Jakarta, Prohealth.id — Petani tembakau asal Desa Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Istanto menjelaskan bahwa persoalan utama yang mereka hadapi adalah terkait sistem tata niaga (pemasaran) produk hasil pertanian.
Selama ini, tata niaga tembakau dilakukan sepihak oleh pedagang pengumpul dan grader, sehingga mereka tidak punya posisi tawar.
“Yang sangat kami tunggu-tunggu itu adalah bantuan terkait pemasaran (tata niaga) tembakau dari petani,” ujarnya disela-sela diskusi daring bertema ‘Daya Tawar Petani dan Posisi Dalam Regulasi Saat ini’ pada Jumat, (13/8/2021).
Menurut Istanto, petani membutuhkan pendampingan khusus, sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu harga daun tembakau anjlok. Pendampingan diperlukan agar petani tidak semakin merugi.
“Uluran pendampingan dari hasil penjualan produk pertanian sangat diperlukan, baik itu dari tembakau, kopi, sayur-sayuran dan yang lain. Misalnya saja seperti beberapa minggu lalu, cabe tinggi harganya, tapi sekarang anjlok saat panen raya,” papar Istanto.
Istanto juga mencontohkan, ketika petani bawang putih panen dengan hasil yang berlimpah, disaat yang bersamaan, pemerintah malah membuka kran impor. “Akibatnya, harga bawang putih kami turun drastis. Ini yang agak gelo,” katanya.
Setelah melihat bentuk bawang putih impor, Istanto menambahkan, bawang putih lokal yang mereka hasilkan ternyata kualitasnya jauh lebih baik. Karena itu, ia menilai, keberpihakan pemerintah terhadap petani sangat minim. Petani terkesan dibiarkan sendirian.
“Nanti untuk hal yang akan datang, pas panen seperti itu banyak, tahu-tahu pemerintah impor bawang putih lagi. Ini bukan kejadian pertama,” ungkapnya.
Beruntung, mereka melalui kelompok tani mencoba terlibat dalam program bantuan sosial (Bansos) melalui program Keluarga Harapan (PKH). “Bawang putih kita masukkan sebagai tambahan bagi penerima bansos. Lumayan bisa menyerap hasil petani,” kata Istanto.
Namun peristiwa seperti itu, tidak berlangsung terus menerus. Istanto sadar, kondisi itu sebuah kebetulan, sehingga perlu dicari cara agar produk pertanian tetap bisa diserap pasar dengan harga yang kompetitif, sehingga menguntungkan petani.
“Saat ini belum ada bantuan dari pemerintah soal pendampingan terkait pemasaran hasil pertanian kami,” tegasnya.
Contoh lainnya terkait penjualan ubi jalar yang harganya cenderung meningkat di masa pandemi. Perkilonya bisa mencapai Rp4 ribu, namun khusus ubi kayu ternyata hanya dihargai Rp500 per kilogram.
“Rp500 per kilogram itu sama sekali gak bisa apa-apa. Balik modal juga tidak,” katanya.
Sejauh ini di Kabupaten Magelang telah ada unit bisnis, tempat pemasaran hasil pertanian, melalui ‘Pasar Tani’. Tempat itu ditujukan untuk memajukan produk lokal namun terkendala harga yang tidak bisa dikendalikan.
“Tempat pengumpulan hasil sudah ada, tetapi instrumen untuk mengendalikan harga itu yang belum,” terang Istanto.
Selain itu, petani yang berkumpul di dalam kelompok tani memiliki posisi tawar yang lebih baik, sesuai dengan arahan dinas pertanian setempat. Mereka terpaksa berkelompok, karena tanpa itu tidak akan bisa mendapatkan bantuan, baik pupuk maupun bibit.”Kebanyakan kelompok tani sudah sejak lama berdiri. Namun kelompok tani tidak menjamin soal tata niaga pertanian,” ungkapnya.
Hal serupa juga dikeluhkan oleh petani tembakau asal Magelang Surono. Ia menyebut, pendampingan terkait pemasaran belum dilakukan hingga saat ini. “Sehingga saat menjual, kami ikut pengepul atau tengkulak saja,” ungkapnya.
Sementara terkait usulan pembentukan koperasi demi membantu permodalan, Surono mengatakan, hal tersebut tidak mudah. Ada banyak persoalan teknis dan administratif, sehingga koperasi tak kunjung berdiri.
“Kemarin ada usulan bentuk koperasi, tapi belum bisa jalan,” katanya.
Selama ini, bantuan permodalan petani hanyalah mengandalkan pinjaman dari pihak ketiga, baik yang sifatnya perbankan maun non-perbankan. Sementara khusus terkait pemasaran, Surono memastikan, kegiatan itu masih menjadi PR besar, karena posisi tawar petani yang lemah.
Bahkan terkait kemitraan yang dianggap banyak kalangan lebih menguntungkan petani, ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Padahal, literatur menyebut, kemitraan sangat membantu petani, utamanya terkait dukungan modal, saprodi dan pemasaran hasil pertanian.
“Di wilayah kami belum ada kemitraan yang jelas. Sementara kemitraan tembakau sudah banyak yang tidak ikut. Yang tidak ikut jadi mandiri dan tetap sendiri,” katanya.
Sementara itu, petani tembakau asal Magelang Cipto Margono menyebut pola pertanian yang mereka lakukan ibarat gambling (berjudi). Tidak ada titik ukur yang jelas terkait keberhasilan petani.
“Saya di lereng Gunung Merbabu dengan ketinggian 1200 mdpl, sampai saat ini masih mengadopsi pertanian turun-temurun, yaitu pertanian secara gambling, karena dari dulu, tembakau maupun hortikultura belum ada kepastian harga jual,” ungkap Cipto.
Karena itu, Cipto mengamini keluhan Istanto soal ketidakberdayaan petani mengatasi masalah harga tembakau. Hal itu mengakibatkan petani bingung, apakah akan melanjutkan budidaya tembakau atau beralih tanam ke komoditas lain.
Selama ini, masyarakat di lereng Gunung Merbabu melakukan cocok tanam secara musiman. Ketika musim hujan, mereka akan bersama-sama menanam sayuran. Sementara di musim kemarau, tidak semua beralih tanam, karena masih ada yang menanam tembakau.
Petani beranggapan, baik sayuran maupun tembakau sama saja, tidak ada yang lebih baik, karena hasil pertanian belum mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Jadi antara sayur dan tembakau belum ada kepastian untuk pangsa pasarnya maupun harga jual. Kami masih berlomba-lomba dalam gambling tersebut,” ungkap Cipto.
Tidak adanya jaminan, bahwa menanam sayuran lebih menguntungkan ketimbang tembakau, menurut Cipto mengakibatkan mereka terjebak pada situasi yang tidak menentu, meskipun kadangkala menanam sayuran lebih menguntungkan dengan masa panen yang lebih singkat.
“Itu tidak ada jaminan, dari pemerintah atau pihak manapun. Jadi kami masih gambling terus untuk pertanian di daerah kami,” ujarnya.
Akibatnya, para petani melakukan penanaman secara suka-suka, tanpa ada pengawasan dari pemerintah setempat. Pada saat yang bersamaan, tidak ada regulasi yang menjamin pemasaran hasil pertanian mereka.
“Jadi kami masih terus istilahnya nanamnya secara ngawur. Bisa nanam tembakau, ya bisa nanam sayur. Karena tidak ada kepastian,” terang Cipto.
PEMERINTAH PERLU TURUN TANGAN
Menanggapi hal itu, Direktur SDM UI Abdilah Ahsan membenarkan bahwa telah terjadi ketimpangan yang dialami petani terkait buruknya sistem tata niaga, tidak hanya tembakau, namun juga produk pertanian secara umum.
“Kami sudah ke Dinas Pertanian Magelang dan langsung keluhan-keluhan yang sama keluar. Ada ketimpangan daya tawar yang tidak sama,” katanya.
Contoh yang paling sederhana adalah ketika grader atau pedagang pengumpul mengambil sampel tembakau sebanyak 2 kilogram. “Itu kan kebanyakan. Kemudian diambil yang lain lagi. Kemudian penentuan harganya bagaimana? Kemudian bisa saja tidak jadi dibeli,” ungkap Abdilah.
Selain itu, tembakau juga dikenal rentan terhadap cuaca. Cuaca yang tidak menentu menjadikan kualitas daun tembakau berkurang. “Mungkin hari ini panas, tapi pas mau di panen hujan deras, jadinya kualitasnya turun,” katanya.
Oleh karena itu, Abdilah mengusulkan agar pemerintah turun tangan menyelesaikan persoalan petani tembakau, mengingat petani sebagai pihak yang kerap dirugikan.
“Sehingga jika ingin bertani tembakau, pemerintah harus membantu mereka. Misalnya dengan penentuan harga minimal, kemudian akses modal dan lain-lain,” terang Abdilah yang juga Peneliti PEBS UI.
Ketika di lapangan ditemukan banyak petani yang melakukan diversifikasi ataupun alih tanam secara alami, menurut Abdilah, “Gak harus dioprek-oprek, ini keputusan raasional. Saya juga pernah ke Pamekasan melihat sendiri para petani tembakau sudah pindah ke bawang”.
“Ditunjukkan, mas ini tanaman tembakau, ini tanaman bawang. Hitung-hitungannya ini mas, lebih untung bawang, walaupun modalnya lebih banyak,” ujar Abdilah kemudian.
Sementara bagi petani yang belum berani melakukan diversifikasi tanaman, Abdilah menilai ada banyak alasan tentang itu. “Mungkin karena tidak enak dengan teman dan sebagainya,” katanya.
Hanya saja, diversifikasi komoditas hingga alih tanam sudah terjadi di banyak tempat di Indonesia. Itu bukan hal yang mustahil, ketika petani melihat peluang baru yang lebih menguntungkan.
“Kita tidak perlu takut mitos. Itu susah sekali untuk pindah, padahal di lapangan sudah terjadi,” tandasnya.
USAHA TANI HULU DAN HILIR
Tenaga Ahli Kedeputian III Kantor Staf Presiden (KSP) Aji Erlangga tidak menampik jika persoalan utama petani tembakau saat ini ada di sistem tata niaga. Hal itu mengakibatkan keuntungan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja.
“Terutama para pedagang, apapun bentuk dan namanya, sementara petani tidak diuntungkan,” katanya.
Aji menilai sistem tata niaga sebagai persoalan klasik yang dialami oleh para petani tembakau di Indonesia. Karena itu Aji mengusulkan agar persoalan itu tidak dibiarkan begitu saja. “Petani jangan ditinggal sendirian,” ujarnya.
Oleh sebab itu tentu saja, petani yang skala usahanya mikro dan bersifat individual tidak akan mampu berhadapan dengan perusahaan yang punya sumberdaya dan posisi tawar yang lebih besar.
“Ini jadi PR kita, bagaimana secara kelembagaan para petani lebih terkonsolidasi, tapi juga harus berangkat dari para petani itu sendiri,” kata Aji.
Selama ini, menurut Aji, persepsi pemerintah adalah, pelaku usaha akan lebih mudah mendapatkan kerjasama dalam bentuk apapun, jika dilakukan secara berkelompok. Jika tidak berkelompok, menjadi lebih sulit untuk melakukan pengembangan usaha. “Bahkan melakukan pembinaan dari pihak lain, juga sulit,” tegasnya.
Selain itu, model ekonomi yang bisa diaplikasikan di setiap usaha tani sebaiknya memiliki konsep hulu dan hilir. Itu untuk menghindari adanya beban nilai tambah, yang kemudian dinikmati oleh pihak lain. “Misalnya waktu pengadaan segala hal yang diperlukan dalam rangka pertanian,” kata Aji.
Oleh karena itu, Aji mengusulkan soal pertanian multikultur yang tidak terpaku pada satu jenis komoditas, namun perlu dilakukan kajian yang komprehensif dari hulu dan hilir.
“Sehingga dalam kapasitas yang terbatas, kita bisa memberi rekomendasi relatif yang lebih bermanfaat,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua MTCC UNIMMA Retno Rusdjijati menginginkan agar persoalan tata niaga tembakau, termasuk proses diversifikasi dan alih tanam harus diselesaikan segera. Hal itu diperlukan demi memberi kepastian dan melindungi para petani tembakau di Indonesia.
“Kami berada di pihak para petani. Kami akan tetap membantu mereka memperjuangkan hak-haknya terutama dalam menyelesaikan persoalan tata niaga tembakau, juga kemudian ke proses diversifikasi dan alih tanam,” kata Retno.
MTCC UNIMMA juga akan memperkenalkan berbagai jenis teknologi terbaru melalui sekolah tani yang mereka miliki. “Karena itu, kami juga ajak petani untuk lebih terbuka, tidak tergantung pada satu jenis komoditas terutama tembakau,” terangnya.
Selain itu, Retno menjelaskan bahwa lembaganya memiliki forum yang bisa dimanfaatkan oleh petani untuk berdiskusi terkait banyak hal, termasuk soal sistem tata niaga. Forum seperti itu sangat membantu pendampingan petani.
“Sampai sekarang jumlah forum kami semakin banyak. Bahkan dari seluruh Indonesia ingin bergabung dengan forum tersebut,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post