Jakarta, Prohealth.id — Bagi jutaan anak perempuan di dunia, masa remaja berakhir terlalu cepat. Data WHO mengungkapkan, 9 dari 10 kehamilan remaja terjadi pada mereka yang dipaksa menikah sebelum usia 18 tahun. Konsekuensinya bukan hanya kehilangan masa kecil, tapi juga terjebak dalam siklus kemiskinan, keterbatasan peluang, dan risiko kesehatan yang membayangi seumur hidup.
Merespon hal ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari ini merilis pedoman baru untuk mencegah kehamilan remaja dan memperbaiki kesehatan perempuan muda di seluruh dunia. Langkah ini untuk mengatasi penyebab utama kematian tertinggi di kalangan perempuan usia 15 hingga 19 tahun secara global.
Dalam pedoman terbarunya, WHO mendorong upaya cepat untuk mengakhiri pernikahan anak, memperpanjang masa sekolah bagi perempuan, dan memperluas akses terhadap layanan serta informasi kesehatan seksual dan reproduksi. Langkah-langkah ini krusial untuk menurunkan angka kehamilan dini yang masih tinggi di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah.
“Kehamilan pada usia remaja bisa berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental, dan sering kali mencerminkan ketidaksetaraan mendasar dalam kehidupan perempuan muda,” kata Dr. Pascale Allotey, Direktur Kesehatan Seksual dan Reproduksi WHO serta Program Khusus PBB untuk Reproduksi Manusia (HRP).
“Mencegah kehamilan remaja berarti menciptakan lingkungan di mana perempuan muda dapat bersekolah, bebas dari kekerasan, dan memiliki pilihan nyata untuk masa depan mereka,” lanjutnya.
Risiko Kehamilan Dini dan Kemiskinan
Setiap tahunnya, lebih dari 21 juta perempuan remaja di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami kehamilan. Separuh dari kehamilan tersebut tidak direncanakan. Hampir 90 persen di antaranya adalah korban pernikahan anak.
Kehamilan dini dapat mengganggu pendidikan, mempersempit peluang kerja di masa depan, dan memperbesar risiko kemiskinan antargenerasi. Dari sisi medis, remaja yang hamil lebih rentan mengalami infeksi, kelahiran prematur, dan komplikasi dari praktik aborsi yang tidak aman. Hal ini akibat keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang aman dan bermartabat.
Faktor pendorong kehamilan dini beragam dan saling berkaitan. Mulai dari ketidaksetaraan gender, kemiskinan, kurangnya peluang pendidikan dan ekonomi, hingga terbatasnya akses ke layanan kesehatan reproduksi. Data WHO menunjukkan, di negara-negara berkembang, sembilan dari sepuluh kelahiran remaja terjadi pada perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun.
Pedoman baru WHO menekankan pentingnya memperluas alternatif bagi remaja perempuan, termasuk memperkuat pendidikan, tabungan, dan peluang kerja. Penelitian memperkirakan, jika semua perempuan menyelesaikan pendidikan menengah, angka pernikahan anak dapat turun hingga dua pertiga.
Bagi remaja yang paling berisiko, WHO mendorong pemberian insentif, seperti beasiswa atau bantuan keuangan, untuk mendukung kelulusan sekolah menengah. Selain itu, WHO merekomendasikan penerapan undang-undang nasional yang melarang pernikahan di bawah usia 18 tahun. Anjuran ini sejalan dengan standar hak asasi manusia, serta memperkuat keterlibatan komunitas untuk mencegah praktik pernikahan anak.
“Pernikahan dini merampas hak anak perempuan atas masa kecil mereka dan menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan mereka,” ujar Dr. Sheri Bastien, Ilmuwan WHO di bidang Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja.
“Pendidikan adalah kunci untuk mengubah masa depan generasi muda, sekaligus memberdayakan remaja untuk memahami persetujuan, mengelola kesehatan mereka, dan menantang ketidaksetaraan gender yang masih melanggengkan praktik kehamilan dini dan pernikahan anak,” lanjutnya.
WHO juga menekankan pentingnya pendidikan seksualitas yang komprehensif bagi remaja, baik laki-laki maupun perempuan. Edukasi ini terbukti dapat menunda usia pertama kali berhubungan seksual, mengurangi angka kehamilan dini, serta meningkatkan pemahaman remaja tentang tubuh dan kesehatan reproduksi mereka.
Akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang ramah remaja menjadi prioritas. WHO mengkritisi kebijakan di sejumlah negara yang mengharuskan persetujuan orang dewasa untuk akses layanan kontrasepsi. WHO menilai hal ini menjadi hambatan besar bagi remaja. Remaja perempuan yang hamil juga harus mendapatkan layanan kesehatan selama kehamilan dan persalinan yang aman, bermartabat, serta bebas stigma dan diskriminasi, termasuk akses terhadap layanan aborsi yang aman.
Capaian Global: Ada Kemajuan, Tapi Ketimpangan Masih Tinggi
Secara global, terdapat kemajuan dalam menurunkan angka kehamilan remaja. Pada 2021, sekitar 1 dari 25 perempuan melahirkan sebelum usia 20 tahun. Angka ini turun dibandingkan 1 dari 15 dua dekade sebelumnya. Namun, kesenjangan antarnegara tetap mencolok. Di beberapa negara, hampir 1 dari 10 remaja perempuan usia 15–19 tahun masih melahirkan setiap tahunnya.
Pedoman ini memperbarui pedoman WHO tahun 2011 tentang pencegahan kehamilan remaja, dengan fokus yang lebih luas pada pencegahan pernikahan anak dan peningkatan akses kontrasepsi. Selain itu juga melengkapi panduan WHO lain di bidang pendidikan seksual, layanan kesehatan remaja, dan pencegahan kekerasan berbasis gender.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post