Yayasan Lentera Anak resmi berdiri pada 2013. Sebagaimana namanya, lembaga itu dia buat dengan tujuan untuk melindungi anak-anak, termasuk dari bahaya tembakau.
Namun, jejak aktivisme Lisda terkait isu anak dan tembakau sebenarnya sudah lama. Jauh sebelum Yayasan Lentera Anak berdiri.
Lisda lahir di Bandung, 21 November 1967. Namun, sejak kecil hingga remaja dia tumbuh di tanah Sumatra. Kemudian, pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga kuliah dia kembali ke tempat kelahirannya di Bandung.
Lisda berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung (Unisba) pada 1992. Selain menimba ilmu formal di bidang ekonomi, Lisda juga mulai dekat dengan isu-isu anak.
“Memang di Bandung itu kan kota pergerakan ya. Jadi, lingkungan mahasiswa Bandung itu banyak sekali mempengaruhi saya. Dari SMA sebenarnya, saya juga banyak sekali belajar atau terlibat dalam gerakan-gerakan sosial di sekolah maupun di kampus,” kata Lisda kepada Prohealth.id melalui telepon.
Awalnya, Lisda tertarik dengan isu-isu anak karena banyak melihat anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi dan tak mendapatkan akses pendidikan. Dia mulai intens dan terlibat jauh dengan isu anak saat menjadi Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2004.
Puncaknya adalah pada saat tsunami Aceh tahun 2004 silam. Saat itu dia menjadi koordinator program layanan anak di Komnas PA. Ia pun lebih banyak lagi menemukan berbagai permasalahan di kalangan anak-anak.
Pada 2010, sempat heboh anak berusia 2 tahun asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) menghisap rokok 40 batang per hari. Berita itu sampai diliput oleh media-media luar.
Bocah dengan julukan ‘baby smoker’ itu awalnya mencicip rokok dari ayahnya sendiri yang merokok. Akibatnya, si anak malah ketagihan. Bahkan, anak tersebut tantrum jika tidak mendapatkan rokok.
Lisda saat itu bersama tim Komnas PA mendatangi langsung kediaman baby smoker itu. Dia melihat langsung apa yang diberitakan bahwa ada seorang balita sudah merokok dan tak bisa dihentikan.
“Kalau selama ini kan kita melihat anak itu sebagai korban perokok pasif ya. Kalau ini kan seorang bayi menjadi perokok aktif,” kata dia.
Lisda dan tim memboyong anak itu ke Jakarta agar bisa berhenti merokok. Lisda mendampingi anak berinisial A itu ke rumah sakit untuk mengecek kesehatannya, berkonsultasi ke psikolog hingga mengkarantinanya agar tidak merokok.
Itu bukan hal mudah. Sebab, anak itu sudah kecanduan rokok. Setiap anak itu meminta rokok dan tidak dituruti, maka marahlah yang terjadi.
“Jadi saya menyaksikan bagiannya ketika dia teradiksi dengan rokok dan dia kita putus akses dia kepada rokok Itu saya melihat sendiri di depan mata kepala saya Dan bukan cuma sekali,” ucapnya.
Selama hampir 3 bulan, anak tersebut bersama dengan Lisda dan tim. Ketika dalam kondisi candu dan jika tak mendapatkan rokok, dia sangat marah.
“Dia membenturkan kepalanya, dia tantrum. Segala macam dia lakukan karena dia ingin merokok Itu kan faktor adiksi,” imbuhnya.
Berbenah dari Dasar
Delapan tahun di Komnas PA, Lisda memutuskan untuk mundur dan mendirikan lembaga sendiri berbentuk yayasan pada 2013, yang saat ini bernama Yayasan Lentera Anak. Cita-citanya sejak lama pun tercapai. Dia bisa lebih leluasa melakukan advokasi terhadap anak.
“Sebelum saya ke Komnas PA pun saya punya cita-cita ingin punya lembaga sendiri untuk memperjuangkan apa yang menjadi komitmen saya gitu kan. jadi ketika di Komnas PA itu keinginan itu selalu ada gitu,” ujarnya.
Selain itu, dia juga ingin lebih banyak fokus pada tindakan preventif. Sebab, selama ini di Komnas PA, dia lebih banyak menindak apa yang sudah terjadi. Menurutnya, prevalensi perokok harus dengan pencegahan.
“Jadi kasus itu adalah muaranya. sebelum ada kasus itu harus ada intervensi-intervensi sebelum itu jadi kasus. Salah satunya adalah preventif. preventif itu kalau preventif itu berhasil atau kalau preventif itu banyak, maka itu akan mempengaruhi kasus yang terjadi,” ucap dia.
Menurutnya, tindakan preventif itu mulai dengan memberdayakan anak. Dia ingin anak-anak itu tidak melulu menjadi korban, namun menjadi solusi. Salah satunya lewat edukasi.
“Memberdayakan mereka, membangun pemahaman kritis mereka tentang rokok itu berbahaya,” kata Lisda.
Lisda dan rekan-rekannya telah membuat forum-forum anak di 500 lebih titik di Kabupaten/kota untuk menyuarakan bahaya rokok.
Ia menyadari bahwa cara itu mungkin tidak 100 persen ampuh. Sebab, banyak tantangan dan aspek lain agar anak-anak terhindar dari rokok.
Lawan aktivis anti tembakau seperti Lisda adalah industri rokok. Pasalnya, kampanye rokok yang a la industri juga sama derasnya. Apalagi, industri rokok di Indonesia banyak mensponsori kegiatan-kegiatan.
Lewat iklan-iklan di televisi dan di jalanan, industri rokok telah membuat anak-anak tergiur untuk menghisapnya. Apalagi, citra rokok yang dikemas seakan-akan tidak berbahaya.
Ia menegaskan, anak-anak tidak pernah tahu resiko jangka panjang yang akan dia dapatkan ketika dia merokok. Yang terpatri yang ada dalam pikiran anak-anak, bahwa merokok itu untuk gaul, terlihat keren, bahkan terlihat dewasa.
“Ini sama persis dengan pesan-pesan yang dikirimkan atau yang disampaikan oleh iklan rokok kepada anak-anak,” jelasnya.
Yayasan Lentera Anak kerap melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk mengamati perilaku anak-anak. Ada salah satu SMK di Depok yang dia ingat betul lantaran anak-anaknya merokok hingga gagal masuk tes BUMN ketika lulus.
Tahun 2013, ada 43 anak dari SMK tersebut yang menjalani tes masuk BUMN. Sebanyak 40 anak di antaranya berhasil lolos tes tahap satu, yakni tes akademik.
Kemudian mengerucut menjadi 38 anak yang lolos pada tah dua, yaitu tes psikotes. Namun, pada tahun ketiga yakni tes kesehatan, dari puluhan anak itu hanya tiga orang yang lolos.
Puluhan anak yang gagal tes kesehatan itu semuanya adalah perokok aktif. Berdasarkan hasil tes kesehatan 35 anak ada temuan TAR di paru-paru mereka.
“Mereka gagal. Bukan gagal karena akademis mereka. Bukan gagal karena psikotes mereka. Tapi, gagal kesehatan karena mereka merokok,” ungkap dia.
Puluhan anak itu pun menyesal. Mereka tidak tahu bahwa dengan merokok bisa membuat mereka gagal mendapatkan kerja. Tidak hanya anak yang menyesal, namun orang tua dan guru-guru mereka pun sama terpukulnya. Lisda juga mengaku tidak lagi miris melainkan emosi. Marah kepada industri rokok.
“Waktu mendengar cerita Pak Guru dengan cerita sedihnya berdiskusi, bicara langsung dengan dua orang siswa yang gagal tersebut, saya sangat marah,” ujarnya.
“Rasa marah karena anak-anak ini dia tidak tahu kalau dia dibohongi dan yang membohongi mereka adalah perusahaan rokok yang menjual rokok dengan memberi kesan bahwa rokok itu tidak berbahaya,” sambungnya.

Dari kejadian itu, Lisda sadar bahwa preventif saja tidak cukup. Negara perlu hadir mengintervensi kedaruratan yang terjadi hingga saat ini.
“Perlu ada kehadiran negara untuk memastikan anak-anak ini terlindungi. Kita tidak bisa sekedar edukasi, tapi kalau negara tidak hadir melindungi anak-anak ini dengan mengatur perusahaan rokok dengan peraturan-peraturan yang ketat,” ucapnya.
Jalan Terjal Mendesak Industri
Lisda berharap, salah satu bentuk kehadiran negara adalah lewat regulasi-regulasi yang melindungi anak-anak dari rokok. Sejak 2009, sebenarnya Lisda sudah berupaya mendorong pemerintah untuk melakukan hal tersebut.
Namun upaya itu tidak mudah. Lisda dan sejumlah aktivis anti tembakau lainnya mendorong adanya revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dia ingin pemerintah mempertegas aturan-aturan tersebut.
Pasalnya, terdapat pasal yang melarang iklan zat adiktif, kecuali rokok.
Sayangnya, upaya itu tidak berhasil. Iklan rokok masih berkeliaran bebas. “Pemerintah tidak percaya, tidak yakin bahwa iklan rokok itu mempengaruhi anak merokok, sehingga aturan itu nggak dilarang, cuma diatur saja,” ucapnya.
Saat itu, dia gencar membuat forum-forum diskusi dengan anak muda, termasuk anaknya. Anak Linda pun tergugah untuk menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, lagi-lagi masih sama.
“Waktu itu hasilnya, 5 hakim menolak, 4 hakim menerima. Intinya ,sebenarnya para hakim mengakui Rokok itu zat adiktif. Tapi kemudian Karena di Indonesia rokok itu masih dianggap produk legal, maka dia boleh beriklan. Jadi melihatnya karena dia legal bukan karena dia zat adiktif,” bebernya.
Dari kejadian itu, Linda belajar bahwa jika terlalu sulit untuk mencapai keberhasilan tinggi. Ia harus mengejar kemenangan- kemenangan kecil yang capaiannya terukur.
Dia lalu mencari celah lain yang bisa dilakukan. Salah satunya mendorong aturan lewat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Lisda dkk, mendorong agar indikator kota layak anak itu dia kota tersebut harus mempunyai regulasi kawasan tanpa rokok. Hasilnya, sampai tahun 2024, sedikitnya sudah ada 24 kota yang punya regulasi tersebut.
Kemenangan kecil lainnya yang pernah diraih oleh Lisda dkk, adalah membuat perusahaan rokok menurunkan iklan audisi yang memuat anak-anak.
“Dan itu kemudian berhasil gitu kan. Kemudian diganti, diturunkan dan bahkan kemudian audisinya dibuat lebih tertutup gitu kan. Nah itu juga keberhasilan-keberhasilan kecil,” ucapnya.
Kemenangan-kemenangan kecil itu lah yang membuat napas perjuangan Lisda dkk menjadi panjang. Bukan hal mudah terus menerus mendapatkan kegagalan. Jika benar-benar tidak peduli terhadap isu itu, mungkin Lisda sudah menyerah.
“Karena kalau cuma sekedar bekerja, paling tahan 2-3 tahun. Apalagi kalau nggak berhasil-berhasil. Udah capek kan, yaudah. Namanya perjuangan, karena kita terlalu melibatkan diri kita dalam upaya advokasi sehingga ketika itu tidak berhasil itu menghabisi setengah diri kita,” tuturnya.
Dia juga berharap anak-anak muda bisa menjadi agen perubahan dan meneruskan perjuangannya. “Misalnya pelarangan iklan rokok, mungkin belum terjadi di masa perjuangan saya. Tapi saya yakin itu akan terjadi di masa perjuangan anak-anak yang selama ini kita edukasi, yang selama ini kita berdayakan semoga berhasil,” ucap dia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post