Saat semua berlomba ‘memodernisasi’ pertanian, Nissa Wargadipura justru ingin membumikan kembali tradisionalitas dan kearifan lokal demi ekologi keberlanjutan.
Nissa adalah pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut, Jawa Barat. Pada tahun ini ia mendapat anugerah sebagai Pahlawan Pangan atau “FAO Heroes” dari Badan PBB Urusan Pangan Dunia (Food & Agriculture Organization/ FAO).
Salah satu yang memantik Nissa untuk membangun pesantren ekologi adalah semakin sulitnya perempuan dan masyarakat miskin mengakses makanan bernutrisi. Nissa berpandangan hal itu berpangkal dari Revolusi Hijau.
“Revolusi Hijau menyeragamkan makan dan menghancurkan keragaman berbasis kearifan lokal,” kata Nissa dalam Dialog Nasional Transformasi Sistem Pangan Berkelanjutan, Selasa (3/12/2024) lalu.
Revolusi hijau merupakan gerakan global yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian atau pangan dengan menggunakan teknologi modern. Di Indonesia, revolusi hijau ini mulai pada era Orde Baru alias rezim Soeharto.
Saat itu, Soeharto menerapkan revolusi hijau dengan tujuan ingin swasembada pangan. Dia ingin Indonesia mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Beberapa program revolusi hijau yang dibuat era Soeharto adalah Bimas dan Panca Usaha Tani, Inmas dan pembangunan pabrik pupuk.
Namun, Nissa melihat revolusi hijau itu justru menyebabkan permasalahan kesehatan dan menjauhkan masyarakat pada akses makanan sehat.
“Makanan tidak beragam, sperma dan ovum juga tidak bernutrisi, makanannya seragam, pakai terigu. Stunting tinggi, anak-anak tantrum karena gula sangat tinggi, tidak punya kemampuan mengurus emosinya,” ungkapnya.
Berdasarkan buklet The Food and Land Use Coalition, revolusi hijau justru menjadi salh satu penyebab produk pertanian terus mengalami penurunan sejak tahun 2011 hingga 2020.
Catatan Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menunjukkan, pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) atau konsep pengukuran di sektor pertanian sektor pertanian negatif sejak 2011, yaitu 0,36 persen pada periode 2011-2015. Padahal, tahun 2006-2010, TFP sektor pertanian tercatat tumbuh positif 1,71 persen.
Penerapan revolusi hijau dengan penggunaan pupuk secara massif membuat kesuburan tanah justru menurun. Imbasnya, produktivitas pertanian pun terganggu.
Oleh sebab itu, dia membangun pesantren awalnya Ath Thaariq pertanian berbasis agro ekologi dengan lanskap kampung dan model family farming.
Family farming merupakan cara menghasilkan pangan sehat dan berkualitas sesuai potensi lokal. Petani keluarga berkontribusi langsung terhadap ketahanan pangan dan gizi.
Di pesantren tersebut, semua orang bisa ikut menanam dan mengelola pertanian. Pesantren ini juga menerapkan keanekaragaman (biodiversity). Model berkelanjutan juga dia pertahankan dengan tidak memakai pupuk kimia.
Perjalanan Nissa menggeser revolusi hijau bukan baru-baru ini saja. Dia sudah aktif menggaungkan ekologi berkelanjutan sejak tahun 1990-an.
Saat itu, dia membentuk “Serikat Petani Pasudan” dengan menggencarkan pemberdayaan petani dan mengadvokasi permasalahan pertanian, termasuk pembebasan lahan.
Nissa berpandangan akses tanah hingga makanan bernutrisi harus didapat oleh masyarakat. Oleh sebab itu, sampai sekrang dia masih konsisten menggencarkan agro-ekologi untuk menyaingi agro-bisnis, anak dari revolusi hijau.
Komitmen Indonesia
Food System Specialist FAO, Yusmanetti Sari mengingatkan Pemerintah Indonesia membuat suatu komitmen di tingkat global yang terkait dengan transformasi sistem pangan.
Komitmen itu meliputi meliputi beberapa hal. Pertama, membuat peta jalan pencapaian ketahanan pangan. Kedua, menyusun skenario dalam pencapaian ketahanan pangan. Ketiga, menunjuk Badan Pangan Nasional untuk mengkoordinasikan lintas sektor dalam perumusan, penetapan dan pelaksanaan peta jalan. Keempat, melibatkan seluruh pelaku pangan.
Salah satu tindak lanjutnya adalah membuat serangkaian dialog Sistem Pangan melalui Bappenas dengan berbagai pemangku kepentingan pada tahun 2020.
“Kita buat summary jadi beberapa prioritas transformasi sistem pangan dengan prioritas end hunger, achieve food security and improved nutrition, and support sustainable agriculture,” ucapnya.
Dia menjelaskan family farming mempunyai tujuh pilar. Antara lain; mengembangkan kebijakan yang mendukung kesinambungan family farming, memastikan family farming bertahan lintas generasi dan mendukung kesetaraan gender.
Lalu, mengidentifikasi area yang rentan pangan, menyusun kebijakan pusat dan daerah, menguatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, menguatkan akses keluarga petani terhadap permodalan sarana produksi dan asuransi.
Dia juga sepakat bahwa agroekologi perlu lebih masif. “Buat mereka sadar bedanya pertanian agroekologi dengan industri. Kita tekankan bahwa agroekologi lebih ramah lingkungan dan lebih murah,” ucapnya.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post