Jakarta, Prohealth.id – Penyakit cacingan sebenarnya memiliki potensi menyebabkan kematian jika tak diatasi dengan baik.
Menurut Anggota UKK Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, MKed (Ped), SpA(K), PhD, penyakit cacingan sebenarnya memiliki keparahan yang tinggi dengan cara penularan yang sangat mudah. Penyakit ini ditularkan melalui telur cacing yang biasanya mengkontaminasi di tanah atau air. Misalnya saja; telur cacing yang ada di tanah, tinja dari orang yang terinfeksi telur cacing. Biasanya cacing dewasa hidup di usus orang yang terinfeksi. Penyakit cacing juga banyak disebabkan karena konsumsi makanan setengah matang sebab sayuran dan buah-buahan dapat terkontaminasi dengan telur cacing.
Kecacingan juga masuk dalam Neglected Tropical Diseases (NTDs) alias penyakit yang memang tidak mengakibatkan kematian langsung, atau biasa juga disebut Penyakit Tropis yang Terabaikan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 20 penyakit yang termasuk Penyakit Tropis yang Terabaikan atau Neglected Tropical Diseases. Namun di Indonesia ada sejumlah penyakit NDTs yang diprioritaskan antara lain filariasis atau penyakit kaki gajah, cacingan, schistosomiasis, kusta, dan frambusia. NTDs adalah penyakit yang disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk virus, bakteri, protozoa, dan cacing parasit.
Meski demikian, infeksi kecacingan sebagai salah satu NTDs dapat menimbulkan kerugian zat gizi karena kekurangan kalori dan protein. Hingga akhirnya, penderita cacing berpotensi kehilangan darah atau anemia. Artinya, penyakit cacingan secara bertahap menyebabkan disability adjusted life years (DALYs) atau kehilangan waktu produktif atau disabilitas akibat infeksi cacing.
“Hasilnya, cacingan pada anak misalnya bisa menghambat perkembangan fisik, menurunkan kecerdasan produktivitas kerja, dan menurunkan kualitas pribadi sampai kualitas bangsa,” kata dr. Ayodhia.
Bahaya cacing pada anak
Penyakit cacing memiliki bahaya besar bagi anak-anak. Sebut saja diantaranya; anak mudah lelah, anak mengalami kurang gizi karena cacing mengisap makanan, anak mengalami anemia, turunnya kemampuan belajar anak di sekolah, dan akhirnya mengganggu pertumbuhan anak.
Menurut dr. Ayodhia, penyakit cacing tak hanya disebabkan oleh anak yang bermain di tanah atau air tercemar, karena penyakit ini juga bisa ditularkan oleh ibu. Beberapa penyebabnya antara lain; ibu yang jarang cuci tangan meningkatkan risiko kecacingan pada anak, lalu ibu yang jarang gunting kuku, dan anak yang juga tidak menggunting kuku berisiko 4,5 kali lipat mengalami kecacingan.
“Jadi memang faktor risiko utama pada anak sekolah terjadi cacingan adalah bermain dengan tanah. Bisa juga anak memakai jamban yang terkontaminasi,” ujarnya.
Oleh karena itu penting untuk mendorong perubahan gaya hidup masyarakat menjadi pola hidup sehat dan bersih. Selain itu, harus ada jaminan kebersihan sanitasi dan air bersih untuk mencuci tangan dan juga untuk konsumsi minum. Ia juga menegaskan wajib bagi orang tua memasak air sebelum dikonsumsi oleh semua anggota keluarga. Hal ini karena penularan cacing sangat cepat melalui telur yang bersembunyi dalam kulit, tanah, sampai air. Akibatnya, penyakit cacing terbilang sulit diatasi karena hanya bisa disembuhkan dengan obat cacing.
“Ketika ada anggota keluarga yang sakit cacing, maka serumah harus diobati dengan obat cacing. Lalu sprei, semua dibersihkan dengan air hangat dan deterjen. Pastikan semua barang dalam rumah bersih dan bebas dari tanah,” tegas dr. Ayodhia.
Untuk penyakit cacingan, Kementerian Kesehatan menyatakan di tahun 2021 terdapat 36,97 juta anak yang mendapatkan pemberian obat untuk pencegahan massal (POPM). Hasil survei evaluasi pasca pemberian obat cacing dari tahun 2017 hingga tahun 2021 menunjukkan bahwa terdapat 66 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi cacingan di bawah 5 persen, dan 26 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi cacingan diatas 10 persen.
“Penyakit cacing ini pada akhirnya bukan hanya di daerah desa ya. Orang di kota juga bisa terkena cacing. Di Jakarta Utara saja ada. Ini semua karena perilaku,” tuturnya.
Beberapa gejala cacingan yang dialami anak-anak dan patut diwaspadai antara lain; berkurangnya nafsu makan, perut anak membuncit, berat badan anak menurun, nyeri perut, mual-mual, muntah, rasa gatal di sekitar anus, diare atau sembelit, lalu keluar cacing dari mulut atau dubur. Bahkan, keparahan cacing juga bisa sampai menghambat kerja organ vital lain. Contoh gejalanya, cacing bisa sampai keluar melalui hidung atau saat batuk.
“Jadi anak bisa ada masalah pencernaan, lalu sampai ke masalah pernapasan, sesak napas, cacing keluar dari hidung atau batuk. Maka hati-hati, sakit cacing diabaikan jadi tak produktif, bisa menyebabkan kematian.”
Sebagai catatan, Indonesia sebagai negara dengan curah hujan yang tinggi membuat karakter tanah di Indonesia cenderung lembab sepanjang tahun. Artinya, tanah di seluruh Indonesia adalah tempat yang nyaman untuk kembang biak cacing. Untuk itu, orang tua wajib menjamin anak harus memakai alas kaki setiap keluar dari rumah untuk mencegah sakit cacing.
Mengenal ragam penyakit tropis
Selain cacing, ada sejumlah penyakit tropis lain yang mengintai Indonesia. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sebanyak 236 kabupaten/kota di 28 provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis filariasis. Sebanyak 9.906 kasus kronis filariasis tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.
“Dari target sebanyak 93, hanya 72 kabupaten/kota yang mencapai eliminasi pada tahun 2021, dan baru ada 33 kabupaten/kota telah mendapatkan sertifikat eliminasi filariasis,” ujarnya di Jakarta, Senin, 30 Januari 2023 lalu.
Prof. Dr. Taniawati Supali, M.Biomed dari Fakulas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mengatakan penyakit kaki gajah ini ditularkan oleh larva yang ada di dalam nyamuk. Tahap awal orang terkena filariasis biasanya belum bergejala, masih normal.
“Ini yang susah untuk pengobatan tapi pasien bilang masih normal. Gejala awal demam ringan, itu yang menyebabkan mereka tidak sadar, kemudian bengkak, kempes, dan bengkak lagi dan tidak bisa kempes lagi,” ucap Prof. Taniawati.
Schistosomiasis merupakan penyakit yang endemik di 28 desa di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kementerian Kesehatan, melalui Permenkes Nomor 19 Tahun 2018, menargetkan agar schistosomiasis dapat dieliminasi dari 28 desa tersebut pada tahun 2024.
Peta jalan eradikasi penyakit schistosomiasis 2019-2025 pun telah menjabarkan tahapan menuju eradikasi sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu; pengurangan tingkat kejadian infeksi pada manusia menjadi nol, pengurangan tingkat kejadian infeksi pada hewan menjadi nol, dan pengurangan jumlah keong yang terinfeksi menjadi nol.
Sebagai penyakit zoonotik, program pencegahan dan pengendalian schistosomiasis merupakan program yang membutuhkan integrasi dari banyak pemangku kepentingan dalam menjalankan surveilans, pengobatan, pemberantasan keong positif, rekayasa lingkungan, penyediaan sistem sanitasi dan air bersih, serta manajemen penggembalaan ternak.
Sejak tahun 2000 Indonesia dinyatakan telah mencapai status eliminasi kusta dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional sebesar 0,9 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 0,45 kasus per 10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 4,03 kasus per 100.000 penduduk. Selama 10 tahun terakhir terlihat tren relatif menurun baik pada Prevalensi Rate (PR) angka prevalensi maupun angka penemuan kasus baru kusta atau New Case Detection Rate (NCDR).
Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan kusta menargetkan untuk mencapai eliminasi kusta tingkat provinsi pada tahun 2019 dan tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024. Namun sampai tahun 2021 terdapat 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota belum mencapai eliminasi kusta di Indonesia, dan 26 provinsi masih memiliki angka cacat tingkat 2 diatas 1 per 1 juta penduduk.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post