Magelang, Prohealth.id – Petani Tembakau asal Temanggung Yamidi mendukung kebijakan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau, karena berdampak terhadap kehidupan petani.
Hanya saja, dampak tersebut belum menunjukkan perubahan berarti, ketika harga tembakau di tingkat petani masih terbilang murah.
Dia juga mengeluhkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang selama ini hanya 2 persen diperuntukkan bagi petani, Yamidi berharap agar persentasenya dinaikkan menjadi 10 persen.
Pasalnya, jika mengacu pada aturan yang berlaku, DBH CHT yang disalurkan ke daerah, sebanyak 25 persen digunakan untuk kesehatan dan 25 persen lainnya untuk penegakan hukum. Lalu 15 persen untuk petani dan 35 persen untuk yang kebutuhan lain-lain.
“Harapannya sekarang proporsinya dibalik, bukan 15 persen untuk petani namun 35 persen untuk petani. Kemudian 15 persen digunakan untuk program lainnya,” terang Yamidi pada sesi diskusi bertema “Dukungan dan Harapan Petani Tembakau Terhadap Kenaikan Cukai Rokok dan Pemanfaatan untuk Kesejahteraan Petani” pada Rabu (08/12/2021) lalu.
Hal itu diperlukan sebagai langkah antisipasi di saat panen, utamanya ketika harga kurang menguntungkan. Dana tersebut dapat digunakan sebagai subsidi atau dana talangan untuk keperluan petani.
“Karena sampai saat ini, kelompok tani, setiap tahunnya yang dari dana bagi hasil cukai belum tentu semuanya menikmati,” katanya.
Yamidi mencontohkan, untuk tahun ini ada kelompok tani yang belum mendapatkan bantuan pupuk. Bantuan yang diterima ternyata tidak seperti yang diharapkan. “Karena per satu kelompok tani hanya dijatah 1500 kilogram, padahal 1 hektar seharusnya membutuhkan sedikitnya 45 kilogram pupuk,” paparnya.
Sementara itu, satu kelompok tani kebanyakan memiliki lahan seluas 20 hektar – 25 hektar. Ketika pupuk yang didapat dari DBHCHT hanya 1500 kilogram, hal itu dianggap sangat kecil dan belum sesuai dengan kebutuhan petani.
“Dengan kenaikan cukai tembakau, bantuan kepada petani seharusnya bisa ditingkatkan lagi,” pintanya.
Yamidi juga berharap, DBH CHT bisa digunakan sebagai katalisator atau jembatan, mengingat panjangnya tata niaga tembakau. Sudah rahasia umum jika petani dipaksa menjual produknya kepada tengkulak dengan harga murah.
“Ditempat kami istilah atau Gaok, dimana mata rantai penjualannya masih sangat panjang. Karena itu DBH CHT bisa digunakan untuk kerjasama atau membuka peluang bagi kelompok tani agar bisa langsung menjual ke pabrikan atau perwakilan pabrik,” jelas Yamidi.
Selama ini, petani tidak bisa menjual langsung ke pabrik karena jaraknya yang jauh. Jika petani bisa langsung menjual ke perwakilan pabrik, mereka akan memiliki nilai tawar. “Tidak seperti yang sudah-sudah,” ujarnya.
Sekarang ini, perjalanan tembakau dimulai dari Gaok ke pengepul kecil lalu ke pengepul besar. Dari pengepul besar lanjut ke grader, baru ke perwakilan pabrik. Itu sebabnya, ketika harga di perwakilan pabrik sebesar Rp50 ribu per kilogram, maka di tingkat petani hanya berkisar Rp30-35 ribu.
“Sehingga harapan dari meningkatkan cukai tembakau, dan harapan untuk meningkatkan pendapatan petani bisa tercapai,” ujarnya.
Hal serupa juga dikeluhkan Tuhar, perwakilan petani tembakau asal Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Menurutnya, DBH CHT diperlukan untuk mencukupi kebutuhan petani.
“Kami ingin petani tembakau lebih sejahtera. Caranya persentase pembagian untuk petani dinaikkan,” katanya.
Menurutnya, DBH CHT sangat diperlukan untuk menggerakkan diversifikasi tanaman, seperti kopi. Mereka membutuhkan pendanaan untuk keperluan inovasi, mengingat tembakau tidak bisa menghasilkan sepanjang waktu.
“Hal itu terjadi karena tata kelola penjualannya belum tertata dengan baik,” katanya.
Pada kondisi ini, kesejahteraan petani ibarat jauh panggang dari api. Itu dikuatkan dengan peristiwa dua tahun terakhir ketika pandemi Covid-19 melanda, petani menjadi pihak yang paling dirugikan.
“Makanya jika boleh usul dengan adanya kenaikan cukai ini demi pemberdayaan dan kesejahteraan petani, maka proporsinya harus dinaikkan,” pintanya.
Ketika petani tembakau tidak memiliki posisi tawar yang baik, tidak banyak yang bisa diperbuat. Padahal di banyak tempat, produsen umumnya sebagai penentu harga.
“Tapi itu tidak berlaku pada petani tembakau. Penentuan harga di tingkat petani dilakukan secara sepihak,” paparnya.
Selain itu, Tuhar berharap DBH CHT bisa digunakan untuk mengembangkan inovasi pertanian, khususnya menghadapi kemarau. Petani di lereng Gunung Sinduro yang 80 persen bercocok tanam tembakau kerap mengalami kendala ketika musim kemarau
“Harapannya DBH CHT digunakan untuk pembuatan embung skala kecil untuk tadah hujan,” ungkapnya.
Dengan demikian, petani bisa mengembangkan budidaya yang sesuai, sehingga tidak hanya terpaku pada tembakau. Artinya di musim kemarau, petani bisa menanam komoditas lain.
“Tahun ini di musim kemarau saya mencoba menanam cabai dan itu bagus. Cuma HPP-nya membengkak, karena saya harus membawa air dari bawah. Ibaratnya air saja sudah beli,” terang Tuhar.
Itu sebabnya, ketika cukai produk tembakau dinaikkan, diharapkan dapat berkorelasi positif kepada petani, sehingga mereka bisa melakukan sejumlah inovasi.
Tak hanya itu, Tuhar juga mengaku jika dalam dua tahun terakhir, kelompok taninya tidak mendapatkan bantuan pupuk. Hal yang sama juga dirasakan oleh kelompok tani lainnya.
“Artinya itu juga kurang. Sementara harga tembakau petani tetap dibayar murah. Bahkan untuk makan saja susah,” ujarnya.
Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia Istanto juga menyampaikan hal serupa. Baginya, kenaikan cukai tembakau yang akan diumumkan oleh pemerintah, tidak berkorelasi positif dengan kehidupan petani tembakau.
“Harapannya terjadi harga kemerdekaan sebesar Rp45 ribu per kilogram tembakau yang dikenal sebagai harga polsek (pol seket),” katanya.
Jika merujuk secara nasional untuk pendapatan dari sektor cukai tembakau, Istanto menyebut, setiap tahunnya selalu naik. Pada tahun 2020 pendapatan negara dari cukai mencapai Rp162 Triliun. “Tahun 2021 targetnya Rp172 Triliun. Di bulan Agustus bahkan telah mencapai Rp111 Triliun,” ujarnya.
Lalu jika menilik RPJMN 2024, menurut Istanto, targetnya diharapkan mencapai Rp250 triliun, dengan total produk sebanyak 3,5 miliar batang. “Jika dihitung-hitung rokok SKM dari pabrik itu Rp865 per batang. Lalu dikali dengan target 3.5 miliar batang, maka akan mencapai Rp250 triliun,” terangnya.
Istanto menambahkan, “Hal itu monggo-monggo saja, tetapi harapan kami sebagai petani pembagian DBH CHT skemanya harus diubah. Jika sebelumnya, 50 persen DBH CHT untuk kesejahteraan petani, 25 persen untuk penegakan hukum dan 25 persen untuk kesehatan. Maka DBH CHT untuk petani yang semula hanya 2 persen dari total 50 persen pembagiannya diminta dibalik.
“Yang 2 persen dinaikkan menjadi 15 persen dan 15 persen yang tempo hari yang sekarang dari 50 persen itu, 35 persen-nya untuk petani dan 15 persen untuk yang lain-lain. Ini saya kira akan menjadi adil. karena uang itu muncul dari produk petani,” tegas Istanto.
Menurutnya, produk tembakau adalah GAP di musim kemarau. GAP merupakan singkatan dari Good Agriculture Product, sebagai satu-satunya penghasilan pertanian yang muncul di musim kemarau di tanah dataran tinggi, yang tidak ada airnya.
“Jika di tanah sawah, tanah ladang, masih bisa ditanami dengan diversifikasi. Tapi khusus untuk yang diatas, itu sudah tidak bisa,” katanya.
Oleh karena itu, Istanto menekankan agar DBH CHT bisa digunakan untuk pemberian sarana produksi petani, meliputi pupuk, pestisida dan insektisida, termasuk bakterisida bagi petani yang melakukan tumpang sari.
Tumpang sari, menurut Istanto, seperti di musim hujan dapat ditanami kopi arabica. khusus wilayah dengan ketinggian tertentu. Atau melakukan diversifikasi sayuran, cabai, loncang, kacang merah dan seledri untuk wilayah yang lebih rendah.
Namun yang pasti, semua itu membutuhkan pupuk, dan yang terbaik adalah pupuk organik. “Kebutuhannya sangat banyak,” kata Istanto.
Jika bantuan yang berasal dari DBH CHTI diberikan untuk keperluan budidaya, pembelian pupuk kandang atau humus, hal itu jauh lebih bermanfaat. “Nantinya akan bisa menaikkan kesejahteraan petani sesuai dengan potensi lokal yang ada,” ujarnya.
Selain itu, Istanto berharap DBH CHT diberikan kepada petani yang melakukan diversifikasi tanaman. Alasannya, dengan tumpang sari, petani bisa mendapatkan penghasilan lebih baik, selain terpaku hanya dengan tembakau.
“Kalau di tempat saya harga cabai Rp40 ribu, di tempat lain ada yang Rp35 ribu dan cabai keriting harganya di bawah Rp35 ribu,” ungkapnya.
Di saat harga bagus seperti sekarang ini, menurut Istanto, pemerintah jangan membuka kran impor. “Seperti tempo hari, pas harga naik Rp40-Rp50 ribu, tahu-tahu pemerintah impor 27 ribu ton. Akhirnya petani menjadi klepek-klepek. Harganya tidak karuan,” terangnya.
Hal lainnya, Istanto mengusulkan agar DBH CHT diperuntukkan bagi peningkatan produksi petani. Bagi petani yang aktif dengan tembakau bisa diberikan alat perajang atau alat penjemur.
Sementara untuk petani yang melakukan diversifikasi dengan kopi, diberikan alat pulper, roasting, grader, cooler dan alat penjemur dan pengering. Sama halnya dengan petani yang tumpang sari dengan cabai, sebaiknya diberikan alat untuk kebutuhan pengawetan bahan pengolahan.
“Cabai bisa dibuat menjadi abon cabai, tepung cabai. Hal-hal seperti itu bisa sangat membantu petani,” katanya.
Petani tembakau asal Nusa Tenggara Barat (NTB) Abdul Latif juga mendukung kenaikan cukai hasil tembakau. Menurutnya dana bagi hasil bisa dinaikkan. Ia merujuk tahun 2018, ketika petani tembakau mendapat anggaran dari pemerintah pusat sebesar Rp248 miliar. Pada tahun 2019 angkanya naik menjadi Rp295 miliar
“Dengan kenaikan cukai tembakau, diharapkan naik lagi pada tahun 2021 dan seterusnya,” pintanya.
Oleh sebab itu, dia sangat mendukung pemerintah untuk menaikkan cukai produk tembakau yang seharusnya diimbangi dengan kenaikan dana bagi hasil (DBH CHT) kepada petani tembakau.
“Saya sangat mendukung dari masyarakat NTB,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post