Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), dan Komite Nasional (Komnas Pengendalian Tembakau telah menginisiasi gerakan yang bertajuk Pulih Kembali 2.0: Sisihkan Uang yang Kamu Bakar untuk Mereka yang Sedang Berjuang. Gerakan yang diluncurkan sejak Agustus 2021 itu membuka donasi yang terkumpul Rp14 juta untuk anak-anak yang terkena dampak pandemi virus corona (Covid-19).
Gerakan Pulih Kembali menyelenggarakan tapak tilas bertema 1.095 Hari Advokasi Harga Rokok di Indonesia untuk memaparkan lagi hasil risetnya melalui konferensi video daring (online). Semasa pandemi diketahui tak mengubah kecenderungan status merokok.
“Pandemi tidak cukup menjadi alasan untuk (orang) berhenti merokok,” kata Krisna Puji Rahmayanti, selaku perwakilan peneliti untuk Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Selasa, (2/11/2021).
Walaupun begitu, hasil riset menemukan ada juga yang mengurangi konsumsi rokok. “Hanya sedikit yang mengurangi rokok pada masa pandemi,” ujarnya.
Komnas Pengendalian Tembakau menyurvei 612 responden dan 30 informan wawancara di 25 provinsi. Pengumpulan data berlangsung pada 1 Juni hingga 19 Juni 2020. Adapun CISDI mengumpulkan data pada Desember 2020 hingga Januari 2021. CISDI menyurvei 1.067 responden untuk mengukur perubahan perilaku merokok setelah 10 bulan pandemi di Indonesia. PKJS UI menyurvei 779 responden selama waktu pengumpulan data pada 20 Agustus hingga 6 September 2021.
Krisna menjelaskan, riset Komnas Pengendalian Tembakau menemukan 47,5 persen responden adalah perokok aktif. Berlanjut dalam riset CISDI, 29 persen responden adalah perokok aktif persisten (terus-menerus) setelah 10 bulan pandemi. “Responden yang merupakan perokok aktif tidak mengubah intensitas merokok,” katanya.
Adapun riset PKJS UI menemukan tidak ada perubahan perilaku merokok terkait intensitas maupun kuantitas. “Dari ketiga riset ini perlu ada kebijakan yang bisa meningkatkan motivasi para perokok untuk berhenti, mengurangi (konsumsi rokok),” ucapnya. Krisna menambahkan, kebijakan juga akan berguna untuk mencegah mereka yang belum merokok agar tak menjadi perokok baru.
“Perlu ada instrumen atau kebijakan yang lebih efektif,” ujarnya.
Riset Komnas Pengendalian Tembakau menyimpulkan 49,8 persen perokok tidak mengubah perilakunya. Adapun riset CISDI menemukan, 55 persen perokok yang masih meneruskan kebiasaan merokok. “Uang belanja tetap dialokasikan untuk belanja rokok,” kata Krisna.
Meskipun kebiasaan merokok terus berlanjut, tapi ditemukan 37,1 persen perokok mengurangi konsumsinya pada Juni 2020. Lalu, pada Desember 2020 hingga Januari 2021 ditemukan 42 persen perokok telah mengurangi konsumsinya. “Hal ini menunjukkan, bahwa memang ada pertimbangan kondisi ini yang membuat menurun,” ujarnya.
Krisna menambahkan, kelanjutan survei dalam wawancara menemukan,salah satu variabel mereka yang menurunkan pengeluaran belanja rokok untuk menghemat kondisi keuangan. “Harga (rokok) saat ini membuat mereka mempertimbangkan mana yang harus diprioritaskan pada masa pandemi. Apalagi, kondisi ekonomi yang sulit,” katanya. Walaupun sudah mengurangi, tapi konsumsi rokok tak sampai berhenti, karena alasan kecanduan.
Ekonom senior Faisal Basri menanggapi riset itu terkait perilaku merokok semasa pandemi. Jika ditinjau dari kesimpulannya, maka tak jauh beda dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional – Badan Pusat Statistik. Soal perilaku merokok memang tak ada perubahan yang signifikan dalam perbandingan Maret 2019 dan Maret 2020. “Ada kenaikan belanja pengeluaran per kapita per bulan untuk rokok masih tetap naik, dari Rp70.537 (Maret 2019) menjadi Rp73.442 (Maret 2020),” katanya.
Walaupun, andil (share) untuk belanja rokok itu turun 0,1 persen. Dari 12,3 persen (Maret 2019) menjadi 12,2 persen (Maret 2020). “Karena ada beberapa komoditi konsumsinya di era pandemi naik,” ucap Faisal. Dia mencontohkan, misalnya penunjang konsumsi makanan sehat, antara lain sayur, telur, susu, buah, daging.
“Share dari rokok relatif turun, namun secara nominal konsumsi rokok per kapita per bulan tetap naik di era pandemi,” ujarnya.
Jika mengamati keterkaitan kesimpulannya, maka Faisal bilang kebijakan untuk pengendalian tembakau tak bisa hanya biasa saja. Dia menganggap kebijakan untuk mendukung pengendalian tembakau semestinya sama seperti upaya untuk mengatasi perubahan iklim.
“Sekarang para kepala negara kan ada di situ (Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP26 di Glasgow). Kalau tidak sungguh-sungguh dunia akan menghadapi bencana,” ujarnya.
Maka, kata dia, lagi-lagi cara pandang untuk kebijakan mengendalikan tembakau tak cuma hal umum saja. “Kebijakan (pengendalian tembakau) yang extraordinary (luar biasa),” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post