Jakarta, Prohealth.id – Dengue masih menjadi masalah di Indonesia yang cukup serius sehingga membutuhkan inovasi teknologi yang saat ini sedang diimplementasikan yaitu Wolbachia.
Sepanjang tahun 2023, tercatat ada 76.449 kasus dengue dengan 571 kasus kematian mulai dari Januari-November, walau kasus ini sudah menurun dibanding tahun lalu, tetapi masih ada kasus kematian per tahunnya. Pada tahun 2022, dilaporkan ada 143.300 dengan 1.236 kematian. Kelompok umur dengan kematian tertinggi pada rentang usia 5-14 tahun.
Kasus dengue terbilang masih cukup tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan masyarat. Karenanya perlu berbagai inovasi dilakukan untuk menekan penyebaran dengue terutama menekan angka kematian sekaligus mempercepat target eliminasi dengue tahun 2030.
Pemanfaatan teknologi Wolbachia telah dilaksanakan di sembilan negara lain dan hasilnya terbukti efektif untuk pencegahan Dengue. Adapun negara yang dimaksud adalah Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka.
Teknologi Wolbachia melengkapi strategi pengendalian yang berkasnya sudah masuk ke Strategi Nasional (Stranas). Adapun pilot project di Indonesia, dilaksanakan di lima kota yaitu; Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang, dan Kota Bontang, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.
Dikutip dari siaran resmi Kemenkes, Senin (4/12/2023), efektivitas Wolbachia sendiri telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi Yayasan Tahija. Penelitian dilakukan melaui fase persiapan dan pelepasan aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas (2011-2015).
Wolbachia ini dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk aedes aegypti, sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia. Jika aedes aegypti jantan berwolbachia kawin dengan aedes aegypti betina, maka virus dengue pada nyamuk betina akan terblok. Selain itu, jika yang ber-wolbachia adalah nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan yang tidak ber-wolbachia, maka seluruh telurnya akan mengandung wolbachia.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Maxi Rein Rondonuwu menegaskan bahwa penyebaran nyamuk ber-wolbachia dipastikan aman karena telah melalui proses penelitian yang cukup panjang dengan turut melibatkan banyak ahli.
“Penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia sudah melalui kajian dan analisis risiko dengan melibatkan 25 peneliti top Indonesia, dan hasilnya bagus, sudah diujicobakan di Yogyakarta sekitar 5-6 tahun lalu dan hasilnya sangat menggembirakan” kata dr. Maxi saat menjadi pembicara dalam temu media bertajuk “Mengatasi DBD Dengan Wolbachia” pada Jumat, 24 November 2023 lalu.
Hasil kajian dan efektivitas ini selanjutnya dikirim ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan akhirnya pada tahun 2021 nyamuk ber-wolbachia direkomendasikan oleh WHO. Kendati telah menunjukkan hasil yang baik, pelaksanaan nyamuk ber-wolbachia tetap memerlukan monitoring dan evaluasi secara berkala guna mengetahui perkembangan dari penyebaran nyamuk ber-wolbachia. Kemenkes juga telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-wolbachia di 5 kota untuk memastikan implementasi wolbachia berjalan baik sesuai dengan penelitian di Yogyakarta.
Peneliti Nyamuk Wolbachia Universitas Gadjah Mada Prof. Adi Utarini mengatakan bahwa penyebaran dengue di Kota Yogyakarta telah berjalan efektif sejak tahun 2016. Terbukti, daerah yang disebar nyamuk ber-wolbachia terbukti mampu menurunkan angka kejadian demam berdarah hingga 77 persen dan angka perawatan rumah sakit juga turun 86 persen. Bahkan, merujuk pada data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2023, kasus demam berdarah dengue tercatat hanya di angka 67 kasus. Jumlah ini merupakan yang terendah selama 30 tahun terakhir.
“Kami membandingkan kecenderungan dengue di Yogyakarta mundur 30 tahun, dari situ kami menyimpulkan memang angka kejadian dengue saat ini terendah sejak 30 tahun lalu. Hasil ini menjadi bukti penelitian di Yogyakarta sekaligus rekomendasi ke WHO untuk vector control advisory Group,” katanya.
Prof. Adi menegaskan, wolbachia adalah bakteri alami bukan rekayasa genetika. Wolbachia juga aman untuk manusia, hewan dan lingkungan. Dari sini, penyebaran nyamuk aedes aegypti yang memiliki bakteri baik wolbachia pun diperluas.
“Pelepasan (nyamuk ber-wolbachia) awalnya dilakukan dari wilayah kecil di tingkat dusun, dan di fase menentukan untuk menunjukkan bagaimana efeknya untuk penurunan dengue, akhirnya dilakukan pelepasan dalam skala luas di Kota Yogyakarta,” katanya.
Prof. Adi Utarini menambahkan, selain menurunkan angka kejadian dengue, penyebaran nyamuk ber-wolbachia disebut juga berhasil menekan anggaran penanganan dengue Kota Yogyakarta. Prof. Adi Utarini juga mengungkapkan, salah satu anggaran yang dapat ditekan adalah pembiayaan untuk fogging atau pengasapan.
“Karena tingginya kasus, fogging yang semula bisa 200 kali di tahun 2022, tapi kini bisa 9 kali di tahun ini. Penghematannya bisa sekitar Rp200-an juta, sehingga biayanya bisa di realokasi untuk hal lain,” kata Prof. Adi Utarini.
Di samping pengasapan, penurunan jumlah kasus dengue yang dirawat inap, juga diperkirakan akan menghemat biaya perawatan pasien dengue yang menggunakan BPJS Kesehatan.
“Sekitar tahun 2017-an di satu kabupaten bisa Rp8-9 miliar untuk dengue. Jadi ini bisa menjadi potensi penghematan yang besar,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani juga menegaskan adanya penurunan penyebaran dengue yang signifikan setelah adanya penerapan Wolbachia.
“Jumlah kasus di Kota Yogyakarta pada bulan Januari hingga Mei 2023 dibanding pola maksimum dan minimum di 7 tahun sebelumnya (2015 – 2022) berada di bawah garis minimum,” terang Emma.
Sigit Hartobudiono, Lurah Patangpuluhan Yogyakarta menambahkan, bahwa masyarakat pada awalnya memang ada kekhawatiran karena pemahaman dari masyarakat itu nyamuk ini dilepas kok bisa mengurangi (DBD).
“Tapi seiring berjalan dan kita sudah ada edukasi, ada sosialisasi, sekarang masyarakat justru semakin paham, bahwa sebenarnya teknologi ini untuk mengurangi DBD,” papar Sigit.
Kendati demikian, keberadaan inovasi teknologi Wolbachia tidak serta merta menghilangkan metode pencegahan dan pengendalian dengue yang telah ada di Indonesia. Masyarakat tetap diminta untuk melakukan gerakan 3M Plus seperti Menguras, Menutup, dan Mendaur ulang serta tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Menguji Keamanan Wolbachia
Entomolog Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Damayanti Buchori menegaskan bahwa penggunaan bakteri wolbachia untuk menekan demam berdarah dipastikan aman. Kesimpulan ini didapatkan usai dilakukan analisis risiko nyamuk ber-wolbachia oleh tim independen bentukan Kemenkes dan Kemenristek-Dikti pada tahun 2016 lalu. Tim independen terdiri dari 24 peneliti terbaik Indonesia dengan keahliannya masing-masing.
Prof. Damayanti menjelaskan bahwa analisis risiko ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan dampak jangka panjang dari penerapan nyamuk ber-wolbachia terhadap manusia, hewan maupun lingkungan, mengingat penerapan wolbachia untuk mengatasi demam berdarah terbilang teknologi baru.
“Tujuan dari analisa risiko ini, karena wolbachia ini adalah teknologi baru, kita kan tidak tahu dampak lingkungannya bagaimana, sehingga analisa risiko ini untuk melihat jangka panjang, apa kira-kira dampak negatif di masa depan,” kata Prof Damayanti.
Selama proses analisis risiko, para peneliti banyak mendiskusikan potensi-potensi yang mungkin akan terjadi di masa depan. Ada pun fokus diskusi menekankan pada 4 hal yakni risiko pada lingkungan, sosio-kultural dan ekonomi, managemen nyamuk dan public health.
“Pertama yang diidentifikasi adalah bahayanya. Bahaya apa yang akan terjadi di masa depan, dan itu kita identifikasi ada 56 bahaya. Kita juga tentukan waktunya. Akhirnya kita sepakat untuk memprediksi bahayanya dalam waktu 30 tahun kedepan seperti apa,” terangnya.
Hasilnya, penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia untuk menekan penyebaran virus demam berdarah aman, bahkan dalam jangka waktu 30 tahun ke depan risikonya dapat diabaikan.
“Dari matriks risiko, pada akhirnya keluarlah negligible risk, yakni penggunaan wolbachia dapat diabaikan dalam waktu 30 tahun. Namun, monitoring secara reguler perlu dilakukan untuk melihat perkembangannya,” paparnya.
Prof. Tjandra Yoga Aditama selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI yang juga menyatakan ada beberapa kaitan dengan WHO dan usulan penelitian mendatang tentang wolbachia.
Pertama, team Advisor yg ditunjuk WHO-Vector Control Advisory Group (VCAG) pada tahun 2020 sudah menyatakan bahwa pengendalian vektor nyamuk aedes aegypty dengan pendekatan dengan Wolbachia ini memang terbukti punya nilai kesehatan masyarakat (public health value) untuk menangani dengue, a.l. berdasar penelitian randomized case control trial (RCT) yang dilakukan di DI Yogyakarta.
Kedua, perlu diketahui bahwa, Vector Control Advisory Group (VCAG) adalah tim pakar yang dibentuk oleh WHO, yang tugasnya memberi masukan kepada WHO.
“Jadi VCAG bukanlah penentu kebijakan WHO secara langsung, tugasnya mengkaji secara ilmiah mendalam dan lalu memberi masukan serta mendukung WHO dalam formulasi programnya,” tutur Prof. Yoga.
Ketiga, team Advisor VCAG ini pada 2020 itu merekomendasikan WHO memulai (initiate) proses pembentukan guideline untuk memformulasi rekomendasi penggunaannya pada pengendalian dengue.
“Jadi memang belum disebutkan tentang penerapan langsung saat ini. Hal ini tergambar juga dalam laman WHO tentang dengue terbaru tahun 2023 ini yang memang pendekatan wolbachia belum secara eksplisit disebut dalam program penanggulangan resmi WHO kini,” ungkapnya.
Maka, untuk jangka depan ia mengusulkan tiga hal. Pertama, sangat perlu dibenahi maksimal bentuk sosialisasi ke masyarakat, agar penolakan dan resistensi masyarakat dapat dikendalikan dengan baik.
“Ini sangat penting dan merupakan suatu hal utama dalam kesuksesan program, kalau memang ingin dijalankan.”
Kedua, sejak sekarang perlu diantisipasi tentang aspek logistik yaitu pengadaan nyamuk berwolbachia ini dalam jumlah yang besar. Tanpa persiapan logistik maka hasil tidak akan tercapai optimal.
“Usul saya ke tiga, perlu dilakukan penelitian jangka panjang, a.l. tentang dampak paparan wolbachia yang relatif homolog pada variasi ekologi (dan epidemiologi) yang kenyatannya ada di alam, hal ini sesuai publikasi di jurnal ilmiah internasional Lancet bulan Oktober ini tentang ‘pisau bermata dua’, dari pendekatan dengan nyamuk berwolbachia ini,” tuturnya.
Hal kelima, pendekatan Wolbachia memang terbukti punya nilai kesehatan masyarakat yang bermanfaat dalam pengendalian dengue.
Walau demikian, masyarakat harus menyadari dua catatan penting. Pertama, pendekatan dengan nyamuk berwolbachia ini bukanlah silver bullet dalam pengendalian dengue. Hal ini juga disampaikan oleh badan pengendalian lingkungan (National Environmental Agency) Singapura beberapa waktu yang lalu.
Hal kedua yang perlu di catat adalah bahwa pengendalian dengue dengan nyamuk berwolbachia tidak dapat dilakukan sendiri saja, harus bersama dengan program pengendalian vektor yang lain, dalam koridor bersama yang tercakup dalam integrated vector management (IVM).
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria FK Lawi
Discussion about this post