Madura belum lama ini kembali menjadi perbincangan di jagat maya pasca maraknya sebuah video tentang pertunangan anak. Tradisi itu telah melekat dan menjadi bagian budaya di Madura. Abekalan ini adalah proses mengikat antara dua orang berlainan jenis dalam sebuah ikatan mirip pertunangan. Tradisi abekalan sebagai bagian dari proses sosialisasi dan memelihara hubungan antar keluarga.
Banyak keluarga di masyarakat Madura yang melakukan abekalan pada anak usia dini. Bahkan tidak jarang ketika anak masih berada dalam kandungan atau saat baru lahir. Masyarakat Madura bahkan menjadikan ini tradisi wajib untuk setiap anak. Bagi yang tidak mengikuti akan mendapat sanksi sosial karena bertindak di luar aturan komunitas.
Partikularitas budaya tersebut memantik perhatian publik, termasuk pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyanto. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah telah berupaya melindungi anak-anak dari dampak negatif perkawinan dini, salah satunya lewat pengesahan UU. Perkawinan terbaru. Ia berpendapat dalam undang-undang baru tersebut tercantum batasan minimal usia menikah pada 19 tahun. Hal ini merupakan salah satu langkah maju untuk memastikan anak-anak memiliki kesempatan dalam mengembangkan diri dan melanjutkan pendidikan terlebih untuk anak perempuan.
“Saat ini zaman sudah berubah. Kalau bertunangan di usia dini, risiko menikah menjadi lebih besar dan berpotensi mengganggu kesempatan melanjutkan sekolah”, tuturnya.
Menurut Prof. Bagong, kesadaran akan hak anak harus menjadi prioritas dan sosialisasi kepada orang tua mengenai dampak jangka panjang trasisi abekalan sangat penting dilakukan.
“Orang tua memiliki hak atas anaknya untuk mengatur ini, mereka juga harus paham kewajiban terhadap anak dalam memberikan masa depan yang terbaik”, ujarnya.
Ia juga menyarankan pemerintah untuk bekerja sama dengan tokoh agama dan kelompok sekunder lainnya untuk menyosialisasikan hak anak. Ia menilai Indonesia masih sangat kental dengan nilai-nilai agama dan keterikatan antara anak dengan orang tua dalam konteks ini dan pemerintah harus bijak dalam mengambil pendekatan efektif untuk mengubah mindset masyarakat.
Prof. Bagong kembali menekankan pemerintah setempat untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat lewat sosialisasi dan agar pemerintah lokal di Madura dapat membuat peraturan daerah yang memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar. Ia memaparkan bahwa anak harus mendapatkan pendidikan yang tepat di sekolah, sementara orang tua harus mengubah sudut pandang mengenai perjodohan dini. Kesetaraan pola pikir ini akan memampukan pendekatan pemerintah menjadi lebih efektif.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post