mau atau tidak mau. Asalkan kita bisa mengonsolidasikan semuanya dan jangan sampai keliru cara pemberian gizi,” ungkap Jokowi.
Hasil SSGI ini untuk mengukur target stunting di Indonesia. Sebelumnya SSGI diukur 3 tahun sekali sampai 5 tahun sekali. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa mulai 2021, SSGI dilakukan setiap tahun.
Penurunan stunting ini terjadi di masa pandemi bukan terjadi di masa biasa. Budi G. Sadikin mengharapkan di masa yang normal tahun ini penurunan kasus stunting diharapkan bisa lebih tajam lagi sehingga target penurunan stunting di angka 14 persen di 2024 dapat tercapai.
Secara jumlah yang paling banyak penurunan angka stunting adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten.
Asal tahu saja, metode survei seperti ini sudah dilakukan selama 3 tahun, bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
“Kita akan perbaiki ke depannya kalau bisa by name by address. Kita usahakan ke sana, tapi kita secara bertahap tetap memakai metode pengukuran yang memang sudah sebelumnya dilakukan,” ungkap Budi.
Kalau mau mengejar penurunan stunting hingga 14 persen artinya mesti turun 3,8 persen selama 2 tahun berturut-turut. Caranya mesti dikoordinasi oleh BKKBN dan berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga lain. Standard Badan Kesehatan Dunia (WHO) terkait prevalensi stunting harus di angka kurang dari 20 persen. Artinya, Indonesia memang belum mencapai target. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan melakukan intervensi spesifik melalui 2 cara utama yakni intervensi gizi pada ibu sebelum dan saat hamil, serta intervensi pada anak usia 6 sampai 2 tahun.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan pengentasan stunting ini harus sukses sesuai dengan Perpres nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dengan 5 pilar. Pilar pertama adalah komitmen, pilar kedua adalah pencegahan stunting, pilar ketiga harus bisa melakukan konvergensi, pilar keempat menyediakan pangan yang baik, dan pilar kelima melakukan inovasi terobosan dan data yang baik.
“Inilah pilar yang kita tegakkan dan kami terima kasih kepada seluruh kementerian/ lembaga yang mendukung. Pak Menkes dengan menyediakan USG dan alat-alat ukur terstandar yang baik sekali,” tutur Hasto.
Tahun sebelumnya, ada 2 juta perempuan yang menikah dalam setahun. Dari 2 juta setahun itu yang hamil di tahun pertama 1,6 juta, dari 1,6 juta yang stunting masih 400 ribu. Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan untuk 3 bulan sebelum menikah, calon pengantin harus diperiksa dulu kalau ada anemia dan kurang gizi diimbau menunda kehamilan dulu demi kesehatan ibu dan bayi sampai gizi tercukupi.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post