Memperoleh vaksinasi Covid-19 di tengah ancaman virus Corona bukan hal mudah bagi Tuti (28), bukan nama sebenarnya. Penyandang autoimun Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau lupus dan bermanifesti ke ginjal (SLE nefritis) itu butuh waktu lebih dari setahun untuk bisa mendapatkan rekomendasi layak vaksinasi Covid-19 dari dokter yang merawatnya.
Rekomendasi layak vaksin itu diberikan setelah hasil sejumlah pemeriksaan laboratorium menyatakan pasien lupus layak mendapat vaksin.
“Baru dosis satu (vaksinasi Covid-19), dosis dua bulan depan”, kata Tuti, saat diwawancarai Prohealth.id, pengujung Mei 2022.
Selama menjalani proses pravaksinasi itu pula, Tuti mengakui mendapat informasi yang simpang siur. “Kalau aku kontrol di RSCM (yang melayani BPJS) itu udah dibolehin (vaksinasi)”, katanya.
Alasan dokter dari RS pelat merah itu, Tuti tak lagi bergejala klinis. Anehnya, ada opini berbeda dari dokter swasta yang utama merawatnya selama ini. Tuti justru belum dibolehkan menerima vaksin Covid-19.
“Sepanjang tahun 2021, setiap kontrol (ke dokter yang biasa merawatnya) pasti nanya (boleh vaksin atau tidak?)”, tutur Tuti yang bekerja di institusi pemerintahan di daerah Jakarta Timur itu.
Dokter swasta tempat Tuti kontrol kesehatan menggunakan dana pribadi berpraktek di sebuah rumah sakit (RS) swasta di daerah Jakarta Timur. Adapun alasan dokter utama belum memberi izin vaksinasi Covid-19 karena beberapa hasil pemeriksaan laboratorium Tuti masih dibawah prasyarat, atau belum normal.
Ia merinci antara lain hasil pemeriksaan laboratorium IgE dan Anti-dsDNA yang jadi pertimbangan untuk vaksinasi. Alhasil, tidak hanya menunggu lebih dari setahun untuk mendapat vaksin, ia juga harus merogoh dana tak sedikit untuk berbagai proses medis sebelum dinyatakan layak menerima vaksinasi Covid-19.
Asal tahu saja, selama menjalani pengobatan autoimun, Tuti menggunakan dana pribadi dan juga BPJS. Dana pribadi dikeluarkan bila ia memeriksakan diri ke dokter swasta yang biasa merawatnya untuk tempat konsultasi. Sedangkan BPJS biasa digunakan untuk menjalani tindakan pemeriksaan lebih lanjut.
Demikian pula saat pemeriksaan sebelum vaksinasi, Tuti biasa berkonsultasi ke dokter swasta maupun dokter di RS pemerintah yang menyediakan layanan BPJS. Meskipun sudah ada BPJS tetap saja ada beberapa pemeriksaan yang tidak dikover. Misalnya untuk pemeriksaan vitamin D.
Tuti mengatakan, khusus pemeriksaan IgE rutin dilakukan setiap enam bulan sekali, sedangkan Antids-DNA setiap tiga bulan sekali. Hasilnya, kesehatan Tuti belum normal pada 2021. Tuti mengatakan untuk pengecekan laboratorium dia melakukan di RSCM dengan fasilitas BPJS. “Kecuali lab Vitamin D dan urine (rutin) pakai biaya sendiri,” ungkapnya. Ia berujar, biaya cek vitamin D yang tidak dikover BPJS sekitar Rp400 ribuan.
Selama pandemi Covid-19, Tuti memang tidak mendapatkan informasi tentang bantuan pemeriksaan gratis pravaksinasi bagi pasien rentan seperti dirinya. Hal ini juga terus terjadi dalam program vaksinasi Covid-19.
Tak heran sebagai penyandang lupus, ledakan Covid-19 pertengahan 2021 lalu menambah kecemasan Tuti yang belum menerima suntikan vaksin.
Di tengah kondisi tak bersahabat, Tuti dan penyandang autoimun lainnya juga harus berusaha sendiri mencari informasi. Untung saja, Tuti masih bisa mengakses berbagai informasi dan perkembangan penanganan Covid-19 bagi pasien lupus melalui komunitas penyandang autoimun.
Misalnya saja, untuk informasi mengenai vaksinasi Covid-19 pada penyandang autoimun, Tuti mendapatkannya melalui sejumlah webinar autoimun yang pernah diikuti secara daring. Berkat alur informasi tersebut, kini dia tengah menantikan vaksinasi Covid-19 yang kedua. “Bulan depan vaksin keduanya”, infonya.
Minimnya informasi, edukasi dan komunikasi risiko yang baik dari pemerintah mengenai Covid-19 terhadap pasien rentan tak hanya dialami Tuti.
“Tidak usah terlalu mengandalkan pemerintah, kitanya sendiri yang harus rajin cari informasi vaksin Covid,” kata Waniyati (45).
Waniyati lebih beruntung dari Tuti. Saat ini dia sudah mendapat vaksin kedua. Selain itu, kondisi kesehatannya relatif stabil. Padahal, dia termasuk seorang penyandang autoimun jenis lupus yang bermanifesti ke sendi dan beberapa waktu terakhir menjalar ke trombosit.
Lebih lanjut, ia mengatakan tidak mengalami kesulitan termasuk mengeluarkan biaya banyak seperti tes laboratorium demi mendapatkan surat layak vaksinasi Covid-19 yang syaratkan.
“Soalnya kondisi (lupus) saya stabil,” terangnya kepada Prohealth.id. Ia menceritakan sewaktu kontrol ke dokter yang merawatnya dan dibuatkan surat keterangan layak vaksin. Ia mengaku hanya mengeluarkan uang sekitar Rp100 ribu untuk biaya tes laboratorium guna mengecek kondisi trombosit di sebuah laboratorium swasta.
Sekitar Juni 2021, ia hanya berniat kontrol rutin untuk penyakitnya. Wani, sapaan akrabnya, pun melakukan kontrol ke dokter setiap tiga bulan sekali menggunakan biaya pribadi di sebuah rumah sakit (RS) swasta daerah Jakarta Pusat. Saat kontrol, dokter pemeriksa pun menanyakan soal vaksin. “Waktu itu tiba-tiba prof tanya begini: kamu sudah vaksin belum?” ingatnya.
Tak langsung menjawab, ia balas bertanya kepada dokternya. “Memangnya sudah boleh vaksin, prof?” Dokter tersebut mengizinkan dan langsung membuatkan surat layak vaksin. Berkat surat keterangan tersebut, ia pun segera mendaftar untuk vaksinasi pertama di sekitar Jakarta Barat.
Saat skrining untuk melakukan vaksinasi, Wani juga proaktif memberi info kepada petugas bahwa ia memiliki autoimun jenis SLE, sekaligus menyerahkan surat keterangan layak vaksin dari dokter yang merawat. Berdasarkan surat tersebut, petugas memberikan vaksinasi Covid-19 dosis pertama. Sedangkan untuk vaksinasi dosis kedua Wani lansung mengambilnya beberapa bulan kemudian dengan alasan jika vaksinasi pertama sudah bisa, tentu vaksinasi dosis selanjutnya pun demikian.
Sesudah mendapatkan vaksinasi kedua, saat kontrol penyakit lupusnya, Wani melapor kepada dokter bahwa ia telah mendapatkan vaksin kedua. Sesuai dugaan, dokter menyetujui langkah taktis Wani.
Meskipun tidak mengalami hambatan dalam mendapatkan persetujuan vaksin dan mengakses vaksinasi, Wani mengaku sempat kebingungan tatkala menerima informasi mengenai penyandang autoimun yang tidak boleh divaksinasi Covid-19. Informasi tersebut didapatkan melalui berita di televisi.
“Waktu itu kan baca tulisan berita (news sticker) begini penyandang autoimun tidak boleh divaksin. Setelah baca itu, saya mikir, orang autoimun kan punya komorbid penyakit. Kan harusnya punya proteksi ekstra. Kok ini malah nggak boleh divaksin?” katanya kebingungan.
Sekalipun telah membaca informasi tersebut, dirinya tidak menelan mentah-mentah informasi tersebut. Ia pun mencari informasi secara mandiri mengenai vaksinasi Covid-19, baik melalui media sosial (medsos) maupun grup-grup WhatsApp (WA) autoimun. Melalui dua saluran ini, ia mendapatkan kejelasan seputar vaksinasi Covid-19 untuk penyandang autoimun.
“Saya lihat IG-nya (Instagram) dokter siapa itu, dokternya bilang kalau (penyandang) autoimun boleh divaksin. Terus juga cari (menyimak) di grup (WA) lupus”, ia menjelaskan.
Berbeda dengan kisah Tuti dan Wani, Metiara Wita penyandang autoimun sejak tahun 2014 jenis Sjogren’s Syndrome (SS) yaitu gangguan pada kekebalan tubuh yang ditandai oleh dua gejala utama berupa kekeringan pada mata dan mulut, harus menjalani proses berliku untuk mendapatkan persetujuan vaksinasi Covid-19.
Awalnya, Wita (50) sudah mendapat rekomendasi layak vaksin. Namun ia mengalami sedikit masalah kesehatan yang mau tak mau mengganti jadwal vaksin. Kondisi ini malah membuat Wita berubah pikiran dan memilih tidak vaksin Covid-19.
Secara rinci, perempuan yang akrab dipanggil Wita ini, menceritakan kepada Prohealth.id melalui pesan WA pada Selasa, 17 Mei 2022. Sekitar awal Maret 2021, saat kontrol berkala ke dokter yang merawatnya, Wita mendapatkan surat keterangan yang menyatakan tidak boleh vaksinasi Covid-19. “Saat itu ngobrolin (soal) vaksin, tiba-tiba dokter mengatakan no vaksin. Tapi yang gue tahu (saat itu), semua pasien si dokter memang tidak boleh vaksin”, katanya.
Kemudian pada Juli 2021, Wita kontrol kembali dan diminta oleh dokternya untuk melakukan beberapa pengecekan laboratorium, yakni ANA IF, D-dimer, dan hematologi lengkap. “Dokter mau lihat titernya. Kelihatannya kalau titernya bagus, bisa ok vaksin”, ucapnya lagi. Titer ini didapat apabila melakukan tes ANA-IF berupa rasio atau perbandingan angka, semakin kecil titernya maka semakin baik.
Pada Oktober 2021 setelah mengikuti pesan dari dokternya, Wita kontrol dengan membawa hasil laboratorium yang diminta. Saat itu titer dari hasil lab ANA IF-nya adalah 1:100 yang tergolong bagus untuk penyandang autoimun. Dokter yang merawatnya pun mengizinkan untuk vaksinasi Covid-19. “Dah senang aja gue, bisa vaksin tuh. Dilala, nggak dapat (kuota) di hari yang gue daftar. Penuh”, ingatnya. Ketika itu Wita mendaftar di Sentra Vaksinasi Covid-19 di Hang Jebat, Jakarta Selatan.
Dia mengakui ia sengaja memundurkan jadwal vaksinasi Covid-19 karena kondisi Kesehatan yang kurang fit meski mendapat rekomendasi untuk vaksin. Kakinya masih bengkak dan ini luput dari perhatian dokter yang memberikannya persetujuan untuk vaksinasi Covid-19. Pada November 2021 tiba-tiba perutnya sakit dan membuatnya harus segera ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Ia pun diharuskan menempuh tindakan kolonoskopi untuk mendeteksi luka dan kemudian membuatnya dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Wita mengatakan baru mendapatkan jadwal tindakan kolonoskopi pada bulan Agustus mendatang. Sembari menunggu tersebut, ia pun melakukan check-up untuk kondisi kakinya yang tak kunjung membaik dan juga kontrol untuk penyakit autoimunnya. Selama berobat di RSCM ini, Wita menggunakan BPJS yang menurutnya lebih nyaman, khususnya soal tindakan atau laboratorium yang harus dilakukan selama check-up.
Dia sepakat bahwa seorang penyandang autoimun, sebelum vaksinasi, wajib melakukan pemeriksaan seperti di laboratorium dan seharusnya dikover pemerintah. Ia membandingkan saat masih kontrol dengan dokter di sebuah rumah sakit swasta di daerah Jakarta Timur dengan menggunakan dana pribadi untuk beberapa macam pemeriksaan laboratorium. Walau kemudian dia mendapatkan rekomendasi layak vaksinasi Covid-19, menurutnya pengibatan dengan dokter swasta cukup menguras kantong. Terlebih untuk dirinya yang kini berstatus pensiunan.
“Di atas satu juta kayaknya (biaya pengobatan)”, katanya. Bahkan untuk melakukan pengecekan tersebut, ia mengaku melakukan di dua laboratorium terpisah supaya lebih terjangkau. Ia mencari atau menunggu laboratorium mana yang harganya lebih murah
Meski kini telah berobat menggunakan BPJS, ternyata dalam perkembangannya, Wita berubah pikiran mengenai vaksinasi Covid-19 ini. Ia yang saat ini berobat di RSCM, dinyatakan belum boleh divaksinasi. Wita pun kini ragu dan memilih tidak buru-buru divaksinasi Covid-19. “Setelah banyak berita negatif ya. No need vaksin”, ucapnya tanpa menyebut atau merinci berita negatif yang mana.
Klaim Sudah Baik
Dr. Andini, Ketua Komunitas Autoimun Indonesia yang juga penyandang autoimun mengklaim vaksinasi Covid-19 untuk penyandang autoimun di Indonesia (khususnya Jakarta dan sekitarnya) cukup baik.
Ia mencontohkan saat vaksin Covid-19 merk Moderna masuk ke Indonesia. “Mereka (Dinkes Jakarta dan Kemenkes) bantu agar yang autoimun bisa prioritas (vaksin) Moderna. Mereka waktu itu juga berdiskusi dengan dokter-dokter pemerhati autoimun”, katanya, Kamis (2/6/2022).
Sedangkan di awal-awal program vaksinasi Covid-19 untuk penyandang autoimun, menurut Dinis (panggilan akrabnya), pemerintah juga telah menginformasikan.
“Waktu awal juga pemerintah ikut rekomendasi PAPDI (Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia), dokter-dokter spesialis penyakit dalam. Bahwa ada kehati-hatian dari pemberian vaksin untuk (penyandang) autoimun. Jadi pemerintah sudah ikuti para dokter-dokter ahli,” katanya.
Berdasarkan penelusuran Prohealth.id, Kementerian Kesehatan telah mengumumkan informasi vaksinasi Covid-19 untuk penyandang autoimun melalui rekomendasi PAPDI, dan juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Imunisasi. Sementara untuk keterangan resmi vaksinasi Covid-19 bagi penyandang autoimun memang tidak dibuat terpisah, hanya masuk dalam satu kelompok masyarakat rentan dengan penyakit penyerta (komorbid).
“Ini sudah lama ya. Boleh kok [divaksin] untuk penyandang autoimun sejak awal pandemi selama tadi, dokter yang merawat mengizinkan,” kata dr Siti Nadia Tarmizi, 24 Mei 2022 kepada Prohealth.id saat masih menjabat Juru Bicara Program Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Terkait simpang siur informasi vaksinasi Covid-19 di kalangan akar rumput, dia mengklaim sosialisasi vaksinasi Covid-19 untuk pasien dengan komorbid sejatinya sudah disampaikan ke tenaga kesehatan (nakes).
“Seharunya penderita autoimun kan sudah ada dokter yang rutin merawatnya. Jadi dokternya yang menganjurkan (layak vaksin atau tidak) dan sosialisasi sudah diberikan juga ke nakes,” kata Nadia.
Penyandang autoimun bisa mendaftar dan mendatangi sentra vaksin. Petugas kata dia akan mengecek kelayakan apakah pasien tersebut layak vaksin atau tidak. “Seharusnya tidak usah bingung datang saja ke sentra atau konsul dengan dokternya,” kata dia.
Ihwal ada tidaknya bantuan biaya atau subsidi kesehatan untuk pemeriksaan yang tidak dikover BPJS, khusus keperluan vaksinasi Covid-19 bagi kelompok rentan, dia menyatakan sejauh ini hanya ada fasilitas BPJS.
“Kalau di luar vaksinasi maka pembiayaan mengikuti skema pembiayaan yang ada. Kalau dia peserta BPJS, ya ikut ketentuan apa saja yang dibiayai melalui BPJS,” jelasnya.
Komunikasi Risiko
Menanggapi kisah perjuangan para penyandang autoimun, Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia Dicky Budiman menyoroti buruknya komunikasi risiko mengenai Covid-19 terhadap pasien rentan seperti penyandang lupus.
Menurut dr. Dicky, pemerintah semestinya memiliki data dan pemetaan yang memadai terhadap pasien rentan seperti penyandang autoimun. Pasalnya, pendataan dan pemetaan yang memadai akan sangat menentukan bagaimana sebaiknya penanganan vaksinasi pasien autoimun, termasuk penyampaian informasi yang bisa menyasar hingga ke akar rumput.
“Kalau kita bicara kelompok yang seperti itu bicara data, bicara mapping (pemetaan) data, yang kita tahu Indonesia punya kelemahan dalam hal seperti ini,” kata dr Dicky Budiman kepada Prohealth.id.
Komunikasi risiko Covid-19 kepada kelompok rentan harus spesifik melibatkan tokoh dan kelompok-kelompok rawan tersebut beserta jaringannya.
“Karena tanggung jawab pemerintah sejatinya bukan hanya dia sudah menyampaikan (informasi mengenai fasilitas vaksin). Tapi yang namanya strategi komunikasi, sisi komunikasi adalah menyampaikan dan menginformasikan kepada kelompok masyarakat sesuai dengan needs-nya (kebutuhannya). Karena orang autoimun tentu keperluannya beda, keingintahuannya, permasalahannya beda oleh karena itu strategi komunikasi risiko ini diperlukan karena mencakup itu,” jelas dia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post