Jakarta, Prohealth.id – Di Indonesia, krisis ini memukul perempuan lebih keras dari yang bisa dibayangkan.
Saat banjir melanda atau panen gagal karena kekeringan, perempuan yang pada umumnya mendominasi kerja-kerja domestik, menjadi yang pertama kali terdampak. Mereka harus berjuang lebih keras untuk mencari air bersih, menyediakan makanan untuk keluarga, dan menjaga kesehatan anak-anak mereka.
Namun di balik itu semua, beban yang mereka pikul sering kali tidak terlihat, apalagi dihitung. Dalam pengungsian, ancaman kekerasan berbasis gender mengintai. Di rumah, tekanan ekonomi memperburuk risiko kekerasan domestik.
Ironisnya, sangat jarang mengajak perempuan yang paling terdampak untuk bicara soal solusi. Di pedesaan dan komunitas adat, mereka menjadi penjaga lingkungan yang gigih—mengolah lahan yang semakin tandus, menjaga sumber daya yang semakin langka. Suara mereka kerap tenggelam di meja-meja rapat yang didominasi oleh keputusan pemangku kewenangan yang didominasi laki-laki yang mengabaikan keadilan gender.
Krisis iklim ini bukan hanya soal lingkungan. Ini adalah seruan darurat untuk membongkar ketidakadilan sistemik yang melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Awal Desember 2024 kemarin, membawa tema “Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki”, ratusan perempuan dan pendukung keadilan gender di Jabodetabek turun ke jalan, menyerukan penghentian kekerasan berbasis gender, diskriminasi, dan ketidakadilan yang terus melumpuhkan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Seruan ini bukan tanpa alasan. Tahun 2023, Jakarta Feminist melaporkan 180 kasus femisida yang terjadi di Indonesia, namun hanya sebagian kecil yang mendapatkan penanganan serius. Kasus-kasus ini mencerminkan sistem patriarki yang masih merajalela, menempatkan perempuan sebagai kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan, baik di ranah domestik maupun publik.
Namun, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik atau seksual. Kekerasan ekologis, yang sering kali luput dari perhatian, menjadi ancaman besar lainnya.
Dalam WMJ 2024, dampak perubahan iklim terhadap perempuan menjadi salah satu sorotan utama. Khalisah Khalid, juru kampanye Greenpeace, menegaskan bahwa perempuan, terutama masyarakat adat dan mereka yang tinggal di pedesaan, menjadi kelompok paling terdampak oleh perubahan iklim.
“Mereka kehilangan akses terhadap sumber daya dasar seperti air, pangan, dan obat-obatan tradisional. Padahal, perempuan sering menjadi garda terdepan yang terdampak langsung oleh krisis ini,” katanya.
Krisis Iklim dan Kekerasan Ekologis
Tahun 2024 tercatat sebagai salah satu tahun terpanas dalam sejarah, menurut laporan BMKG. Suhu ekstrem dan bencana iklim lainnya tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga memperburuk kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Saat banjir, kekeringan, atau kebakaran hutan melanda, perempuan di pedesaan dan masyarakat adat sering kali kehilangan sumber mata pencaharian, akses terhadap air bersih, dan obat-obatan tradisional.
Kehilangan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga, tetapi juga meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender. Ketika keluarga menghadapi tekanan ekonomi akibat krisis iklim, perempuan sering menjadi korban kekerasan domestik. Bahkan, saat perempuan mencoba mengambil peran aktif dalam melindungi lingkungan, mereka sering menghadapi kekerasan dan intimidasi dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh upaya mereka.
Dalam diskusi publik bertema “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan”, oleh Indonesia Women’s Rights Fund (IWRF) pada pertengahan Desember. Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, menekankan perempuan sering kali menjadi tumpuan keluarga di tengah krisis.
“Tanah, sungai, laut, segala sumber daya di dalamnya adalah sumber kehidupan. Saat krisis melanda, resiliensi perempuan menjadi harapan bagi kelangsungan hidup,” ujarnya.
Namun, harapan itu tidak datang tanpa harga yang mahal. Siti Mazumah, Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), mengungkapkan bahwa perempuan kerap kali menjadi korban ganda.
“Kesulitan mencari sumber makanan dan air, polusi, hingga masalah kesehatan reproduksi adalah beban tambahan yang harus ditanggung perempuan akibat krisis iklim. Ini belum termasuk ancaman kekerasan dari lingkungannya sendiri,” jelasnya.
Dampak ini tak hanya muncul dari bencana alam yang memburuk, tetapi juga dari kebijakan struktural yang terus mengakomodasi industri ekstraktif. Uli Arta Siagian dari WALHI Eksekutif Nasional menyatakan, industri ekstraktif tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak tatanan sosial.
“Perempuan, yang sering kali menjadi penjaga lingkungan, harus menghadapi risiko yang lebih besar tanpa perlindungan yang memadai,” tegasnya.
Ketidakadilan yang Sistemik
Sementara itu, Inayah, seorang aktivis muda dari Pamflet Generasi, menyoroti bagaimana perempuan sering kali termarjinalkan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim. Ia menyebutkan bahwa peran perempuan sering kali hanya formalitas semata.
“Kita bicara tentang transisi hijau yang adil. Namun kenyataannya perempuan dan kelompok rentan tetap tidak mendapatkan ruang untuk benar-benar berperan,” ujarnya. Dalam acara WMJ 2024, Inayah mencontohkan yang terjadi pada suku Awyu di Papua beberapa waktu lalu.
“Perampasan tanah adat menjadi proyek strategis dengan dalih pembangunan kian melanggengkan pelanggaran HAM yang akhirnya menghancurkan kehidupan masyarakat adat, terutama berdampak langsung kepada perempuan Papua karena hutannya telah dirusak,” lanjutnya.
Padahal, pendekatan berbasis keadilan gender sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan program terkait perubahan iklim benar-benar inklusif.
Sugiarto Arif Santoso, Lead of Civic Space Yayasan Penabulu, menambahkan bahwa krisis iklim tidak hanya memperburuk kondisi ekologis tetapi juga memperparah kondisi sosial.
“Kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan harus segera diimplementasikan untuk memastikan perempuan bisa berperan aktif dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkeadilan,” kata Sugiarto.
Resiliensi dan Perlawanan Perempuan
Namun, di tengah semua ini, perempuan tetap menunjukkan resiliensi dan keberanian yang luar biasa. Di berbagai wilayah Indonesia, perempuan memimpin komunitas dalam aksi adaptasi dan mitigasi krisis iklim. Mereka menciptakan inovasi untuk mengelola sumber daya air, memulihkan lahan, dan melawan proyek-proyek yang merusak lingkungan.
Namun, resiliensi saja tidak cukup. Butuh kebijakan yang mendukung, program yang inklusif, dan pengakuan terhadap kontribusi perempuan dalam menjaga lingkungan dan masyarakat. Seperti yang kata Uli Arta Siagian, “Pengakuan dan penghormatan terhadap peran, pengetahuan, dan pengalaman perempuan harus menjadi nilai utama dalam kebijakan keadilan iklim.”
Hal ini selaras dengan ujaran Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan dalam diskusi IWRF. Ia menekankan pentingnya mendukung peran perempuan dalam menghadapi krisis ini.
“Pengakuan terhadap pengetahuan dan pengalaman perempuan harus menjadi dasar dari kebijakan keadilan iklim. Perempuan bukan hanya korban, tetapi juga solusi bagi krisis yang kita hadapi,” ujarnya.
Seruan untuk menghentikan kekerasan berbasis gender dan ekologis ini adalah panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Bima Gilang, salah seorang peserta aksi Women’s March Jakarta menegaskan hal ini. “Perubahan hanya mungkin terjadi jika kita mengutamakan keadilan gender dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam upaya menyelamatkan bumi dari krisis iklim,” ujar Bima.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post