Jakarta, Prohealth.id – Koordinator Advokasi Yayasan Pusaka Indonesia, Elisabeth Juniarti Perangin mengatakan berbagai penerapan Kawasan tanpa rokok (KTR) yang sudah dilakukan oleh beberapa kota perlu diapresiasi sehingga dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain untuk turut menerapkan kebijakan KTR di daerahnya. Dia percaya, KTR merupakan indikator pokok dalam mewujudkan kabupaten/kota sehat. Hal itu juga sebagai bentuk pengendalian konsumsi rokok pada masyarakat sehingga dapat terwujud masyarakat yang sehat dan sejahtera.
“Setelah kami mencermati dari dokumen-dokumen yang kami dapatkan tentang instrumen penilaian KKS itu sebetulnya di tatanan pertama itu tentang pemukiman sarana dan prasarana yang sehat, itu harapan kami perlu ada juga penilaian tentang pengendalian dampak buruk asap rokok bagi kesehatan,” kata Eli dalam Workshop Daring Jurnalis oleh AJI Jakarta: “Perpres Kabupaten/Kota Sehat: Progres dan Tantangan”, pada Sabtu, 3 Desember 2022 lalu.
Implementasi kebijakan KTR dan pelarangan iklan rokok juga perlu ditekankan pada sekolah-sekolah untuk mewujudkan sekolah yang sehat. Menurut Eli, penerapan kebijakan KTR di sekolah dapat dilakukan karena ada dasar hukum yang dapat menguatkan untuk diterapkannya kebijakan tersebut.
“Terkait tentang implementasi kebijakan KTR untuk mewujudkan tatanan sekolah sehat, sebetulnya perlu ada penilaian tentang sekolah KTR dan bebas iklan rokok. Dasar hukumnya juga sudah ada dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 4 Tahun 2015. Kalau dalam tatanan Kota Layak Anak (KLA) perlu diterapkan sekolah ramah anak, maka sekolah sehat juga harus ada yakni sekolah KTR dan bebas iklan rokok,” sambung Eli.
Selain itu, Elisabeth juga mengatakan perlu ditambahkan penerapan KTR pada angkutan umum karena angkutan umum juga bagian dari tatanan transportasi dan tertib lalu lintas sehingga penerapannya tidak hanya di terminal saja.
“Angkutan umum itu termasuk wilayah KTR, jadi perlu ada larangan merokok untuk penilaian kendaraan bermotor khususnya angkutan umum. Kami juga memandang perlu karena ini di cross-cutting dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimana di Pasal 16 itu disebutkan bahwa ada larangan merokok saat mengendarai kendaraan bermotor maupun pengemudi mobil sehingga hal ini juga harus menjadi sesuatu yang ditambahkan ke dalam instrument penilaian indikator yang ada,” kata Eli.
Lebih lanjut, Elisabeth mengatakan perlu dibuat penilaian tentang upaya pembinaan Pemerintah Daerah (Pemda) kepada masyarakat penerima Bantuan Sosial (Bansos) dengan menggunakan bahasa secara bijaksana dalam mensosialisasi masyarakat untuk tidak membeli rokok. Hal itu karena berdasarkan hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) bahwa ada penerima bansos yang menggunakannya untuk membeli rokok.
“Kita ingin agar bansos itu tepat sasaran khususnya untuk mereka masyarakat yang rentan agar kesehatannya dapat terjamin,” ungkap Eli.
Perlu diketahui, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, tujuan pembangunan kesehatan nasional itu ada lima: Pertama, peningkatan kesehatan ibu, anak dan kesehatan reproduksi. Kedua, peningkatan gizi masyarakat termasuk penurunan stunting. Ketiga, pengendalian penyakit menular dan tidak menular. Keempat, peningkatan peran serta masyarakat dalam gerakan hidup sehat yang dalam hal ini berupa pengendalian konsumsi rokok dan lain sebagainya, serta penguatan sistem kesehatan dan pengawasan.
Namun hal-hal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dalam mengubah pola perilaku masyarkat untuk mewujudkan KKS. Hal itu karena menurut Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Anas Ma’ruf mengatakan bahwa konsep KKS harus ada pemberdayaan atau keterlibatan masyarakat.
“KKS merupakan salah satu arah kebijakan RPJMN kemudian juga menjadi salah satu strategi dalam langkah untuk membudayakan masyarakat hidup sehat karena konsep Kabupaten/Kota Sehat harus ada pemberdayaan atau keterlibatan masyarakat. KKS menjadi kewajiban di kabupaten/kota karena menjadi indikator dalam RPJMN kemudian nanti jika dapat mencapai kriteria Kabupaten/Kota Sehat akan mendapat penghargaan dan itu kita lakukan tiap tahun,” ujar Anas.
Sementara itu, data Kemenkes menyebutkan dalam kurun dua tahun terakhir, pengajuan KKS oleh pemda menjadi sedikit seperti misalnya pada 2021 hanya 36 Bupati/Walikota yang mendapatkan penghargaan dan 3 Gubernur sebagai Pembina provinsi terbaik serta 3 Walikota Pembina terbaik. Hal ini karena adanya pandemi Covid-19 sehingga Pemda lebih fokus terhadap penanganan dan pengendalian pandemi.
Namun menurut Elisabeth, selain adanya pandemi Covid-19, minimnya pemerintah daerah mengajukan penilaian juga disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari pemerintah pusat sehingga pemerintah pusat perlu melakukan lebih banyak sosialisasi agar kabupaten/kota mau mengikuti penilaian KKS ini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post