Jakarta, Prohealth.id – Ketua PKJS UI Aryana Satrya mengatakan, stunting merupakan gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat konsumsi gizi yang buruk, infeksi dan stimulasi psikososial yang tidak cukup. Stunting juga berdampak pada kemampuan kognitif yang buruk, performa pendidikan yang tidak optimal, hingga peningkatan risiko penyakit kronis.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 diketahui prevalensi stunting pada balita dan batita di Indonesia telah turun mencapai 30 persen. “Namun angka ini masih lebih rendah dari batas toleransi WHO yaitu 20 persen. Jadi hal ini menggambarkan bahwa stunting merupakan permasalahan gizi nasional yang harus mendapatkan perhatian khsusus,” terangnya.
Beberapa hasil riset, termasuk dari PKJS UI menemukan bahwa anak yang tinggal di rumah tangga dengan orang tua perokok, cenderung memiliki pertumbuhan yang terganggu (stunting), dibandingkan mereka yang tinggal di rumah dengan orang tua non perokok.
“Hal itu merupakan data dari Indonesia Family Live Surveys,” katanya.
Dampak konsumsi rokok bersifat multidimensi. Selain kesehatan perokok dan keluarganya, termasuk stunting, rokok telah berdampak buruk terhadap ekonomi keluarga hingga memunculkan kemiskinan.
Sementara itu, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 adalah menurunkan prevalensi stunting mencapai 19 persen dari angka 30 persen. Tak hanya itu RPJMN juga ingin menurunkan presentase merokok penduduk usia 10 -18 tahun menjadi 8,7 persen dari sebelumnya 10 persen.
Di sisi lain, perilaku merokok orang tua berpengaruh terhadap intelejensia anak secara tidak langsung. Kondisi ini kian mengkhawatirkan, mengingat Indonesia akan menghadapi bonus demografi, mulai dari sekarang hingga 10-15 tahun mendatang.
Itu sebabnya, penting sekali untuk mempersiapakan SDM unggul dan berkualitas. “Bonus demografi tidak dapat optimal dimanfaatkan, jika kesehatan anak dan pemuda menjadi buruk terutama akibat konsumsi rokok,” paparnya.
Pada saat yang bersamaan, pengendalian konsumsi rokok dan percepatan penurunan stunting perlu dilakukan beriringan, karena saling terkait demi mendukung target RPJMN 2024.
PREVALENSI STUNTING MASIH TINGGI
Deputi pelatihan, penelitian dan pengembangan BKKBN Prof. Muhammad Rizal Martua Damanik menegaskan, dalam rangka mewujudkan SDM yang sehat, cerdas dan produktif serta pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, maka percepatan penurunan stunting menjadi keharusan.
Dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah telah menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen pada tahun 2024. Berdasarkan data studi status gizi balita di Indonesia tahun 2021, tren prevalensi stunting menunjukkan penurunan.
“Namun demikian masih menunjukkan angka prevalensi stunting yang masih cukup besar, yaitu 24,4 persen di tahun 2021,” ungkapnya.
Meskipun berhasil diturunkan, namun angka prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih merupakan yang tertinggi di dunia. Indonesia menempati posisi ke 108 dari 132 negara yang diurutkan berdasarkan prevalensi stunting balita terendah hingga tertinggi.
“Ini satu kondisi yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua, bagaimana kita dapat menurunkan angka prevalensi stunting,” tegas Rizal.
Masih berdasarkan laporan tersebut, Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting pada balita tertinggi ketiga diantara negara-negara Asean, setelah Timor Leste dan Laos.
Saat ini, Peraturan Presiden No.72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting telah dicanangkan pemerintah dengan menetapkan target prevalensi yang harus dicapai pada tahun 2024 adalah 11 – 14 persen.
Untuk melaksanakan penurunan stunting, telah ditetapkan strategi nasional percepatan penurunan stunting, meliputi; menurunkan prevalensi stunting, meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi, memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, hingga meningkatkan akses air minum dan sanitasi.
“Di dalam peraturan tersebut, presiden juga memberikan mandat kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai ketua pelaksana percepatan penurunan stunting dengan kelompok sasaran yang meliputi para remaja,” terang Rizal.
Hanya saja, hingga saat ini, konsumsi rokok pada keluarga miskin masih sangat tinggi. Artinya jika belanja rokok bisa dikurangi bahkan dihilangkan sama sekali, maka kesempatan keluarga miskin untuk belanja makanan bergizi akan menjadi lebih besar.
“Hal ini salah satu poin penting untuk mencegah stunting dan dari sini terlihat tarik menarik yang kuat antara konsumsi rokok, kejadian stunting dan kemiskinan,” ujarnya.
Ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dan Imperial Collage London di Inggris beberapa waktu lalu. Hasilnya, prevalensi perokok pasif dalam rumah di Indonesia tertinggi yaitu 78,4 persen dibandingkan negara-lain lain.
“Seperti dengan China yang hanya sebesar 48,4 persen, Bangladesh 46,7 persen dan Thailand 46,8 persen. Ini sangat tinggi,” katanya
Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat perempuan dan anak-anak merupakan kelompok rentan terhadap asap rokok. Paparan perokok pasif selama kehamilan telah dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan, kematian dan kesakitan pada bayi. “Termasuk bayi lahir mati, prematur, keguguran dan berat badan lahir rendah,” ucap Rizal.
Sementara bagi ibu hamil, menjadi perokok pasif berhubungan dengan kelahiran yang berkualitas rendah, antara lain, rata-rata berat badan bayi itu 71.6 gram lebih rendah.
“Juga 16 persen lebih tinggi kemungkinan berat badan lahir rendah dan 51 persen lebih tinggi kemungkinan ukuran lahir yang lebih kecil daripada rata-rata,” ucapnya.
ROKOK HARUS DIKENDALIKAN
Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komite Nasional Pengendalian Tembakau Rita Damayanti menegaskan bahwa masyarakat telah menyadari bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, khususnya perokok aktif.
“Tetapi tidak demikian, karena kita harus mempersepsikan bahwa seorang bapak yang merokok itu akan membuat sakit keluarganya. Karena ada yang namanya perokok pasif,” terangnya.
Damayanti menambahkan, “Jika ada bapak-bapak yang masih merokok, silahkan merokok diluar. Tidak boleh di dalam rumah.”
Ini penting diperhatikan, karena rokok menyebabkan kematian pada 8 juta masyarakat di seluruh dunia, setiap tahunnya. Data WHO pada Juni 2021 menyebutkan, hampir 1 juta di antaranya merupakan perokok pasif.
“Konteksnya perokok pasif, karena kita bicara soal stunting. Oleh karena itu, rokok dampaknya sangat multi sektoral. Artinya, dampaknya tidak hanya pada kesehatan saja, tetapi ekonomi juga,” paparnya.
Bayangkan, kata Damayanti, “Uang segitu-gitunya diambil untuk merokok. Jadi gaji diberikan untuk ibu-ibu lalu diminta untuk beli rokok. Akibatnya rokok menjadi jebakan jerat kemiskinan.”
Ini sejalan dengan survei BPS (2018) yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan belanja rokok lebih banyak daripada beli telur dan sumber protein lainnya. Akibatnya, rokok merugikan ekonomi sebesar Rp27,7 triliun untuk sistem kesehatan dan keluarga. Padahal idealnya BPJS Kesehatan mengalokasikan Rp10,5 – Rp15,5 triliun untuk menambal beban biaya kesehatan, sebagaimana temuan CISDI pada 2019 lalu.
“Mengapa ditambal, karena berdampak pada kesehatan, karena kita ketahui ada 230 ribu kematian akibat konsumsi rokok di Indonesia setiap tahun” ungkapnya.
Oleh karena itu, jika kaum ibu sayang terhadap suaminya, sebaiknya suami disuruh berhenti merokok. Bahkan di masa Covid-19 seperti sekarang ini, risiko keparahan pada perokok lebih tinggi dibandingkan pasien Covid-19 bukan perokok.
Kondisi itu diperburuk dengan hadirnya rokok elektronik dan produk tembakau lainnya. Uniknya, saat ini disebarkan bahwa rokok elektronik lebih sehat dibandingkan rokok biasa, padahal dampaknya sama saja.
“Oleh karena itu, rokok merupakan produk dengan eksternalitas negatif yang memiliki dampak multi-sektor yang mengakibatkan kerugian, sehingga konsumsinya harus dikendalikan,” ujarnya.
Eksternalitas negatif adalah memberi dampak buruk terhadap lingkungan. Dampak itu juga berpengaruh terhadap keluarga dan hal-hal lainnya. “Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri, rokok harus dikendalikan,” ujarnya sekali lagi.
Rokok telah memberikan dampak terbesar, utamanya membebani kesehatan, ekonomi dan produktivitas penduduk. Sektor kesehatan seharusnya menjadi leading-sector mengatasi hal ini.
Sejauh ini, ada enam pilar pengendalian tembakau yang harus dilakukan. Dimulai dari edukasi publik mengenai bahaya merokok secara visual. Juga penting untuk mendorong peringatan kesehatan bergambar menjadi 90 persen dari luas bungkus rokok saat ini yaitu 40 persen.
“Itu perjuangannya panjang sekali untuk bisa menampilkan gambar yang menakutkan itu di bungkus rokok. Itu yang disebut sebagai edukasi publik. Karena 40 persen itu masih lebih banyak gambar merk, karena itu kita sedang berjuang agar menjadi 90 persen,” kata Damayanti.
Kedua, perlunya kawasan tanpa rokok (KTR). Saat ini banyak daerah telah menerapkan Perda KTR, kendati demikian kaum ibu bisa menerapkan KTR di rumah.
“Kita perlu melindungi perokok pasif terhindar dari pajanan asap rokok. Mendorong Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah serta pembekalan mengenai implementasi KTR pada pemangku kebijakan,” ungkapnya.
Ketiga, menaikan harga rokok setinggi-tingginya melalui instrumen kebijakan fiskal, yakni cukai. Keempat, mencegah akses mudah dan murah terhadap rokok pada anak-anak, orang muda dan masyarakat rentan.
“Ketika harga rokok naik, diharapkan orang untuk berpikir membelinya. Dan juga akses terhadap anak-anak menjadi lebih kecil,” katanya. Pasalnya, saat ini, mudah sekali bagi anak-anak untuk menjangkau rokok, karena bisa dibeli dalam bentuk ketengan (batang).
Kelima, denormalisasi perilaku merokok dan industri rokok melalui larangan iklan, promosi dan sponsor yang kerap mencitrakan positif produk rokok. Perlu mendorong peraturan TAPS Ban untuk menunjukkan bahwa rokok tidak seperti sabun yang bisa diiklankan sembarangan. “Oleh karena itu, iklan promosi dan sponsor rokok tidak diperbolehkan,” ujarnya.
Selain itu, perlu memberikan informasi seluas-luasnya mengenai risiko dan bahaya konsumsi produk tembakau terhadap kesehatan, ekonomi, maupun aspek lainnya, melalui produksi video dan poster kampanye.
Keenam, mengakomodasi perokok yang ingin berhenti merokok. Upaya menyediakan layanan berhenti merokok, seperti konsultasi, laman, dan hotline berhenti merokok harus terus digalakkan.
“Mereka yang ingin berhenti merokok karena sudah kecanduan harus dibantu dengan menyediakan layanan berhenti merokok. Di puskesmas, biasanya juga sudah ada program agar berhenti merokok,” papar Damayanti.
Kondisi saat ini, rokok mengancam kesehatan. Orang yang merokok mudah terpapar penyakit tidak menular, seperti hipertensi, kanker, stroke, diabetes mellitus. Semakin bertambah usia, biasanya mudah terkena penyakit tersebut. “Mereka yang merokok mendapatkan penyakit tersebut lebih cepat,” ujarnya.
Penanggulangannya hanya dengan berprilaku hidup sehat. Salah satu perilaku hidup sehat adalah dengan tidak merokok.
Data menunjukkan, jika penyakit tidak menular cenderung meningkat berdasarkan Riskesdas 2013-2018. Penyakit seperti Hipertensi, Kanker, Stroke, Diabetes mellitus angkanya ikutan naik, bersamaan dengan meningkatnya jumlah perokok pria di Indonesia.
Tak hanya itu, konsumsi rokok berhubungan erat dengan stunting. Penelitian PKJS-UI pada 2018 menemukan bahwa bayi keluarga perokok cenderung -1,5 – 0,34 kilogram lebih kecil dibanding keluarga non perokok.
Nikotin yang terdapat pada rokok juga merusak prefrontal cortex anak. Prefrontal cortex berkembang pesat pada anak-anak remaja. Ketika anak remaja menjadi perokok pasif akibat terpapar asap rokok dari bapaknya, maka akan mengganggu perkembangan prefrontal cortex-nya.
“Prefrontal cortex merupakan fungsi eksekutif, fungsi berpikir, emosi ada disini semua. Sehingga anak-anak ketika terkena asap rokok, itu membuat generasinya bukan generasi emas tetapi menjadi generasi yang tidak potensial,” ungkap Damayanti.
Rokok juga menyebabkan brain-damage dan stunting. “Otaknya kurang berkembang dengan baik,” tegasnya.
Para pecandu rokok memiliki resiko penurunan prospective memory yang diduga berada di area prefrontal cortex, hippocampus, dan thalamus. Akibatnya, otak menjadi kurang aktif bekerja.
Selain itu, asap rokok yang terpajan kepada ibu hamil memiliki dampak pada pertumbuhan janin sehingga bayi lahir lebih kecil. Pajanan asap rokok pada ibu hamil dapat menghambat perkembangan saraf anak. “Ini menjadi sangat penting diperhatikan,” ujarnya.
DAMPAK BURUK ROKOK PADA ANAK
Perwakilan Divisi Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI – RSCM Bernie Endyarni Medise menegaskan adanya kaitan antara perilaku merokok dengan kejadian stunting pada anak sejak dalam masa kandungan.
Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni sejak konsepsi (kehamilan) hingga usia 2 tahun merupakan titik krusial, karena pada masa itu terjadi pertumbuhan, perkembangan otak yang sangat dramatis pada anak.
“Sehingga jika terjadi sesuatu pada masa ini, bisa menunjukkan dampak pada jangka panjang,” tegasnya. Itu yang menjadi alasan mengapa sejak masa konsepsi semua harus diperhatikan.
Menurut Bernie, perkembangan otak (brain development) pada usia 9 bulan mencapai 400 gram. Lalu pada usia 3 tahun, beratnya. 1200 gram. Adapun berat otak pada orang dewasa hanya 1400 gram.
“Sehingga bisa dibayangkan, penambahannya hanya sekitar 200-300 gram hingga menjadi dewasa. Sehingga perkembangan otak yang paling pesat adalah dibawah usia 2 tahun,” terang Bernie.
Selain itu, jaringan otak semakin kompleks saat mendekati usia 6 bulan. Pada periode itu, perkembangan otak membutuhkan nutrisi, stimulasi dan lingkungan yang mendukung.
Menurut Bernie, ada sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Yang pertama adalah nutrisi, dimana bayi harus diberikan Asi karena merupakan makanan yang terbaik baginya. Biasanya diberikan hingga mencapai usia 2 tahun. “Setelah usia 6 bulan diberikan makanan pengganti ASI,” tegasnya.
Faktor genetik juga berperan, meskipun hanya 30 persen. Adapun faktor lain yang turut berpengaruh adalah lingkungan. “Di lingkungan, termasuk stimulasi, pola asuh, imunisasi, kesehatan lingkungan dan juga menghindarkan anak dari asap rokok,” katanya.
Adapun kebutuhan dasar anak yang harus diberikan agar berkembang dengan baik, meliputi; makanan dan nutrisi, tempat berlindung, proteksi, kesehatan, psikososial dan pendidikan, termasuk pelatihan skill.
Bernie juga mengingatkan bahwa efek rokok terhadap anak sangat berbahaya, karena pada sebatang rokok terdapat lebih dari 6000 zat kimia berbahaya. Zat kimia tersebut bisa ditemukan pada sejumlah bahan, seperti pada baterai, lilin, cat, bahan bakar, pembersih toilet hingga insektisida.
“Bahan-bahan itu tidak baik bagi kesehatan, sehingga sebisa mungkin kita tidak terpapar,” pintanya. Tidak heran, ketika ada orang tua yang memaparkan dirinya dan anak, dipastikan hal itu sangat berbahaya terhadap anak.
Secara umum, perokok dibagi atas beberapa kategori. Pertama, sering disebut first hand smoke atau orang yang merokok dan menghisap asap rokoknya sendiri.
“Ketika dia memaparkan pada tubuhnya sendiri, akibatnya paru-parunya akan terpapar asap rokok sehingga tidak berfungsi normal,” jelas Bernie.
Lalu ada yang disebut Secondhand smoker, biasanya terdapat pada anak-anak yang sering terpapar asap rokok orang tua atau orang terdekat. Situasi itu kerap dikenal sebagai perokok pasif.
“Biasanya jika si ayah merokok di depan anaknya,” ujarnya. Mereka yang masuk kategori Secondhand smoker sering disebut sebagai Involuntary smoking (Merokok secara paksa), Environmental tobacco smoke (ETS) (asap tembakau lingkungan) yang merupakan kombinasi dari asap rokok yang menyala ataupun asap yang dihembuskan oleh perokok.
Dari sisi prevalensi, angka perokok pasif di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Angkanya cukup besar jika dibandingkan dengan sejumlah negara berkembang, seperti Meksiko, Pakistan, FIlipina, Sinegal, Turki, Uganda.
“Bagaimana kita mau mendapatkan generasi emas, ketika prevalensinya cukup tinggi, baik mereka yang terpapar di rumah, tempat kerja maupun di restoran,” terang Bernie.
Selain itu, ada fenomena baru yang dikenal sebagai Third Hand Smoke, dimana seorang anak tidak merokok, sang bapak tidak merokok, tetapi lingkungan tempat tinggal mereka dipenuhi asap rokok.
“Asap rokok bisa menempel di dinding, sofa, langit-langit dengan kandungan zat kimia yang sangat banyak, dimana hampir semuanya tidak ada yang baik bagi kesehatan,” ungkapnya.
Asap yang menempel itu bisa membuat anak terpapar sehingga racun dari bahan tersebut berpindah tempat. “Atau bisa juga di baju si bapak, lalu saat berhubungan dengan anak, akan terpapar,” katanya.
Sementara itu, efek merokok pada saat kehamilan sangat berbahaya terhadap kesehatan, sehingga mempengaruhi perkembangan paru dan berpengaruh pada sejumlah hal lainnya, seperti vasokonstriksi pada pembuluh darah, menurunkan oksigen (O2) untuk ibu, menurunkan suplai O2 dan nutrisi melalui tali pusat, menurunkan O2 dan nutrisi ke plasenta.
Pada kondisi terburuk bisa meningkatkan cacat bayi, meningkatkan detak jantung bayi, meningkatkan risiko kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah, hingga meningkatkan keguguran dan lahir mati, serta meningkatkan masalah paru-paru bayi.
Dengan demikian, kegiatan merokok sang ibu selama mengandung sangat berbahaya terhadap janin yang berpotensi terpapar asap selama di kandungan. Risiko gangguan kesehatan terbesar diantaranya; kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir rendah, kematian, hingga kelainan kongenital.
“Ibu merokok sama bahayanya dengan makan makanan yang tidak sehat dan perilaku tidak sehat lainnya,” ungkap Bernie.
Sementara itu, kegiatan merokok pada anak juga berdampak pada hampir semua organ tubuhnya. Rokok dapat menyebabkan berbagai penyakit dengan dampak meliputi: gangguan kognitif, gangguan pendengaran, bronchitis, asma, leukemia, risiko anastesis, meningitis B, gangguan perilaku, pneumonia, lumphoma, penimbunan lemak hingga penyembuhan luka yang lama.
“Ini sudah ada penelitian mendalam soal itu,” tegasnya.
Bernie menambahkan, “Bayi yang lahir dari ibu yang merokok berisiko lahir kurang bulan dan berat lahir rendah.”
Berat lahir bayi yang lahir dari ibu merokok pada masa kehamilan memiliki berat yang lebih rendah dibandingkan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok. “Jadi risikonya bahaya sekali,” ungkapnya.
Sementara kaitannya dengan status gizi, Bernie menyebutkan ada beberapa hal yang perlu diketahui, seperti status gizi baik, gizi kurang, stunted dan wasted. Secara umum faktor utamanya adalah masalah asupan gizi sejak janin (dalam kandungan), baru lahir, sampai anak berusia dua tahun.
“Jika kekurangan gizi pada dua tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi diperbaiki. Ini sifatnya permanen dan ini yang kita takutkan pada stunting,” terangnya.
Kendati demikian, stunting tidak hanya terkait dengan asupan gizi. Stunting juga bisa mengarah pada gizi yang berbahaya yang ditandai berdasarkan kurva pertumbuhan.
“Kita lihat tinggi badannya berdasarkan kurva. jika tinggi badan anak itu kurang dari -2 atau bahkan kurang dari -3 berdasarkan kurva didasarkan atas usia, inilah yang disebut stunted atau pendek,” papar Bernie.
Saat ini, Indonesia merupakan negara yang memiliki masalah terkait stunting, wasting dan overweight, dengan prevalensi stunting sebesar 37,2 persen, wasting sebesar 12,1 persen, dan overweight sebesar 11,9 persen.
“Jangan sampai Indonesia seperti ini terus. Selain stunting, kita juga masalah terkait wasting dan overweight. Pada tahun 2013, prevalensi stuntingnya sangat tinggi mencapai 37,2 persen,” katanya.
Sementara itu terhadap perkembangan anak, perilaku orang tua, baik yang mengkonsumsi alkohol atau merokok juga sama. Hal itu berpengaruh terhadap perkembangan anak.
“Ayah dan ibu perokok merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Hal itu didasarkan pada penelitian di keluarga perkotaan di Indonesia,” ungkap Bernie.
Disebutkan bahwa ayah yang perokok memiliki p-value sebesar 0.0001, sementara ibu yang merokok memiliki p-value sebesar 0.0001. “Ini menunjukkan bahwa jika ayah atau ibunya merokok, maka akan berpengaruh terhadap terjadinya stunting,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post