Jakarta, Prohealth.id – Perkembangan dunia digital membuat tak sedikit anak-anak menjadi artis cilik di media sosial hingga mendapatkan endorsement atau menghasilkan uang dari bakat tersembunyi mereka.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah hal itu murni karena minat dan bakat anak-anak atau keinginan para orangtua? Lalu akankah hal itu masuk sebagai kategori eksploitasi anak?
Program manager Lentera Anak Nahla Jovial Nisa mengatakan, banyak anak yang tidak menyadari kondisi itu. Mereka merasa pelibatannya dalam pengembangan minat dan bakat bukanlah kegiatan yang menyalahi aturan dan terlarang. Misalnya, ketika dia membawa anaknya ke sebuah mal untuk mengikuti sebuah parade karnival. Disana, Nahla mendapati sejumlah anak disuruh membawa alat kampanye yang terkait dengan brand produk tertentu.
“Brand dari yang mengadakan parade itu. Sebelumnya tidak ada informasi terkait itu,” ujar Nahla pada Webinar Mengembangkan Minat dan Bakat Anak Tanpa Eksploitasi, Sabtu (19/2/2022) lalu.
Dia menuturkan, “Bagi anak, hal itu tidak ada masalah, karena mereka senang menggunakan baju yang bagus, dan lainnya. Tapi ternyata ada yang diselipkan disana dan bagaimana kita melihatnya.”
Para pegiat perlindungan anak sepakat upaya pengembangan minat dan bakat anak adalah bagian dari tumbuh kembang anak, namun hak anak harus tetap dipenuhi. Selain itu, anak harus selalu dilindungi dan didampingi ketika ingin mengembangkan minat dan bakatnya
Perwakilan komunitas #funwithmomy Junika Ana menekankan soal agenda priortias yang harus dipilih terkait pengembangan minat dan bakat anak. Hal itu merujuk pada survei internal mereka yang menemukan fakta bahwa isu pengembangan minat dan bakat belum menjadi topik yang penting.
“Sebenarnya ini lebih kepada apakah itu prioritas atau gak, nih? Kan beda antara prioritas atau penting,” ujar Ana.
Ana mengakui jika pengembangan minat dan bakat anak merupakan hal penting, namun belum menjadi agenda prioritas. “Karena para mommy itu perlu untuk memahami tindak lanjutnya,” tegasnya.
Sejauh ini, menurut Ana, ada dua jenis eksploitasi yang sering terjadi pada anak, yakni eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Oleh karena itu, terkait dengan pengembangan minat dan bakat anak, perlu dipikirkan agar hal itu tidak membebani mental dan kejiwaan anak.
“Aktivitas ini bisa untuk membangun kemampuan dan passion anak, tapi bisa dipertimbangkan dengan satu catatan, penting agar segala sesuatu itu tidak membebani anak. Karena itu harus ada persetujuan anak. Itu dari hasil survei kemarin,” terangnya.
Ketika mengetahui bahwa mengembangkan minat dan bakat anak belum menjadi skala prioritas para orang tua, berakibat pada tidak adanya tindak lanjut kearah situ. Kendati demikian, Ana berpesan, agar setiap anak selalu diberi batas agar mereka tidak terpeleset atau terjatuh pada hal-hal yang merugikan.
“Karena regulasi terkait hal ini masih sangat abu-abu dimana anak sangat rentan terperosok dalam eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi,” kata Ana.
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengungkapkan bahwa kadangkala sesuatu yang penting itu belum menjadi prioritas karena belum terjadi pada diri kita. Jika terjadinya di diri orang lain, kebanyakan masyarakat bersikap acuh tak acuh.
“Belum terjadi pada orang didekat kita. Namun menarik ketika ada kesadaran bahwa itu ‘penting’,” ungkapnya.
Lisda mengutarakan bahwa “eksploitasi” merupakan istilah yang sering digunakan dan didengar dalam komunikasi sehari-hari. Namun jika diperhatikan berdasarkan kamus, setidaknya ada dua hal yang terkait dengan istilah eksploitasi, yaitu pemanfaatan dan mengambil keuntungan dari sebuah peristiwa.
Namun, secara khusus terkait dengan eksploitasi anak, Lisda menyebutnya terdiri dari empat hal, yakni, perbuatan yang memanfaatkan anak, siapa yang melakukan.
“Kira-kira tujuannya apa, yang tentu saja untuk keuntungan materiil dan immateriil,” paparnya.
Terakhir adalah terkait dampak, yakni; apakah dampaknya akan mengganggu hak anak, membahayakan kesehatan, keselamatan bahkan juga moral anak. “Itu prinsip dasar ketika kita bicara tentang eksploitasi anak,” kata Lisda.
Menurut dia, disana ada yang mengambil manfaat dan melibatkan anak. Ada yang melakukan dan siapapun bisa melakukannya. “Bahkan orang tua bisa menjadi pelaku eksploitasi. Tujuannya untuk keuntungan material dan tentu ada dampak di dalamnya,” katanya.
Secara umum, menurut Lisda, eksploitasi anak dibagi atas dua bagian besar, yakni eksploitasi secara seksual dan secara ekonomi.
“Kita sering mendengar soal eksploitasi seksual, tapi eksploitasi ekonomi masih sangat abu-abu,” ungkapnya.
Kendati demikian, eksploitasi seksual juga seperti itu karena spektrumnya yang sangat luas, mulai dari bujuk rayu agar korban percaya, menerima sexting, hingga mengirimkan gambar atau hal-hal bermuatan seksual.
“Itu sudah disebut eksploitasi. Beberapa literatur mengatakan seperti itu,” katanya.
Atau dalam kondisi yang lebih ekstrem, eksploitasi seksual bentuknya seringkali dilakukan secara komersil, melalui prostitusi, termasuk di dalamnnya pariwisata seks anak. “Pornografi juga termasuk eksploitasi seksual,” paparnya.
Dalam 10 tahun terakhir, para orang tua semakin khawatir seiring pemanfaatan teknologi dan informasi sebagai media untuk melakukan eksploitasi anak secara seksual.
“Kita menyebutnya eksploitasi seksual secara online dimana bisnisnya melibatkan anak-anak untuk mengkomunikasikan, mempertunjukkan, mempertontonkan bahkan mendistribusikan material pornografi dan aktivitas sosial kepada anak-anak,” terang Lisda.
Sementara itu, eksploitasi secara ekonomi masih gelap atau sering disebut “abu-abu”. Oleh sebab itu, Lisda mengajak semua pihak untuk mendiskusikannya.
“Karena kita tidak ingin terjadi dulu baru kemudian kita merasa ini prioritas,” ujarnya.
Eksploitasi ekonomi seharusnya tidak terjadi, jika tidak ada orang tua yang mempekerjakan anaknya dengan maksud ekonomi. Namun eksploitasi ekonomi lebih besar dari itu, utamanya ketika anak dilibatkan di jalur produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa.
“Misalnya anak yang bekerja di sektor yang berbahya, di pertanian atau perkebunan atau pertambangan. Sehingga kita menyebutnya untuk hal-hal yang mempekerjakan anak. Tetapi ada beberapa definisi yang mengatakan bahwa itu tidak terbatas hanya pada pekerja anak,” terang Lisda.
Eksploitasi ekonomi juga menyiratkan adanya gagasan memperoleh keuntungan melalui produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa. Sehingga eksploitasi ekonomi tidak hanya mempekerjakan anak, namun melibatkan setidaknya tiga unsur seperti yang disebutkan di dalam UU Perlindungan Anak. Pertama, adanya sebuah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak.
“Saya menggaris bawahi kata dengan atau persetujuan anak. Jadi dalam eksploitasi ekonomi, adanya persetujuan anak bukan berarti kita bebas dari eksploitasi itu, karena anak-anak belum punya kemampuan untuk mengantisipasi risiko,” paparnya.
Seringkali alasan ‘anaknya mau sih’ sebagai pembenaran terhadap apa yang dilakukan orang tua. “Anak-anak mau, karena mereka tidak mengerti dan tidak bisa mengantisipasi risiko yang lebih besar,” tuturnya.
Oleh karena itu, apakah syarat persetujuan anak menjadi indikator tidak terjadinya eksploitasi anak? Menurut Lisda tidak demikian. Sehingga adanya tindakan, baik dengan atau tanpa persetujuan anak menjadi syarat terjadinya eksploitasi anak secara ekonomi.
“Itu unsur pertama yang harus diperhatikan sesuai UU no.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,” tegasnya.
Kedua, secara melawan hukum. Karena yang namanya eksploitasi pasti sifatnya melawan hukum, maka peraturan di Indonesia, baik dalam bentuk UU, PP, Permen telah secara tegas mengatakan ‘eksploitasi’ merupakan bentuk pidana yang melanggar peraturan.
Ketiga, memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak untuk mendapatkan keuntungan.
“Tiga prinsip ini sudah bisa menjadi acuan bagi kita, apakah ini merupakan eksploitasi atau tidak,” kata Lisda.
Selain itu, karena kaitannya dengan pengembangan minat dan bakat, maka menarik untuk dipertanyakan, apakah dalam kegiatan itu dimungkinkan terjadinya eksploitasi?
“Jawabannya, bisa ya dan tidak. Tetapi berbagai literarur menyatakan punya potensi yang besar terjadinya eksploitasi terhadap anak,” ungkapnya.
Sementara itu, pendiri Yayasan Sejiwa Diena Haryana mengingatkan para orang tua untuk melindungi anak-anak di ranah daring. Sampai ketika peristiwa penculikan anak benar-benar terjadi di Jawa Tengah, Diena akhirnya menyadari bahwa anak-anak harus diawasi terus menerus.
“Waduh, diculik siapa? Kita tahu anak perempuan itu dekat dengan seseorang melalui media sosial. Kemudian informasi disebarkan untuk bisa mendapatkan anak itu kembali,” paparnya.
Diena menambahkan, “Dari situ saya mencari tahu lebih lanjut, karena saya pantau dan memberikan masukan untuk mencari kemana saja agar ketemu. Siapa yang harus dihubungi dan sebagainya.”
Akhirnya, kurang lebih dari seminggu, anak itu kembali. “Apa yang terjadi? Ternyata dia dekat dengan seseorang yang menjadi teman baik, sampai terjadi kedekatan emosi,” ungkapnya.
Semua dimulai dari chatting, video call, lalu menjadi akrab. Si pelaku dianggapnya sebagai teman dekat. “Uniknya para penyuka anak, sudah tahu kelemahan anak-anak itu seperti apa. Udah dites,” ujarnya.
Jika sudah ada kerinduan, pelaku dengan mudah mengarahkannya pada sexting. Pelaku melakukannya melalui rayuan yang berbau seksual. “Sudah mulai dikirimi foto-foto, video-video yang berbau seksual,” terangnya.
Bagi anak yang hormonal seksualnya sedang bertumbuh, mereka mudah jatuh hati. “Dan ketika itu terjadilah hormonal isu yang menjadi imbalance di otaknya, sehinga meningkatkan Dopamine. Rasa seksual ditambah fantasi-fantasi, bahwa ada yang suka sama aku, terjadilah luar biasa. Terjadinya online grooming, yang dimulai dari chatting, videocall, hingga sexting.”
Ketergantungan secara emosi kemudian terjadi. “Ketika itu terjadi, anak sudah siap untuk melakukan apapun. Lalu mereka ketemu disebuah tempat yang mengakibatkan anak tersebut tidak kembali selama sekian lama,” papar Diena.
Ketika si anak kembali, ada trauma yang tertinggal dan harus segera dipulihkan. Menurut Diena, sewaktu anak masuk ke dunia digital, mereka itu innocent dan tidak punya kecurigaan. “Mereka merasa bahwa ini merupakan mainan baru dan ini merupakan dunia yang mengasyikkan. Apa saja bisa dicari disana, permainan, hobi dan teman-teman baru semuanya ada,” katanya.
Oleh karena itu, Diena mengingatkan tiga hal penting yang harus diketahui oleh para orang tua. Ketika anak-anak aktif di dunia digital, yakni orang tua harus mendampingi secara aktif.
“Screen timenya dijaga, dan tidak melupakan bahwa anak butuh main, butuh berteman, bergaul sehingga kosa katanya bagus dan kemampuan untuk berinteraksi secara sosial bagus,” katanya. Tak hanya itu, problem solving skillsnya juga berkembang.
“Ini yang kita sebut sebagai keterampilan hidup.”
Di sisi lain, ketika anak hanya berada di dunia digital semata, akan sulit baginya untuk mendapatkan ketrampilan hidup. Pasalnya, setiap anak butuh waktu bermain, bersosilisasi dan mengeksplorasi banyak hal di dunia ini.
“Dan ini butuh orang tua untuk mendampingi anak-anak di dunia nyata juga. Ini harus dominan untuk dilakukan orang tua kepada anak,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan bahwa anak merupakan amanah Tuhan yang sangat berharga. Sehingga para orang tua seharusnya menjaga amanah tersebut dengan sebaik-sebaiknya dan mengantarkan anak-anaknya menjadi versi diri mereka yang terbaik.
“Mari kita bantu melindungi hak mereka dengan memenuhi hak tumbuh kembangnya, harus melindungi mereka dari segala kekerasan, eksploitasi, dan adiksi,” katanya.
Serta tidak lupa untuk mengajak anak ikut berpartisipasi dalam banyak hal, agar mereka merasa dihargai dan didengar pendapatnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post