Jakarta, Prohealth.id – Studi terbaru dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan terdapat tren kenaikan jumlah warung penjual rokok batangan dan penyedia rokok elektronik dalam rentang waktu 2015 dan 2022 di ketiga kota tersebut.
Renny Nurhasana selaku Peneliti PKJS-UI mengatakan bahwa hasil wawancara riset menunjukkan sebagian informan penjual warung rokok menyatakan bahwa mereka mendukung rencana Pemerintah untuk melarang penjualan rokok batangan karena warung mereka tidak sepenuhnya bergantung pada penjualan rokok.
Studi ini juga menemukan bahwa luas kelurahan dan adanya Sekolah Dasar (SD) berasosiasi positif terhadap jumlah warung rokok batangan. Sedangkan faktor signifikan pendorong penyedia rokok elektronik, yaitu luas kelurahan dan lokasi Sekolah Menengah Atas (SMA).
Adanya regulasi pengendalian rokok tingkat daerah (Perda KTR dan Perda Reklame) dapat menekan laju penjualan rokok, tetapi belum dapat menurunkan densitas penyedia rokok. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri perlu mendorong daerah untuk menegakkan larangan iklan, promosi, sponsorship, dan penjualan rokok batangan serta rokok elektronik di sekitar lokasi sekolah.
Perlu diketahui, pada akhir 2022 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengamanatkan untuk menetapkan pelarangan penjualan rokok batangan dan memperjelas ketentuan rokok elektronik yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun 2023. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 sebagai bentuk upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan telah terdapat aturan yang melarang penjualan rokok kepada anak-anak, namun kondisi di lapangan masih banyak pedagang yang belum menerapkan aturan tersebut. Warung-warung informal serta pedagang asongan masih bebas menjual rokok secara batangan tanpa memandang usia. Ditambah lagi, belum terdapat aturan yang jelas untuk mengendalikan rokok elektronik.
Dalam paparannya, Renny juga menyampaikan bahwa akibat kemudahan akses berupa lokasi penjualan rokok yang dekat dengan sekolah berkorelasi mendorong perilaku merokok pada anak-anak.
“Penelitian PKJS-UI sebelumnya di DKI Jakarta telah menemukan bahwa penjualan rokok secara batangan ini sangat masif dan tersebar padat di sekitar sekolah, dimana seharusnya hal ini tidak terjadi,” ujar Renny, Rabu (14/6/2023).
Ia menambahkan, keadaan ini juga dipicu dari harga rokok batangan yang dijual sangat murah dan pembelian rokok batangan akan membuat pembeli kehilangan momen untuk melihat gambar bahaya merokok yang tertera pada bungkusnya. Rokok elektronik bukan solusi ketika ingin berhenti dari rokok konvensional, tetapi justru dapat menyebabkan seseorang menjadi dual user (pengguna rokok konvensional dan rokok elektronik). Oleh karena itu, bukti densitas kepadatan penyedia rokok, baik rokok batangan maupun rokok elektronik, di Kota Medan, Kota Bogor, dan Kota Malang menjadi titik berangkat untuk mendorong pengendalian konsumsi rokok pada tingkat pusat maupun daerah.
Peneliti PKJS-UI lainnya, Risky Kusuma Hartono, Ph.D ikut menyampaikan beberapa poin temuan dalam studi ini. Misalnya saja, densitas warung penjual rokok batangan di Kota Medan terjadi tren kenaikan jumlah dari 2015 ke 2022 sebesar 25,6 persen. Peningkatan penjual rokok tersebut karena daerah padat penduduk dan banyak wilayah perkantoran.
Sedangkan Kota Bogor juga masih mengalami tren kenaikan jumlah warung rokok sebesar 5 persen dari 2015 ke 2022. Perda KTR di Kota Bogor menyebutkan adanya pelarangan penjualan rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun dan pembeliannya harus menunjukkan bukti identitas diri. Di samping itu, Kota Bogor tetap memerlukan dukungan untuk penegakan/enforcement yang lebih kuat karena masih ada distributor yang menjual rokok kepada anak-anak.
Namun, masih terjadi tren kenaikan penyedia rokok elektronik yang cukup signifikan di tahun 2015 ke 2022, yaitu sebesar 79 persen di Kota Medan, 16 persen di Kota Bogor, dan 93 persen di Kota Malang. Analisis spasial secara multivariat menemukan hasil, yaitu luas kelurahan dan total Sekolah Dasar (SD) berasosiasi positif terhadap jumlah warung rokok batangan dan luas kelurahan dan total Sekolah Menengah Atas (SMA) berasosiasi positif terhadap jumlah toko rokok elektronik.
Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan. Pertama, pemerintah Daerah melengkapi revisi Perda KTR atau Reklame dengan memasukkan pelarangan penjualan rokok kepada anak-anak, baik itu penjualan rokok batangan maupun rokok elektronik.
Kedua, Kementerian Dalam Negeri mendorong daerah untuk menegakkan larangan iklan, promosi, sponsorship, dan penjualan rokok batangan serta rokok elektronik di sekitar lokasi sekolah.
Ketiga, Kementerian Perdagangan mengembangkan teknis larangan penjualan rokok kepada anak, seperti penjualan dengan menunjukkan KTP, peringatan bahwa toko tidak menjual rokok kepada anak-anak, dan melarang distributor apabila menyediakan rokok batangan kepada warung.
Keempat, Dinas Kesehatan daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dapat mengoptimalkan pendanaan untuk menegakkan KTR melalui Pajak Rokok Daerah (PRD).
Kelima, Kementerian Kesehatan segera merevisi dan mendorong pengesahan regulasi pengendalian produk tembakau sampai tingkat nasional dengan melarang penjualan rokok batangan dan mendorong target Perda KTR hingga tahap implementasi.
Direktur Produk Hukum Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Drs. Makmur Marbun, M.Si menyampaikan bahwa Kemendagri telah memiliki tim percepatan regulasi KTR karena mengacu pada 1 dari 5 program Bapak Presiden terkait upaya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).
Ia menjamin, saran penelitian ini akan menjadi tugas Direktur PHD (Produk Hukum Daerah) untuk mendorong agar seluruh daerah melakukan pengaturan, baik dalam bentuk Perda, Peraturan Kepala Daerah (Perkada), atau Surat Edaran terkait dengan KTR.
“Dalam peraturan-peraturan ini diperlukan sanksi administratif dan sanksi pidana untuk mendorong keberhasilan penegakannya. Zoning dan Licensing perlu dimasukkan ke dalam revisi PP 109/2012 agar semakin merestriksi penjualan rokok, sehingga PP ini harus segera direvisi,” ujar Makmur.
Sofiyansyah, selaku Pengawasan Perdagangan Ahli Muda, Kementerian Perdagangan memberikan tanggapan bahwa hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah penguatan regulasi, di antaranya melalui revisi PP 109/2012 dan dilanjutkan melalui regulasi peraturan di bawahnya.
Pasal 25 dalam PP 109/2012 sudah menyebutkan bahwa bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau melalui; a) mesin layanan diri, b) kepada anak di bawah 18 tahun, c) kepada perempuan hamil, namun masih belum ditemukan sanksi apabila melanggar. Dalam hal ini, setiap orang yang dilarang untuk menjual produk tembakau adalah pengecer/penjual.
Sofiyansyah turut merasa bahwa perlu untuk dilakukan pengaturan pembatasan produk agar bisa lebih efektif dan efisien, sehingga ketika dalam hal memperdagangkannya, importirnya, distributornya, maupun pedagangnya terdaftar jelas (licensing).
“Ketika ada regulasi yang kuat, siapa yang akan melaksanakan dan apa yang dilakukan harus jelas. Jadi ketika ada regulasi untuk melarang, harus diikuti oleh sanksinya apa, siapa yang mengawasi, dan sebagainya, begitupun mengenai regulasi terhadap rokok elektronik”, tegas Sofiyansyah.
Penanggap riset lainnya yakni Ika Lastyaningrum, SKM., MKM, selaku Ketua Tim Kerja Bidang Promosi Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Bogor menyampaikan bahwa Dinkes Kota Bogor sudah melakukan survei penegakan KTR ini di tahun 2019. Dari hasil survei tersebut, didapat sebagian besar remaja sudah menyadari akan adanya kebijakan KTR dan mengetahui bahaya merokok.
“Harga rokok batangan ini memang relatif lebih murah dan belum ada regulasi secara khusus yang mengatur hal ini. Warung/toko rokok masih memiliki iklan rokok. Kami setiap tahun melakukan deteksi dini akibat perilaku merokok pada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Bogor. Kota Bogor terdiri dari 68 kelurahan, minimal ada 68 kali sidak KTR, serta menerapkan tindak pidana ringan (Tipiring). Anggarannya ada di Dinkes dan Satpol PP, lalu untuk monev kami melakukan di 9 kawasan,” ungkap Ika.
Selain itu, di Kota Bogor sendiri, edukasi sudah dilakukan kepada anak usia TK dan ada duta KTR di sekolah-sekolah yang sudah dilatih. Skrining dengan CO2 analyzer juga sudah dilakukan dengan mengunjungi sekolah-sekolah.
“Sejalan dengan penelitian PKJS-UI, warung rokok di Kota Bogor memang mengalami peningkatan karena berada di daerah perbatasan antara kab/kota. Kami memohon dukungan dari Pemerintah Pusat untuk kami di daerah. Jangan sampai industri rokok mengecilkan kami di daerah”, tambah Ika.
Sementara itu Ketua Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Kementerian Kesehatan, dr. Benget Saragih, M.Epid menyebutkan bahwa telah terdapat 107 negara yang melarang penjualan rokok batangan, di antaranya Kanada, Kosta Rika, Guetmala, China, Thailand, Singapura, Timor Leste.
Menurut dr. Benget, diskusi juga dengan Kemenko dan Kemendag, jangan sampai kita membuat sistemnya, namun tidak bisa diterapkan. Rencana Keppres No. 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 terkait larangan penjualan rokok batangan sudah masuk untuk diatur pada revisi PP 109/2012, tetapi masih ditunda karena saat ini sedang ada pembahasan RUU Kesehatan.
“Usulan terkait pelarangan penjualan rokok batangan ini pastinya akan mendapatkan tantangan dari beberapa pihak. Pelarangan penjualan rokok batangan ini memerlukan kerja sama multisektoral serta memerlukan sistem yang dapat diimplementasikan pengawasannya.” jelas Benget.
Penanggap terakhir, Yusran Isnaini, S.H., M.Hum selaku Tenaga Ahli Fraksi PAN Komisi VI DPR RI), mengungkapkan ada keprihatinan besar melihat maraknya dan meningkatnya penggunaan rokok di kalangan anak dan remaja. Menjadi tugas bersama, terutama pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk terus mengoptimalkan edukasi dan sosialisasi yang kreatif tentang bahaya rokok di kalangan anak dan remaja.
“Dengan begitu diharapkan upaya penerapan program KTR dapat secara efektif dijalankan oleh Pemerintah Provinsi, Daerah, maupun Kabupaten/Kota,” terangnya.
Program edukasi dan sosialisasi untuk Generasi Z sangat penting karena tidak sebanding antara cukai rokok yang diperoleh dengan risiko yang ditanggung oleh negara terhadap kondisi SDM ke depan. Perlu ada upaya dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk bekerja sama membuat dan mengharmonisasikan kebijakan pembatasan rokok bagi anak dan remaja.
“PP 109/2012 sampai sekarang belum keluar revisinya karena terlalu banyak pihak pro dan kontra. Kalau dari aspek perundang-undangan memang harus dipertimbangkan biaya maupun manfaatnya sebelum diberlakukan kepada masyarakat,” ungkap Yusran.
Sementara itu Aryana Satrya, selaku Ketua PKJS-UI, menambahkan bahwa Indonesia masih memiliki jumlah perokok anak yang tinggi bahkan dikenal dengan istilah baby smoker country karena prevalensi usia 13-15 tahun menduduki tiga besar di dunia setalah Timor Leste dan Bhutan menurut data Global Youth Tobacco Survey tahun 2019.
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya pengendalian konsumsi rokok, namun masih menghadapi beberapa tantangan, diantaranya adalah kemudahan aksesibilitas memperoleh rokok.
Ia menegaskan, dari hasil penelitian PKJSUI yang dirilis hari ini dan didukung oleh studi sebelumnya, PKJS UI menyarankan agar Pemerintah Daerah dapat bertindak dengan optimalisasi dalam implementasi Peraturan Daerah tentang KTR dan Perda tentang Reklame.
“Tidak hanya terbatas pada kenaikan cukai atau melalui Pictorial Health Warning (PHW), tetapi juga melalui pelarangan penjualan rokok secara batangan, aturan yang lebih ketat pada rokok elektronik, serta adanya pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok agar dapat menekan bahkan menurunkan prevalensi perokok anak,” tutur Aryana.
Discussion about this post