Ibu saya menderita kanker ovarium sejak 2020, tepat ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Sulitnya mendapat rumah sakit, adanya pembatasan aktivitas sosial, bahkan untuk sekadar mendiagnosa kanker ibu saya, sempat membuat kami sekeluarga ketar-ketir. Sementara ibu saya sudah mengalami pendarahan.
Mengutip dari situs Alodokter, kanker ovarium adalah kanker yang muncul di jaringan ovarium atau indung telur. Kanker ovarium juga merupakan jenis kanker terbanyak ketiga yang diderita para perempuan di Indonesia. Banyak tenaga medis yang memberikan pernyataan bahwa kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal lebih mudah untuk diatasi daripada kanker ovarium yang baru terdeteksi pada stadium lanjut.
Berdasarkan data Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas), yang dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan prevalensi kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Prevalensi kanker itu tersebut tidak hanya dilihat dari satu sisi peningkatan saja, tapi di sisi lain justru pelayanan kesehatan juga lebih meningkat.
Berdasarkan data Globocan, kini beban penyakit kanker di dunia meningkat, yaitu terdapat 18,1 juta kasus baru dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian di tahun 2018 dimana 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian kanker, serta 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal karena kanker.
Perempuan rentan menderita kanker
Mei 2020, barulah ibu saya melalui proses operasi kanker dan divonis baru stadium 1C. Tentu saja hidup saya berubah dalam beberapa hal setelah Mama terdeteksi menderita kanker. Pertama, pekerjaan domestik yang persentasenya paling besar dipikul oleh ibu saya mulai didelegasikan kepada saya, lalu adik dan ayah saya sebab kami tidak punya asisten rumah tangga (ART).
Dalam beberapa titik saya mulai memiliki kesadaran, ketika perempuan apalagi seorang ibu sakit, rumah seolah mengalami chaos. Ada fase ketika saya mengambil peran-peran ibu saya, membuat saya teringat betapa sulitnya keadaan saya ketika ibu saya sakit, masuk UGD ketika saya masih kecil. Kondisi chaos ini belum ditambah kondisi psikis dan mental seorang ibu di sistem dan budaya patriarki yang kerap cemas dan mengkhawatirkan anak. Ada ketidakpercayaan dan keraguan, akankah ayah, atau peran pengasuh lain mampu menyelesaikan kerja-kerja pengasuhan anak?
Pantas saja, saya kerap mendengar pepatah mengatakan ‘perempuan tidak boleh sering-sering sakit.’ Perempuan yang sakit kerap identik dengan perempuan yang tidak produktif, atau bahkan malfungsi secara sosial, ekonomi, dan budaya.
Kondisi ini semakin tidak masuk akal ketika saya mengikuti kelas memasak dan manajemen makanan anti kanker yang digelar oleh Wied Harry, seorang Nutritionist Enterpreneur. Dengan gamblang, Pak Wied -sapaan akrab beliau dalam kelas manajemen anti kanker- menyebut bahwa perempuan adalah kelompok manusia yang paling rentan menderita kanker.
Masih dikutip dari Kementerian Kesehatan tahun 2019, angka kejadian tertinggi di Indonesia untuk laki – laki adalah jenis kanker paru yaitu sebesar 19,4 per 100.000 penduduk, yang diikuti dengan kanker hati sebesar 12,4 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kejadian kanker untuk perempuan yang tertinggi adalah kanker payudara yaitu sebesar 42,1 per 100.000 penduduk yang diikuti kanker leher rahim atau kanker serviks sebesar 23,4 per 100.000 penduduk. Secara keseluruhan angka kejadian penyakit kanker di Indonesia sebanyak 136,2/100 ribu berada pada urutan 8 di Asia Tenggara, sedangkan di Asia urutan ke-23.
Kenyataan bahwa perempuan sangat rentan menderita kanker, tahun ini pemerintah Indonesia sudah mencanangkan program imunisasi wajib tambahan yakni memberikan vaksinasi HPV gratis untuk mencegah serviks bagi anak-anak perempuan yang akan masuk usia produktif. Artinya, pemerintah paham tingginya risiko perempuan mengalami sakit kanker.
Dalam kelas manajemen anti kanker ini, saya juga belajar hal yang paling penting dalam manajemen kanker adalah tentang penerimaan atau acceptance. Ada bedanya penerimaan dengan sifat yang proaktif, dengan penerimaan yang memposisikan diri sebagai korban yang lemah. Ada banyak buku tentang kanker yang beredar kerap memakai diksi atau frasa yang sama yaitu ‘berdamai’ artinya ada beberapa penyakit yang tidak sembuh dan yang bisa dilakukan adalah dengan berdamai atau penerimaan.
Bagaimana proses penerimaan bisa sukses dilalui para perempuan? Menurut Wied Harry yang pernah menjadi jurnalis Majalah Trubus ini, proses penerimaan inilah yang justru paling sulit dilalui perempuan.
Apa sebabnya?
Perempuan dan laki-laki itu berbeda, setara tetapi tidak sama. Kondisi tidak sama yang paling mudah diingat misalnya, secara biologis laki-laki tidak menstruasi seperti perempuan. Laki-laki juga tidak mengandung dan melahirkan anak seperti perempuan. Menurut perempuan memiliki kemampuan untuk multitasking, atau bisa mengerjakan segala hal bersamaan dibandingkan laki-laki. Perempuan juga lebih mampu mengoleksi ribuan kata dan melontarkan bermacam kalimat dalam satu hari, dibandingkan laki-laki. Kondisi yang disebut masih tergolong alamiah ini kerap menjadi lelucon bias bahwa perempuan cenderung lebih cerewet ketimbang laki-laki. Padahal, aktivitas kognitif dan psikomotorik perempuan memang lebih aktif ketimbang laki-laki yang diakibatkan baik secara biologis maupun akibat bentukan dan tuntutan sosial dan budaya. Kondisi ini membuat perempuan memiliki pikiran yang berpeluang ‘lebih berisik’ atau ribut ketimbang laki-laki. Oleh karenanya, menurut Wied, sungguh menjadi tantangan besar ketika perempuan menderita kanker dan dia harus berdamai dengan dirinya, terutama dengan merapikan serpihan pikiran dan batin (kondisi kognitif dan psikomotorik) tersebut.
Kerugian ekonomi dan kesenjangan
Dikutip dari situs siaran pers Kementerian Kesehatan, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan ada sisi lain dari peningkatan prevalensi kanker itu.
“Kita tidak bisa melihat satu sisi soal peningkatan jumlah, tapi aksesibiltas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan juga meningkat. Dulu orang banyak yang susah berobat karena masalah pembiayaan. Tapi tahun 2014 ada JKN, dan PBI makin banyak sehingga semua orang relatif punya akses,” kata Anung pada 2019 silam.
Berdasarkan data Komite Penanggulangan Kanker Nasional tahun 2019, dari 266 juta penduduk di Indonesia terdapat 348.809 pasien kanker baru setiap tahunnya dimana sekitar 80 persen tidak terobati. Ada 20 persen, dari 80 persen penderita yang tidak terobati tersebut mengupayakan pengobatan ke luar negeri. Pengobatan penderita ke luar negeri yang minimal terdiri dari satu orang sakit ditambah 1 orang pendamping akan menyebabkan potensial economic loss sebesar Rp803 miliar.
Oleh karena itu, untuk pencegahan dan pengendalian kanker, khususnya dua jenis kanker terbanyak di Indonesia, yaitu kanker payudara dan leher rahim yang mana keduanya diderita oleh perempuan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim pada perempuan usia 30-50 tahun.
Deteksi dini itu dilakukan dengan menggunakan metode Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis) untuk payudara dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) untuk leher rahim. Selain upaya di atas, Kementerian Kesehatan juga mengembangkan program penemuan dini kanker pada anak, pelayanan paliatif kanker, deteksi dini faktor risiko kanker paru, dan sistem registrasi kanker nasional.
Catatan kecil
Perjalanan mendampingi ibu melalui kanker ovarium atau kanker pada indung telur juga membawa saya pada refleksi tingginya risiko perempuan produktif menderita kanker bahkan di organ reproduksinya.
Sejak tahun 2020, kedua rahum ibu saya sudah diangkat. Kadang saya berpikir, ibu saya telah menuntaskan dengan sempurna cita-citanya sebagai perempuan yaitu menjadi ibu, dan menggenapi lewat pengangkatan rahimnya.
Ibu saya menuntaskan enam kali kemoterapi di rumah sakit pemerintah. Namun kanker tidak semudah itu lenyap apalagi hilang. Dia hidup dalam setiap denyut nadi ibu saya, dan sel-sel kanker itu juga memberi sinyal pada saya rentannya perempuan untuk menderita penyakit ini sekalipun si perempuan sudah cukup optimal menerapkan pola hidup sehat.
Jika melansir dari Alodokter, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita kanker ovarium. Misalnya; berusia di atas 50 tahun, merokok, menjalani terapi penggantian hormon saat menopause, memiliki anggota keluarga yang menderita kanker ovarium atau kanker payudara, menderita obesitas, obesitas, endometriosis atau sindrom Lynch, atau pernah menjalani radioterapi. Ibu saya mungkin memenuhi prasyarat berusia di atas 50 tahun, dan memang memiliki riwayat keluarga penderita kanker. Ada dua tante saya menderita kanker payudara, dan satu tante saya juga menderita kanker ovarium. Sisanya, ibu saya tidak merokok tapi bisa saja pernah menjadi perokok pasif semasa remaja atau muda, ibu saya tidak obesitas, ibu saya tidak menjalani terapi penggantian hormon, dan tidak pernah menjalani radioterapi.
Kondisi ini membuat saya tersadarkan, jaminan kesehatan saja tidak cukup menjadi langkah kuratif, begitupun vaksinasi dini bagi perempuan agar melalui upaya preventif kanker. Ada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, alias kondisi eksternal di luar perempuan yang menyebabkan perempuan rentan menderita kanker. Sebut saja; menjadi perokok pasif, mengonsumsi makanan cepat saji secara berlebihan, bahkan juga tingginya risiko polusi udara dan air yang tidak bersih terhadap kesehatan.
Oleh karena itu, selain penerimaan diri, Wied sang Nutritionist yang berdomisili di Bogor menyebut pentingnya mengubah pola hidup sehat bagi penderita kanker, khususnya perempuan. Tak hanya pola hidup sehat dan konsumsi makanan yang bebas bumbu alias raw food. Perempuan membutuhkan support system dan suasana eksternal yang mendukung perempuan sehat dan bebas dari jerat kanker. Salah satunya adalah dengan menciptakan keselarasan hidup bersama dan tidak melulu mengamini bahwa perempuan tidak boleh sakit.
Tidak, perempuan sangat alamiah untuk sakit. Sebab perempuan memiliki risiko tubuh dan penyakit yang berbeda dari laki-laki.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post