Jakarta, Prohealth.id – Petugas Bea Cukai menemukan 224 ribu batang rokok ilegal, benarkah ini adalah implikasi dari kenaikan tarif cukai rokok?
Tim Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Jawa Tengah dan Yogyakarta (DIY) mendapati rokok ilegal itu dalam bak truk yang mengangkut ambulans ringsek di gerbang tol Adiwerna, Tegal, pada Sabtu (24/7/2021).
Rokok ilegal tersebut berjenis Sigaret Kretek Mesin berbagai merek dengan nilai barang mencapai Rp228,5 juta. Potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp150,1 juta, dikutip dari saluran Youtube, Kanal Bea Cukai TV, diunggah pada Senin, 26 Juli 2021 lalu.
Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau pun menyoroti kasus rokok tanpa pita cukai itu. Widyastuti Soerojo, selaku Ketua I Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau mengakui bahwa peningkatan tarif cukai selalu dikaitkan dengan kekhawatiran adanya peredaran rokok ilegal. Namun, dia beranggapan, kenaikan tarif cukai pun dibarengi mekanisme untuk mencegah kemunculan praktik lancung.
“Peningkatan cukai 23 persen luar biasa, ini diikuti upaya administratif mengejar kemungkinan (peredaran) rokok ilegal,” ujarnya.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 23 persen telah berlaku sejak 1 Januari 2020. Tarif cukai juga telah naik 12,5 persen, pada 1 Februari 2021. Widyastuti beranggapan, Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menetapkan kenaikan itu juga mempertimbangkan efeknya. “Mereka (Kementerian Keuangan) mempunyai sistem untuk mengatasi hal ini (rokok ilegal),” katanya.
Widyastuti menambahkan, walaupun belakangan ada kasus penemuan rokok tanpa pita cukai. “Tentu dalam suatu upaya, bahwasanya ada yang lolos bisa-bisa saja,” ucapnya.
Selain minuman beralkohol, rokok sebagai produk hasil tembakau berkontribusi untuk peneriman negara dari sektor perpajakan, khususnya cukai. Oleh sebab itulah peredaran rokok tanpa pita cukai termasuk tindakan pidana.
Aturan ihwal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Peraturan itu menjelaskan, setiap orang terkait peredaran barang kena cukai, tanpa pita maupun tanda pelunasan, maka termasuk tindak pidana.
Faktor yang mungkin menyebabkan peredaran rokok ilegal terkait struktur pajak yang kompleks. Hal lainnya termasuk pula perilaku negatif perusahaan rokok sebagaimana dikutip dari Transformasi, jurnal Institut Pemerintahan Dalam Negeri, artikel berjudul Pajak Tembakau: Permasalahan Produksi Rokok Ilegal di Indonesia (2019).
Di Indonesia, pajak tembakau salah satu sumber pendapatan nasional. Pada 2018, pendapatan dari pajak tembakau mencapai Rp153 triliun. Adapun pendapatan itu telah meningkat dari Rp149,9 triliun pada 2017. Akan tetapi, pada 2004, Indonesia pernah mengalami kerugian pendapatan, tersebab 17 persen rokok ilegal beredar di pasaran.
Pajak tembakau diatur melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai. Ada pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 tentang pajak rokok. Pungutan tembakau dibagi dua jenis, yaitu cukai dan pajak. Cukai dikenakan pada tembakau karena produk tersebut termasuk barang yang konsumsinya perlu dikendalikan. Adapun tingkat cukai tembakau, 40 persen dari harga produk. Pajak tembakau adalah retribusi atas cukai yang dipungut oleh pemerintah. Tarif pajak tembakau, 10 persen dari cukai. Maka, setiap produk tembakau akan mendapat pungutan dua kali.
INDUSTRI TEMBAKAU MENJUAL NIKOTIN
Industri tembakau dalam bisnis inti dan sifat produknya menjual nikotin, sebagaimana tercantum dalam nota peringatan Phillip Morris pada 1980. Memorandum yang sama juga dalam Brown & Williamson dari H.D. Steele (1978). “Sangat sedikit konsumen yang menyadari efek nikotin. Sifatnya adiktif dan nikotin itu racun.”
Dari nota peringatan internal industri tembakau itu, Widyastuti menganggap pemasaran yang dilakukan industri tembakau berlindung di balik selubung legal. “Ada risiko dari produk yang dijual. Legal bukan berarti normal, buktinya diberi cukai produk yang mengandung zat adiktif,” ujarnya.
Dia mafhum, iklan rokok tak pernah mengajak seseorang menjadi perokok. Namun, kata dia, yang penting dipahami sasaran target pemasaran. “Targetnya remaja yang menentukan pilihan. Ketagihan nikotin ini menjadi komoditas ekonomi,” katanya.
Soal industri dan petani tembakau, Widyastuti memandang ada ketimpangan dalam hubungan keduanya. Menurut dia, petani menjadi terkait ketika industri rokok merasa terusik oleh aturan pengendalian tembakau. “Seberapa kecil pun aturannya. Sudah (petani) tidak mendapat keuntungan yang semestinya,” katanya.
BERTANI TEMBAKAU BERHADAPAN MASALAH EKONOMI
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), andil dari total tenaga kerja pertanian dan industri tembakau dengan keseluruhan penduduk yang bekerja tahun 2017 sebesar 1,17 persen. Persentase itu mengalami penurunan menjadi 1,08 persen pada 2018.
Yamidi, 49 tahun, Ketua Kelompok Tani Margo Rahayu, Temanggung, Jawa Tengah, menyiasati kelangsungan pertanian menggunakan pola tumpang sari sejak 1999.
“Satu lahan itu tidak hanya tembakau. Tapi ada tanaman kopi dan hortikultura lainnya,” katanya.
Pola tumpang sari dilakukan, karena kekhawatiran masalah cuaca. Ketika cuaca memengaruhi penurunan produksi tembakau, maka tanaman lain akan menjadi sumber penghasilan.
“Dalam satu hamparan minimal ada empat komoditas yang bisa dipanen dalam satu tahun,” tuturnya.
Mengingat komoditas pertanian dipengaruhi ketaktetapan harga, maka tak bisa lagi bergantung hasil dari tanaman tembakau. Hal ini juga beriringan buka dan tutup pabrik rokok untuk pembelian tembakau. Dia pun menuturkan, tembakau laku dibeli oleh pabrik antara bulan Agustus sampai Oktober. Maka pada jangka waktu tiga bulan petani harus sudah memanen tanaman tembakau.
“Kalau misalnya panen sebelum Agustus atau setelah Oktober, itu jelas tembakau sudah tidak laku,” tuturnya.
Tanaman selain tembakau, akhirnya menjadi sumber perekonomian para petani. “Boleh dikatakan sekarang ini hasil tanaman tembakau sebagai tabungan. Kala tembakau pas panen setelah Oktober, petani tidak rugi banget,” katanya.
Ketua Asosiasi Petani Swadaya Lombok, Jopi Hendrayani mengatakan, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, cerita berbeda muncul dari petani tembakau yang swadaya. Bertani tembakau kini malah kian merugi.
“Banyak keluhan petani swadaya tidak masuk di industri,” katanya.
Masalahnya, ucap Jopi, lahan milik petani swadaya rata-rata di bawah luas satu hektare. Luas tersebut dianggap belum cocok sebagai kriteria.
“Tidak bisa masuk industri, lahan harus memadai. Kata sejahtera itu hanya mimpi bagi kami,” ucapnya.
Belum lagi soal Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dia nilai tak jelas pembagiannya. “Kami tidak tahu alokasinya di mana, untuk kesejahteraan dan jaminan sosial,” ujarnya.
Menurut ekonom Faisal Basri, masalah petani tembakau penjualan hasil bertanamnya cenderung oligopsoni atau monopsoni. “Pembelinya satu atau segelintir, biasanya pabrik rokok posisi mereka kuat,” katanya.
Faisal menjelaskan, demi meningkatkan keuntungan, petani perlu menyesuaikan pasar yang lebih luas. “Kalau menanam tembakau, (petani) bergantung pada pabrik rokok,” ujarnya.
Soal cukai, Faisal mengatakan, rokok jenis Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin yang ketat diatur pajak. Faisal menjelaskan, 73 persen dua jenis rokok itulah yang beredar di Indonesia. “Kalau Sigaret Kretek Tangan yang diproduksi oleh UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) tidak diutak-atik cukainya,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post