Jakarta, Prohealth.id – Ada banyak pihak menyuarakan aspirasinya terkait regulasi yang perlu dimasukkan dalam RPP Kesehatan tersebut, termasuk dalam isu pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, selama beberapa tahun terakhir diketahui bahwa prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat, baik pada kelompok dewasa maupun anak-anak. Tidak hanya konsumsi rokok konvensional, masyarakat Indonesia kini dihadapkan dengan maraknya iklan dan promosi rokok elektronik yang menjadi tren, terutama di kalangan kaum muda.
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 menunjukkan pengguna rokok elektronik di Indonesia dalam 10 tahun meningkat sebesar 10 kali lipat, dari 0,3 pada tahun 2011, menjadi 3,0 persen pada tahun 2021. Rokok elektronik diklaim merupakan cara alternatif atau jalan keluar untuk berhenti dari rokok konvensional dan memiliki risiko yang lebih rendah. Namun, studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tahun 2020 menemukan fakta sebaliknya. Pengguna rokok elektronik tidak beralih/berhenti dari rokok konvensional, tetapi sebagian besar perokok elektronik merupakan pengguna ganda (dual user) dengan rokok konvensional.
Dual user ini memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan pengeluaran kesehatan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dual user akan mengalami double burden yang akan berdampak ganda pada indikatorindikator tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku konsumsi rokok, baik konvensional maupun elektronik akan menyasar secara multidimensi. Kesehatan yang menjadi pilar utama dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan terancam, yang pada akhirnya akan berdampak pula pada produktivitas dan roda perekonomian bangsa.
Dari sisi penyedia, studi PKJS-UI juga menemukan adanya kenaikan penjual rokok elektronik yang signifikan dari tahun 2015 ke 2022, yaitu sebesar 79 persen di Kota Medan, 16 persen di Kota Bogor, dan 93 persen di Kota Malang. Perkembangan penyedia rokok elektronik yang cukup masif ini diimbangi dengan gencarnya promosi rokok elektronik dengan menggunakan banyak influencers ternama.
Ketika influencer yang diidolakan oleh generasi muda mempromosikan produk ini, seolah dapat memperkuat persepsi bahwa penggunaan rokok elektronik adalah hal yang normal atau membangkitkan citra yang keren. Memanfaatkan popularitas influencer untuk mempromosikan produk yang berpotensi membahayakan kesehatan adalah tindakan yang tidak etis dan tidak bertanggung jawab.
Di banyak negara, praktik iklan rokok elektronik yang menggunakan influencer untuk menargetkan anak muda justru sudah termasuk pelanggaran undang-undang. Mencegah dari semakin banyaknya generasi muda yang terpapar oleh zat adiktif ini, Pemerintah perlu bertindak tegas membatasi iklan, promosi, dan sponsor di berbagai media maupun di tempat yang mudah dilihat oleh publik.
Indonesia perlu berani mengadopsi praktik baik pengaturan rokok elektronik di berbagai negara. Selandia Baru menjadi salah satu negara yang mengatur kegiatan iklan rokok, termasuk iklan rokok elektronik untuk melindungi generasi mudanya dari dampak berbahaya rokok. Tak hanya itu, China juga turut mengimplementasikan pelarangan iklan dan promosi rokok elektronik di berbagai platform, termasuk pelarangan penjualan rokok elektronik di e-commerce. Hal ini dilakukan agar publik, khususnya anak-anak tidak memiliki kemudahan aksesibilitas untuk pembelian rokok elektronik.
Begitu pun di Inggris yang mengadopsi berbagai kebijakan untuk mendorongpenduduknya mengurangi konsumsi rokok, termasuk rokok elektronik dengan melarang iklan di berbagai media. Hal ini bertujuan untuk memperkuat regulasi perlindungan kepada anak di bawah umur agar terhindari dari produk berbahaya ini. Langkah yang diambil oleh negara-negara tersebut menunjukkan bahwa upaya serius dan kebijakan yang terencana dengan baik dapat menekan prevalensi perokok dengan maksimal.
Selain isu rokok elektronik, menjelang finalisasi RPP Kesehatan ini pihak industri rokok konvensional dan rokok elektronik sedang gencar melancarkan narasi #tembakaudidzolimi terkait dengan pasal-pasal pengendalian rokok yang dituduh akan mematikan petani tembakau. Mereka menggunakan petani tembakau sebagai tameng untuk melindungi kepentingan industri rokok. Padahal bila ditelaah kembali, justru selama ini industri rokok yang lebih memilih untuk mengimpor tembakau dari luar dibandingkan menyerap produksi tembakau lokal secara maksimal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor tembakau pada periode 2017–2022 terus meningkat, di antaranya impor dari Tiongkok, Brazil, Zimbabwe, India, dan negara lainnya. Keputusan untuk memilih impor ini menjadi salah satu contoh konkret bagaimana industri rokok sendiri yang telah mendzolimi petani tembakau. Di samping itu, para petani tembakau mengaku bahwa selama tiga tahun terakhir ini penjualan tembakau mereka diberikan harga yang sangat rendah dari gudang (PKJS-UI, 2023).
Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya impor dan tata niaga tembakau yang tidak berpihak pada petani yang akhirnya merugikan dan mematikan petani tembakau dalam negeri. Oleh karenanya, RPP Kesehatan sebagai salah satu instrumen kunci untuk melindungi kesehatan masyarakat seharusnya menjadi tonggak perubahan yang utama, begitu pun dengan pasal-pasal di dalamnya yang berpihak pada kesehatan masyarakat.
Salah satu aspek krusial yang sangat diharapkan adalah melalui pasal pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau. Melalui RPP Kesehatan, konsumsi rokok yang telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat diharapkan dapat tuntas teratasi. Meskipun rokok konvensional maupun rokok elektronik adalah barang legal, namun keduanya bukanlah barang normal karena tergolong Barang Kena Cukai/BKC yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Sehingga sudah jelas bahwa kedua produk rokok ini perlu diatur lebih lanjut secara jelas, tegas, dan komprehensif untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari dampak negatif yang ditimbulkannya.
Pemerintah, dalam hal ini khususnya Kementerian Kesehatan dan Presiden, perlu hadir untuk mendukung pengendalian rokok, termasuk memperkuat aturan larangan iklan dan promosi rokok elektronik/elektrik untuk menyelamatkan anak-anak dan kaum muda dari jeratan candu rokok yang akan mengancam kualitas SDM mereka. Selain larangan iklan dan promosi, aturan mengenai kandungan perisa (flavor) dalam cairan rokok elektronik juga perlu diatur secara lebih rinci untuk menjauhkan ketertarikan kaum muda untuk mengonsumsi, adanya peringatan kesehatan bergambar alias pictorial health warning (PHW), larangan pemajangan produk di tempat penjualan, larangan penjualan melalui internet, serta penerapan larangan yang sama untuk rokok elektronik dalam Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Melalui upaya ini, diharapkan penurunan prevalensi perokok, baik anak maupun dewasa, dapat tercapai. Dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun mendatang, Indonesia akan menyongsong Indonesia Emas 2045 maka sudah sepatutnya generasi penerus bangsa dipersiapkan sejak dini dan dilindungi hak asasinya agar tercipta SDM yang sehat, unggul, berdaya saing, dan berkualitas untuk memimpin bangsa Indonesia. Begitu pun hal ini juga harus tercermin dalam tindakan tegas Pemerintah terhadap industri yang mengancam kesejahteraan rakyatnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post