Jakarta, Prohealth.id – Indonesia sudah mengesahkan Undang-Undang Penghapusan KDRT (UU PKDRT) sejak 19 tahun silam, namun kasus KDRT masih terus terjadi dengan laporan yang meningkat dari tahun ke tahun.
Catatan Tahunan atau CATAHU Komnas Perempuan dari 2001 s.d. 2021 mencatat bahwa terjadi peningkatan pelaporan KDRT saat UU PKDRT disahkan pada 2004.
Artinya, semakin banyak korban tahu ada pelindungan hukum dan berani melaporkan kasusnya. Namun demikian, tantangan pelaksanaan juga banyak ditemukan di mana banyak korban justru dikriminalisasi.
Selama 21 tahun CATAHU, tercatat lebih dari 2,5 juta Kekerasan Berbasis Gender di ranah personal dilaporkan, di mana Kekerasan terhadap Istri (KTI) paling banyak dilaporkan sebanyak 484,993 kasus. Jika dalam pelaksanaan UU PKDRT saja masih banyak ditemui hambatan dan tantangan, maka pelaksanaan UU TPKS yang baru disahkan pada tahun lalu juga mesti dikawal bersama baik di nasional hingga pada harmonisasi peraturan di daerah. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta 2022 menunjukkan dari 202 kasus KDRT hanya empat kasus yang dilaporkan ke pihak kepolisian dan diterima. Hal ini menunjukkan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, seperti rumah tangga, masih menghadapi jalan terjal.
Tak heran jika situasi kekerasan oleh pasangan yang dihadapi dr. Qory dan mencuat di publik menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki kompleksitasnya sendiri, baik dari sisi korban, penanganannya, hingga pemulihannya.
Melalui pernyataan resmi dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang diterima Prohealth.id, 25 November 2023 lalu, bahwasanya aparat penegak hukum seringkali mengabaikan laporan korban dan menganggap hal tersebut adalah kekhilafan pasangan/suami yang mudah diselesaikan hanya dengan permintaan maaf atau berdamai. Padahal potensi siklus kekerasan (cycle of abuse) setelah rekonsiliasi sangat besar, bahwa pelaku dapat terus mengulangi kekerasannya. Oleh karenanya, jikapun diberlangsungkan, proses rekonsiliasi perlu dibarengi dengan upaya rehabilitasi perubahan perilaku bagi pelaku.
Masih kuatnya budaya menyalahkan korban (victim blaming) turut berkontribusi pada keengganan korban dan penyintas KDRT untuk meminta bantuan. Stigma yang dilekatkan pada korban ketika melaporkan pengalaman KDRT membuat korban makin rentan, karena justru menormalisasi kekerasan yang dilakukan pelaku dan melepaskan pelaku dari tanggung jawabnya. Banyak faktor yang membebani korban, termasuk ketiadaan ekosistem pendukung keberlanjutan agar mereka mampu keluar dari relasi yang abusif.
Siti Mazumah, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan menyatakan, pentingnya penguatan dan memberikan informasi hak korban dalam proses pendampingan kasus KDRT agar korban berdaya dalam mengambil keputusan sendiri, karena korban yang berada dalam lingkaran kekerasan seringkali tidak berdaya.
“Aparat penegak hukum juga harus melakukan upaya pemenuhan hak korban, termasuk hak atas keamanan dan memastikan korban tidak menjadi korban berulang,” ungkap Siti.
Hak-hak korban sudah tercantum di dalam UU PKDRT pada pasal 10, di antaranya bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, dan juga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, serta penanganan yang secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. Pasal tersebut juga menyebutkan korban berhak atas pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yumna Nurtanty Tsamara, selaku Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), menyampaikan, bahwa pemenuhan hak korban tidak bisa dilihat sebagai solusi instan, namun proses pemulihan yang membutuhkan waktu, serta perlu dibersamai oleh sistem pendukung yang berkelanjutan dan holistik. Ia menyebut, korban rentan mengalami kondisi yang sulit ketika sistem dukungan hanya berlangsung temporer, misalnya hanya saat kasusnya naik dan menjadi perbincangan di media sosial.
“Sistem dukungan yang holistik dan berkelanjutan tidak hanya bersumber dari lembaga-lembaga namun juga dapat berasal dari individu-individu yang dapat mendukung korban secara konsisten. Hak korban KDRT, maupun kekerasan lainnya, perlu terus disosialisasikan dan menjadi bagian terintegrasi baik di dalam sistem pendidikan formal, pendidikan perencanaan keluarga, maupun sebagai program edukasi dan kampanye publik yang dikontekstualisasikan untuk berbagai lapisan masyarakat,” tuturnya.
Yuri, salah satu penyintas KDRT dan juga bagian dari KOMPAKS juga menyebutkan tentang pentingnya akses rumah aman bagi korban KDRT, ia menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, rumah aman menjadi jembatan yang vital untuk membantu korban melangkah menuju kemandirian, keselamatan, dan pemulihan dari trauma yang diakibatkan oleh KDRT.
“Ini bukan hanya tempat untuk sementara, tetapi juga merupakan pangkalan yang memungkinkan korban untuk membangun kembali kehidupan yang bebas dari kekerasan,” ungkap Yuri.
Peran Komnas Perempuan dan #16HAKTP
Sejak tahun 2001 Komnas Perempuan telah mendorong keterlibatan berbagai elemen publik secara berkelanjutan untuk melakukan upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Mereka yang terlibat di antaranya adalah lembaga layanan pendamping korban kekerasan, kementerian dan lembaga, termasuk dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di daerah, akademisi, korporasi, masyarakat sipil dan lain-lain.
Tahun ini, Komnas Perempuan mendorong publik untuk #GerakBersama menyuarakan pesan “Kenali Hukumnya, Lindungi Korban” dengan menekankan pentingnya kebijakan, peraturan dan perundang-undangan dikenali oleh aparat penegak hukum atau APH serta masyarakat luas, agar diimplementasikan demi perlindungan korban.
Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menyampaikan Indonesia telah memiliki yang melindungi perempuan, diantaranya Undang – Undang (UU) No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta aturan hukum lainnya. Namun disayangkan bahwa korban khususnya perempuan masih belum mendapatkan hak-haknya, sebagai dampak belum maksimalnya pelaksanaan undang-undang tersebut.
“Kami mendorong pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat lebih banyak mengetahui ada perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan supaya mereka berani melaporkan kasusnya,” tambahnya.
Sementara itu, refleksi yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan dengan pendamping korban saat kunjungan ke berbagai daerah, menunjukkan masih ditemui APH yang terus berpatokan pada KUHP, padahal seharusnya menggunakan UU TPKS.
“Apalagi praktik restorative justice kerap dilakukan,” kata Veryanto Sitohang, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan.
Saat ini Rancangan Peraturan Pelaksana (RPP) UU TPKS telah disusun dan tengah diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun sosialisasi tentang UU TPKS gencar dilakukan oleh Komnas Perempuan dan lembaga layanan agar segera diimplementasikan oleh APH, pemerintah, lembaga layanan serta lembaga yang terkait. Komnas perempuan juga menyoroti Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Sudah lebih dari 19 tahun, namun RUU PPRT belum menunjukkan akan disahkan, kerap tertunda pembahasannya, sementara perempuan pekerja rumah tangga rentan dan terus bertambah menjadi korban.
Momentum #16HAKTP bukan hanya ruang untuk mengadvokasi pengesahan kebijakan, tetapi juga untuk #GerakBersama mendorong pemerintah, DPR RI dan APH, agar sungguh-sungguh mengimplementasikan UU TPKS demi penghapusan kekerasan seksual, juga dengan payung hukum lainnya seperti UU PKDRT yang sudah hampir 2 dekade berjalan masih memiliki tantangan pemahaman secara utuh serta mendorong pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
Kampanye #16HAKTP tahun ini terdapat 147 kegiatan kampanye publik dengan keterlibatan 119 organisasi masyarakat sipil dari 21 provinsi di Indonesia.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post