Stigma merupakan penghambat dalam upaya untuk menuntaskan program pemulihan kesehatan. Tak heran jika dalam upaya pengentasan penyakit, stigma dalam masyarakat patut dihapuskan.
Indonesia pernah mengalami dampak dari stigma ketika kasus Covid-19 pertama muncul. Banyak stigma yang menempel pada pasien 01 dan 02. Akibatnya, fokus untuk menangani Covid-19 malah terabaikan, dan dalam sekejap kasus-kasus lain makin banyak yang teridentifikasi. Akibatnya, kasus justru tak tertangani dengan optima, dan sempat membuat sistem kesehatan lumpuh.
Besarnya dampak stigma patut dikenali. Berikut beberapa jenis penyakit yang berpeluang membangun stigma yang merugikan pasien.
Stigma pasien cacar monyet
Ketika Mei 2022 lalu menguap kasus cacar monyet, Badan Kesehatan Dunia (WHO) langsung mengumumkan pentingnya penanganan penyakit bersamaan dengan penanganan stigma yang beredar.
WHO menjelaskan infeksi cacar monyet ini sebenarnya paling mudah menyebar akibat kurangnya informasi dan adaptasi masyarakat mencegah virus. Hal ini mengingat, kontak fisik merupakan penyebab cacar monyet. Sementara, masyarakat di beberapa negara justru membangun stigma bahwa cacar monyet ditularkan melalui hubungan seksual sesama jenis.
Direktur WHO untuk Regional Eropa, Dr. Hans Henri P. Kluge menyatakan mayoritas kasus cacar monyet terjadi pada usia 21- 40 tahun dan 99 persen pasien adalah laki-laki. Semua pasien terkonfirmasi salah satunya pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis (laki-laki).
Kondisi ini menimbulkan stigma bagi ragam jenis identitas gender lain yakni; lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, (LGBTQ) dan lain-lain. Padahal, menurut Dr. Hans kasus cacar monyet tidak melulu akibat hubungan seksual sesama jenis. Cacar monyet juga bisa menular pada hubungan heteroseksual, bahkan bisa menular pada anak-anak tanpa hubungan seksual.
“Tantangan terbesar itu adalah melawan stigma bahwa penyakit ini hanya pada laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki. Akibatnya, masyarakat tidak menuntut kepada otoritas kesehatan malah ke sesama masyarakat. Kita perlu belajar dari kasus HIV, bagaimana stigma menyulitkan penanganan. Artinya, menciptakan stigma hanya akan menghambat proses penanganan,” ungkapnya.
Maka dibandingkan menyebarkan stigma, Dr. Hans mengingatkan pentingnya memperhatikan pada gejala-gejala cacar monyet misalnya; demam, kelelahan, pegal-pegal otot, mual, diare, kedinginan, sakit tenggorokan, sampai sakit kepala. Selain itu, WHO juga berupaya untuk membentengi tenaga kesehatan agar tetap aman dalam melakukan pengobatan pada pasien.
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, saat ini International Health Regulations (IHR), sudah menyusun respon penanganan cacar monyet secara global. Dia menegaskan agar respon cacar monyet tidak hanya difokuskan pada hubungan seksual sesama laki-laki, tetapi harus diwaspadai pada orang dengan lebih dari satu pasangan.
“Penting untuk membantu mensosialisasikan kepada komunitas marjinal [LGBTQ] yang berhubungan seksual dengan sesama laki-laki, agar mendapatkan layanan dan jaminan kesehatan yang baik untuk menjaga kesehatan dan hak asasi manusia,” tuturnya.
Dr. Tedros juga meminta kelompok masyarakat sipil khususnya yang pernah menangani pasien HIV/AIDS, untuk bersama-sama melawan stigma dan diskriminasi. Dia juga mengingatkan pentingnya melawan stigma, “Sebab stigma dan diskriminasi ini sama berbahayanya dengan virus,” ungkapnya.
Stigma pasien kesehatan mental
Badan Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan World Mental Health Report 2022 yang menemukan bahwa pada 2019 lalu, 14 persen orang dewasa di seluruh dunia hidup dengan masalah kesehatan mental. Bunuh diri sebanyak 58 persen juga dilakukan pada usia sebelum 50 tahun. Permasalahan kesehatan mental ini memicu disabilitas hidup antara 1-6 tahun. Akibatnya, orang yang hidup dengan masalah kesehatan mental membuat mereka meninggal 10-20 tahun lebih cepat dari usia rata-rata.
Kesehatan mental juga banyak disebabkan karena kekerasan seksual pada perempuan dan anak-anak yang menyebabkan depresi, kesenjangan sosial-ekonomi, darurat kesehatan, kecemasan akibat krisis iklim, dan ancaman struktural yang menyebabkan masalah mental. Riset menemukan awal pandemi, masalah depresi dan kecemasan meningkat sampai 25 persen. Dikutip dari Statista, data depresi dan kecemasan meningkat cukup tinggi di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, WHO meminta pemerintah seluruh dunia, kelompok akademisi, praktisi kesehatan, masyarakat sipil, untuk berperan dalam melakukan transformasi kesehatan mental.
Kendala yang dihadapi dalam menangani masalah kesehatan mental adalah stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap pasien karena rendahnya kualitas dan kuantitas layanan kesehatan serta kesadaran publik.
Kondisi ini sudah terjadi bahkan sebelum pandemi, dimana hanya segelintir orang di dunia yang bisa mengakses layanan kesehatan untuk perawatan kesehatan mental dengan efektif.
Sebagai contoh, 71 persen pasien yang diduga mengalami masalah kesehatan mental ternyata tidak mendapatkan perawatan kesehatan. Sementara 70 persen orang yang sudah terdiagnosa dengan masalah kesehatan mental kebanyakan menerima perawatan di negara-negara berpenghasilan tinggi. Hanya 12 persen di negara berpenghasilan kecil pasien yang terdiagnosa masalah kesehatan mental bisa mendapatkan perawatan.
Untuk kasus depresi, kesenjangan layanan kesehatan terjadi hampir di seluruh dunia, bahkan di negara berpenghasilan tinggi. Hanya sepertiga orang dengan depresi yang menerima layanan kesehatan mental secara merata.
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menjelaskan pentingnya meningkatkan komitmen terhadap pengentasan masalah kesehatan mental. Selain itu juga penting menciptakan suasana yang mendukung pemulihan penyintas masalah kesehatan mental. Salah satunya adalah bebas dari stigma.
“Kesehatan mental yang baik harus diimbangi juga dengan fisik yang baik. Maka perlu keterhubungan antara kesehatan, hak asasi, dan pengembangan sosial ekonomi untuk mewujudkan kebijakan yang transformatif menangani kesehatan mental,” tuturnya dikutip, Rabu (29/11/2022).
Untuk menjamin masa depan yang adil bagi setiap individu di dunia, pada Juni 2022 lalu, 194 anggota WHO menandatangani Comprehensive mental health action plan 2013–2030, yakni komitmen global melakukan transformasi kesehatan mental.
Stigma kesehatan mental di ruang kerja
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan International Labour Organization (ILO) juga menyatakan kepedulian atas masalah kesehatan mental di lingkungan pekerjaan.
Laporan Global Mental Health Report 2022 menemukan, kerugian akibat depresi dan kecemasan dalam ekonomi global bisa mencapai US$1 triliun. Pada 2019 saja, 15 persen usia pekerja mengalami masalah kesehatan mental. Kondisi pekerjaan memicu masalah-masalah sosial, memberi efek pada mental, termasuk menciptakan diskriminasi dan kesenjangan.
Misalnya, kekerasan psikologis, bullying, adalah beberapa contoh kekerasan yang memberi dampak pada kesehatan mental pekerja. Sayangnya, diskusi tentang kesehatan mental dalam ruang kerja masih dianggap tabu oleh masyarakat global.
Oleh karenanya, WHO memiliki panduan global dan rekomendasi untuk bertindak menciptakan ruang kerja aman, beban kerja ideal, meminimalisasi kebiasaan buruk, dan ragam faktor lain yang memicu masalah kesehatan mental. WHO pun merekomendasikan pentingnya pelatihan pada level manajer, agar mampu membangun kapasitas diri dan tim sebagai upaya preventif atas lingkungan kerja yang memicu stres.
Panduan dari WHO bahkan mengakomodasikan kebutuhan para pekerja, caranya dengan mengajukan intervensi agar pekerja bisa kembali bekerja setelah pulih.
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menambahkan, serangkaian ujian kesehatan dalam dua tahun terakhir menjadi momentum yang tepat untuk fokus pada layanan kesehatan mental yang selama ini masih buruk. Dengan begitu, layanan ini juga mampu membantu meningkatkan produktivitas pekerja.
Guy Ryder, Direktur Jenderal ILO pun mengingatkan, ruang kerja yang aman dan sehat adalah hak semua pekerja. Oleh karenanya, penting mempersiapkan investasi yang tepat guna membangun budaya dan kebiasaan dalam mencapai upaya preventif kesehatan mental.
“Perlu membentuk ulang lingkungan kerja, stop stigma, dan diskriminasi sosial, memastikan para pekerja dengan kondisi kesehatan mental tertentu merasa aman dan didukung,” sambung Guy Ryder.
Stigma terhadap pasien tuberkulosis
Stigma menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan tuberkulosis (TBC) dan dapat memperburuk kondisi pasien. Karena adanya stigma, baik internal maupun eksternal, menjadi penghambat pemenuhan hak pasien dan penyintas TBC untuk mengakses layanan kesehatan.
Kementerian Kesehatan mengakui kondisi ini menjadi tantangan bagi program TBC yaitu penemuan kasus yang masih belum mencapai serratus persen bahkan menurun hampir setengahnya pada tahun 2020 menjadi hanya 41 persen.
Salah satu pasien TBC resisten obat (TBC-RO), Ani Herna Sari, membagikan pengalaman ketika melahirkan, dia masuk ke layanan kesehatan paru-paru, bukan ke persalinan. Padahal dia sudah sembuh dari TBC-RO. “Bayi saya yang baru berusia satu hari mengalami kepala rata di sebelah kanan karena harus minum susu dari botol yang disandarkan, dia tidak menyusu langsung dari ibunya,” ujar Ani mengingat kembali dampak dari stigma penderita TBC-RO.
Ani juga menyampaikan bahwa akses layanan TBC sudah tersedia secara gratis, namun tidak semua orang mengetahuinya sehingga perlu disosialisasikan lebih luas lagi untuk menjangkau seluruh masyarakat diluar komunitas TBC. Begitupun dengan penanggulangan stigma yang sudah tercakup dalam strtaegi ke lima dalam Strategi Penanggulangan TBC 2020 2024 yaitu intervensi khusus untuk pengurangan stigma dan diskriminasi pada populasi risiko tinggi TBC dan populasi rentan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dr. Imran Pambudi, MPHM, menyatakan dalam upaya pengurangan stigma dan diskriminasi telah terdapat sejumlah kegiatan strategis antara lain; identifikasi tantangan mutu pelayanan TBC, data hambatan akses layanan, penguatan respon layanan kesehatan, menciptakan lingkungan bersahabat bagi pasien, edukasi masyarakat terkait TBC untuk menghapus stereotip, dan memperkuat komunitas dan satgas TBC untuk menciptakan lingkungan tanpa stigma dan diskriminasi TBC.
Stigma ini harus dituntaskan mengingat ada dua pasal pada Peraturan Presiden (Perpres) terkait stigma TBC antara lain pada pasal 12 yaitu setiap pasien TBC dalam menjalani pengobatan berhak mendapatkan perlindungan terhadap stigma dan diskriminasi terkait penyakitnya, serta pada pasal 13 untuk menyediakan layanan TBC yang ramah dan berpihak pada kebutuhan pasien.
Upaya menghapus stigma TBC ikut menjadi pembahasan Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan. Pasalnya, perlu ada otokritik dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia karena hingga saat ini jumlah kasusnya masih belum juga menurun.
Fungsi pengawasan paling mungkin dilakukan dalam penanggulangan TBC di Indonesia. Selain itu, politik anggaran dan promosi kesehatan dalam penanggulangan TBC harus dilakukan secara kuat, optimal dan tidak putus di dalam negeri sehingga dapat menurunkan angka kasus TBC di Indonesia. Kerja sama multisektor dalam menanggulangi stigma TBC juga perlu dilakukan untuk mencegah dampak-dampak dari stigma yang mungkin terjadi.
Anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi Gerindra, drg. Putih Sari juga menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 agar tidak menjadi penghambat. “Kita dapat menumpangi penanganan pandemi untuk menanggulangi TBC di Indonesia,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post