Jakarta, Prohealth.id – Penanganan tuberkulosis masih mengalami banyak hambatan dari sisi sosial dan ekonomi.
Anggota DPR RI Komisi IX, drg. Putih Sari mengapresiasi keputusan pemerintah mengeluarkan Perpres penanganan tuberkulosis. Dia menyebut Perpres yang diteken oleh Presiden Joko Widodo ini juga komprehensif karena tidak hanya melibatkan satu lembaga saja dalam penanganan tuberkulosis.
Dia percaya dengan Perpres yang dikeluarkan oleh presiden, maka kerja sama antar kementerian dan lembaga bisa lebih strategis mempercepat eliminasi kasus tuberkulosis pada 2030.
“Ini [2030] tinggal beberapa tahun lagi, bagian dari masyarakat global, Indonesia bisa ikut agenda itu pada 2030 dengan adanya Perpres tersebut memperkuat dan peningkatan anggaran TB. Hari ini penanganan TB belum spesifik kalau secara prioritas nasional sudah ada,” tutur Putih Sari kepada tim Prohealth.id dalam wawancara eksklusif Desember 2021 lalu.
Koordinator Substansi TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), dr. Tiffany Tiara Pakasi menyatakan tren temuan kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia memang cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Meski demikian, dr. Tiffany menyebut ada indikasi penurunan temuan kasus TB juga karena akses fasilitas kesehatan selama Covid-19 yang banyak dialokasikan untuk penanganan pandemi ketimbang preventif terhadap pendeteksian TB. Oleh sebab itu sejumlah upaya digencarkan khususnya selama pandemi agar hak kesehatan masyarakat bebas dari TB bisa terwujud.
Langkah pertama adalah dengan akselerasi mengatasi kasus yang tidak dilaporkan. Beberapa cara yang dilakukan adalah; validasi data di Puskesmas, penyisiran kasus TBC di rumah sakit, dan penegakan aturan pelaporan kasus TBC.
Langkah akselerasi kedua adalah dengan mengatasi kasus yang tak berhasil ditemukan. Cara yang bisa dilakukan misalnya; edukasi dan skrining TBC di populasi umum, skrining dengan x-ray di populasi umum, investigasi kontrak, dan pendeteksian menggunakan aplikasi online.
“Upaya ini penting mengingat penanganan TBC saja masih menghadapi tantangan berbasis hak asasi manusia,” kata dr. Tiffany.
Adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita TB masih marah di masyarakat Indonesia. Beberapa hambatan lain yang ikut mempersulit proses penanganan adalah isu gender dalam kasus TBC, adanya ketidaksetaraan sosial, hingga tidak tersedianya akses layanan untuk kasus TBC. Solusinya, respon negara terhadap pasien TBC haruslah berpusat pada hak asasi pasien dan transformasi gender.
“Maka untuk menjalankan intervensi dengan efektif, komunitas, HAM, dan gender, harus menjadi bagian inti dalam merespon kasus TBC,” ungkap Tiffany.
Daniel Marguari dari Yayasan Spiritia mengatakan peran komunitas dalam penanganan TBC sangat penting karena besarnya kesuksesan terukur dari kuatnya kolaborasi dengan pemerintah. Kerja sama dua entitas ini menurut Daniel akan mempercepat pengambilan keputusan terutama dalam hal pemberian manfaat kepada pasien.
“Dinamika yang terbangun dari pemerintah dan komunitas ini juga akan menyalurkan dukungan bagi para pasien atau penerima manfaat komunitas,” ungkap Daniel.
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post