Laporan terkini Save the Children “Generation Hope” tahun 2022 secara global memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia—atau sepertiga dari populasi anak di dunia—hidup dengan dampak ganda yaitu kemiskinan yang parah dan darurat iklim. Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami ancaman ganda tersebut.
Penggalian data dan informasi dilakukan dengan melakukan survei dan dialog bersama 54.000 anak dari 41 negara termasuk di antaranya 20.000 anak Indonesia yang berpartisipasi.
Laporan itu menjelaskan bahwa 59,8 persen anak merasakan perubahan iklim mempengaruhi lingkungan di sekitar mereka, serta 30,7 persen anak merasakan ketimpangan ekonomi yang mempengaruhi hak-hak dasar anak.
“Saya sudah putus sekolah sejak SMP. Saya bekerja membantu bapak menanam cabai, tapi cuaca sekarang tidak menentu dan sering menyebabkan gagal panen. Jangankan untuk sekolah lagi, untuk makan sehari-hari aja saya cukup-cukupin.” Amat (bukan nama sebenarnya) / 17 tahun / anak petani di Jawa Barat
Laporan “Generation Hope” juga menunjukkan bahwa lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun. Fakta ini memperjelas bahwa anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional, sebab tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi.
Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, seorang Bapak dengan 7 anak, tinggal di pesisir pantai dan memiliki mata pencaharian sebagai seorang nelayan merasakan krisis iklim secara nyata. Hasil tangkapan ikan setiap hari semakin berkurang, bahkan lebih sering tidak mendapat hasil dan ini berdampak pada perekonomian keluarga, kesehatan, serta pendidikan ke-tujuh anaknya.
Troy Pantouw selaku Chief of Advocacy, Campaign, Communication, Media & MarkComm Save the Children Indonesia menjelaskan krisis iklim adalah krisis terhadap hak-hak anak. Anak-anak terancam menghadapi kemiskinan jangka panjang, dan sangat berdampak pada hak pendidikan, kesehatan, dan perlindungan.
“Sekarang saatnya untuk melakukan aksi adaptasi dan mitigasi untuk memperbaiki keadaan dan memberikan masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di Indonesia dan seluruh dunia” tegas Troy melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (18/1/2023).
Save the Children menegaskan bahwa, jika krisis iklim dan ketimpangan tidak segera ditangani, frekuensi dan tingkat keparahan krisis kemanusiaan serta biaya hidup akan terus meningkat.
Beberapa langkah prioritas yang harus dilakukan oleh seluruh pihak, di antaranya adalah mengambil langkah aksi yang nyata dan ambisius untuk membatasi kenaikan suhu maksimal 1,5°C.
Selanjutnya, menjalankan komitmen pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi yang berpihak pada anak. Kemudian, melibatkan anak-anak sebagai pemangku kepentingan yang setara dan agen perubahan utama dalam mengatasi krisis iklim dan lingkungan, termasuk membangun mekanisme dan platform yang ramah anak untuk memfasilitasi keterlibatan mereka dalam penyusunan kebijakan iklim oleh pemerintah.
Dampak perubahan iklim sangat berpengaruh kepada kesehatan, salah satunya higienitas air dan fasilitas sanitasi. Kedua hal ini sangat penting dijaga untuk menjamin kesehatan jutaan masyarakat dunia. Selain itu, perubahan iklim juga memberi pengaruh besar pada kualitas udara yang dihirup manusia setiap hari.
Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan laporan pada November 2022 lalu yang dirilis bersama European Environmental Agency (EEA) bahwa 238.000 orang di Uni Eropa meninggal lebih muda, atau menjadi bayi prematur yang mati akibat polusi udara. Analisis dari WHO menegaskan polusi adalah risiko kesehatan lingkungan terbesar di Eropa saat ini, dan juga di seluruh dunia.
EEA memperkirakan bahwa 238.000 bayi prematur meninggal sebelum waktunya pada tahun 2020 tersebut diakibatkan oleh paparan halus PM2.5, yang saat ini mencapai 96 persen populasi perkotaan pada tingkat di atas pedoman sehat WHO.
Dikutip dari siaran pers WHO, ada pun WHO dan UN-Water’s Global Analysis and Assessment of Sanitation and Drinking-Water (GLAAS) merilis laporan yang menunjukkan pentingnya melakukan peningkatan dalam pencapaian target pembangunan berkelanjutan atau UN Sustainable Development Goal (SDG) poin 6 yaitu jaminan kebersihan untuk air dan sanitasi pada 2030.
Pasalnya, masih ada 45 persen negara di dunia yang sudah mencapai target tersebut khususnya untuk jaminan air minum bersih. Namun hanya 25 persen negara di dunia yang sudah sesuai target untuk mencapai sanitasi sehat secara nasional. Kurang dari sepertiga negara di dunia masih belum berhasil menuntaskan masalah air minum bersih, dan sanitasi yang higienis.
Dalam lapora GLAAS 2022 tersebut, terdapat pula status terakhir dari sistem sanitasi di 120 negara dunia. Sebenarnya, ada peningkatan bujet untuk program sanitasi di beberapa negara. Peningkatan bisa sampai 75 persen untuk mendukung implementasi program WASH, program WHO utnuk peningkatan sanitasi bersama UN Water untuk seluruh negara di dunia.
Menurut Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, saat ini dunia sedang menghadapi krisis besar; kemiskinan untuk mendapatkan air minum bersih, sanitasi yang tak higienis bertahan tahun ke tahun, dan peningkatkan kondisi cuaca ekstrem sebagai akibat dari perubahan iklim.
“Kami meminta seluruh pemerintah di dunia untuk mengembangkan dan memperkuat program WASH, dan meningkatkan investasi untuk pengadaan akses dan jaminan air minum bersih pada tahun 2030 khususnya untuk kelompok rentan,” tegas Tedros.
Sementara itu, Chair of UN-Water, sekaligus Director General of the International Labour Organization Gilbert F. Houngbo menjelaskan, saat ini seluruh dunia memasuki fase krisis untuk mencapai target SDGS. Sudah miliaran manusia di dunia yang terinfeksi penyakit, khususnya mereka yang menjadi korban bencana dan perubahan iklim karena kesulitan mencari air bersih.
“Data dari GLAAS akan menunjukkan, komitmen relawan internasional untuk mencapai target UN 2023 Water Conference pada bulan Maret mendatang. Maka sangat penting untuk menjamin mereka yang rentan dengan krisis air dan sanitasi,” sambungnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post