Jakarta, Prohealth.id – Kasus perundungan makin merajalela, terutama di kalangan remaja.
Beberapa waktu lalu misalnya, ada kasus perundungan di sekolah swasta kembali mencuat di khalayak publik karena salah satu pelaku adalah anak dari artis.
Ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga, Margaretha, menyatakan dalam risetnya bahwa sekitar 40 persen siswa usia remaja pernah melihat atau terlibat di dalam perundungan. Margaretha menilai masih banyak kesalahan pikir orang yang mengira perundungan adalah hal yang biasa terjadi di antara anak dan remaja, atau disamakan seperti perselisihan antar teman.
Padahal, perundungan adalah tindakan agresi, yaitu penggunaan kekerasan dari seseorang kepada yang lainnya. Artinya ada pelaku dan ada korban. Kekerasan digunakan secara berulang, bisa dalam bentuk fisik, verbal, emosional, eksploitasi ekonomi, dan penelantaran, serta juga bisa dilakukan secara online. Maka, perundungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental korban, dan juga memperburuk kondisi psikologis pelaku.
“Selain itu, di sosial media seseorang bisa menggunakan identitas palsu dan merasa bisa menjadi siapa saja serta melakukan apapun termasuk trolling; akibatnya orang seperti inilah yang melakukan perundungan online, atau cyber bullying,” jelas Margaretha melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (28/2/2024).
Penyebab Perundungan
Margaretha memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku perundungan. Salah satunya adalah karena mereka belajar menggunakan kekerasan dari rumah atau di interaksi sosial mereka.
“Jadi misalnya anak mengalami kekerasan di rumah. Apabila mereka tidak suka terhadap sesuatu, maka mereka akan memukul atau menggunakan kekerasan. Hal ini masuk dalam alam berpikirnya,” ujarnya.
Faktor lingkungan juga mempengaruhi perilaku teman sebaya. Ia menilai bahwa pelaku perundungan tersebut berawal dari rasa tidak suka kepada temannya, yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk kekerasan. Selain itu, pelaku perundungan biasanya adalah orang yang kurang cakap menyelesaikan persoalan pribadi dan sosialnya.
“Sehingga mereka menggunakan tindakan kekerasan sebagai cara yang sebenarnya tidak efektif, atau kekerasan sebagai pengalihan akibat tidak bisa menyelesaikan persoalan.”
Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat seseorang beresiko tinggi menjadi korban perundungan. Misalnya; kurang dukungan sosial, kelemahan penyelesaian konflik, serta memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas. Oleh karena itu, semua orang bisa mengalami agresi, tetapi yang biasanya jadi korban lebih lama adalah mereka yang lebih lemah secara sosial, atau mereka yang punya disabilitas.
“Contohnya, siswa dengan disabilitas di sekolah inklusi rentan mengalami bullying,” papar Margaretha.
Tidak semua korban perundungan menjadi trauma, lanjut Margaretha, hal ini tergantung pada bagaimana mereka menyelesaikan masalah dan mendapatkan bantuan. Ia menambahkan, melapor adalah salah satu cara untuk menghentikan perundungan.
“Sebenarnya kalau kita melihat bullying, seharusnya kita menjadi saksi yang melaporkan atau menghentikan. Jadi bukan menjadi pengamat saja (atau bystander effect), tapi menjadi agent of change. Kita harus berani menyatakan stop bullying, we have to speak up dan jangan mempermaklumkan bullying” ujar Margaretha.
Margaretha juga menjelaskan, gejala trauma akibat perundungan tampak bervariasi setiap individu. Contohnya, dari rasa takut dan menarik diri, atau menjadi lebih reaktif/sensitif. Namun, secara umum, mereka yang mengalami trauma akan sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari, menghadapi situasi sosial, atau mengatasi kecemasan diri sendiri.
Sebagai contoh, anak menghindari sekolah karena saat ada di sekolah dia mengalami perundungan. Orang tua harus peka bahwa korban perundungan juga bisa mengalami kecemasan berlebih, kesulitan tidur, mimpi buruk, hingga penurunan nilai akademik.
“Bahkan, terdapat beberapa kasus berat yang mengarah kepada depresi dan berniatan untuk mengakhiri hidup. Walaupun tidak semua seperti itu,” papar Margaretha.
Antisipasi Asertif
Margaretha menyarankan peran aktif dari lingkungan sekitar, seperti teman, guru, atau orang tua mengatasi perundungan. Lingkungan harus peka dan berani membantu korban, serta menghentikan tindakan perundungan.
“Jangan biarkan korban sendirian menghadapi bullying. Lingkungan harus bersikap tegas dan memberi sanksi kepada pelaku,” ujarnya.
Selain itu, korban juga perlu mendapatkan dukungan psikologis agar lebih mampu menyatakan batas-batas secara sehat. Margaretha mengatakan, korban harus belajar untuk bersikap asertif, yaitu berani menghadapi pelaku untuk menghentikan olok-olok atau ejekan secara efektif.
Misalnya saja, jika ada humor yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri. Korban perlu berani menyatakan bahwa ia tidak menyukai perlakuan tersebut. Korban harus berani berkata stop, saya tidak suka kamu berbicara seperti itu, dan sebagainya.
“Atau korban berusaha merubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat tidak enak; misalkan bilang ke diri sendiri – kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat. Atau ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan.” jelasnya.
Tak hanya korban, bagi Margaretha pelaku perundungan juga perlu mendapatkan intervensi pemulihan. Pasalnya, para pelaku perundungan juga adalah individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah secara sehat. Pelaku perudnungan perlu berlatih mengelola emosi solutif dan benar secara sosial.
Misalnya, jika mereka tidak suka dengan perilaku seseorang, mereka bisa berbicara dengan sopan dan jujur, tanpa harus memukul atau menyakiti. Pelaku perundungan juga harus belajar empati, yaitu kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan.
Riset psikologi menemukan bahwa para pelaku perundungan sulit memahami dari perspektif orang lain. akibatnya mereka makin sulit berempati. Pelaku cenderung melihat hanya dari cara pandangnya sendiri, yang mana korban perundungan terlihat sebagai orang lemah yang pantas mendapatkan perlakuan buruk ketimbang simpati.
“Nah, intervensi psikologi akan melatih pelaku memahami posisi si korban,” tuturnya.
Margaretha menegaskan setiap siswa di Indonesia berhak untuk belajar tanpa kekerasan dan merasa aman di sekolah. Hal ini telah tertuang dalam undang-undang, beberapa di antaranya Sekolah Ramah Anak dan Penghapusan Kekerasan.
“Jika ada siswa yang merasa tidak aman atau mengalami penindasan di sekolah, mereka berhak melapor dan menuntut hak mereka,” tuturnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post