Jakarta, Prohealth.id – Untuk mengendalikan masalah polusi udara, perlu ada peraturan yang lebih ketat di kompleks pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya, Banten. Aturan yang ketat diharapkan bisa mencegah lebih dari 1000 kematian dan menghemati triliunan rupiah.
Hal ini dibenarkan melalui Penilaian dampak kesehatan (HIA) baru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan bahwa polusi udara dari kompleks PLTU batu bara Suralaya – Banten yang terletak di pulau Jawa, Indonesia, memiliki dampak yang buruk terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Polusi udara dari kompleks PLTU Suralaya–Banten mencapai kota Serang, Cilegon, dan Jakarta, yang telah mengalami krisis polusi udara selama bertahun-tahun.
Jamie Kelly, Analis Mutu Udara di CREA menjelaskan melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (12/9/2023) bahwa partikel halus (PM2.5) dari pembakaran batu bara di sekitarnya berkontribusi terhadap lonjakan polusi udara tahunan di Jakarta, termasuk dari kompleks Banten-Surabaya, dan memiliki dampak yang buruk bagi penduduk di seluruh wilayah barat laut Jawa.
Pembakaran batu bara pada PLTU batu bara seperti di kompleks PLTU Suralaya – Banten menimbulkan polusi udara yang terdiri dari partikel halus (PM2.5), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozon (O3), yang semuanya dapat menyebar dalam jarak jauh dan menyebabkan penyakit pada manusia, mulai dari batuk kronis seperti yang dialami oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada musim panas ini, hingga kematian.
Di Indonesia, rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan terkadang melebihi 50 μg m-3, yang dengan kata lain melanggar pedoman WHO terkait batas tahunan sebesar 5 μg m-3 dengan faktor 10.
Penilaian dampak kesehatan (HIA) yang dilakukan CREA menemukan bahwa jika standar nasional untuk PLTU batu bara ditegakkan, dampak tersebut di atas dapat dikurangi, dan jika teknologi terbaik yang tersedia (BAT) diterapkan, pengaruhnya mungkin akan lebih besar.
Apabila standar nasional ditegakkan, polusi udara akan berkurang, mencegah hingga 97-268 kematian, 141–300 kunjungan ke unit gawat darurat, 17–236 kasus asma baru pada anak, 74–157 kelahiran prematur, 48–103 kelahiran dengan berat badan lahir kurang, dan 59.000–125.000 ketidakhadiran kerja. Penurunan kerugian kesehatan ini akan menghemat perekonomian Indonesia sebesar Rp0,940–2,6 triliun atau setara dengan US$70–190 juta.
Namun, James menambahkan, jika teknologi terbaik yang tersedia (BAT) untuk pengendalian emisi juga diterapkan di kompleks PLTU Suralaya – Banten, rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan akan turun menjadi kurang dari 0,2 μg m-3 dan dapat menyelamatkan hingga 1.527 nyawa setiap tahunnya. Penerapan teknologi terbaik yang tersedia (BAT) juga dapat mencegah hingga 1.642–1.792 kunjungan ke unit gawat darurat, 932–1.164 kasus asma baru pada anak, 853–942 kelahiran prematur, 561–615 kelahiran dengan berat badan lahir kurang, dan 680.000–746.000 ketidakhadiran kerja setiap tahunnya. Semua ini dapat berarti adanya potensi keuntungan ekonomi sebesar Rp14.7 triliun atau setara dengan US$1,08 miliar.
Banyaknya jumlah PLTU di Indonesia, lokasinya yang dekat dengan perkotaan, dan kurangnya penerapan pengendalian emisi, memberikan kontribusi signifikan terhadap salah satu krisis polusi udara paling serius di dunia, yang membawa dampak besar bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia.
“Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang lebih serius untuk mengatasi emisi dari PLTU batu bara. Sangat penting untuk menegakkan kepatuhan terhadap standar, menerapkan teknologi terbaik yang tersedia (BAT), dan pada akhirnya menggantinya dengan sumber energi terbarukan sesegera mungkin,’ ucap Jamie Kelly.
Namun, dalam masalah polusi udara, dalam satu bulan terakhir pemerintah berupaya mengesampingkan kontribusi PLTU batu bara terhadap polusi udara. Misalnya, pemerintah menerapkan kebijakan work from home (WFH) di Jakarta untuk mengurangi polusi udara dari kendaraan komuter. Selain itu, klaim bahwa pertumbuhan dan pembangunan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, justru harus dibayar mahal oleh negara. Jakarta dan sekitarnya kini kian melemah akibat polusi udara yang menyesakkan dan tertundanya Kemitraan Transisi Energi yang Adil alias Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar yang dimaksudkan untuk membantu Indonesia dalam transisi ramah lingkungan, banyaknya PLTU batu bara di Indonesia yang terus mengeluarkan polusi udara tanpa henti hingga merugikan negara.
Meskipun demikian sektor pembangkit listrik bertenaga bahan bakar fosil seperti batubara terus dikembangkan guna memenuhi kebutuhan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini, akibatnya mutu udara di Indonesia pun kian buruk sehingga sangat mempengaruhi kesehatan penduduk dan ekonomi negara, yang berkontribusi terhadap pengurangan angka harapan hidup hingga lima tahun serta merugikan Indonesia sebesar lebih dari US$220 miliar setiap tahunnya.
Sementara itu, Lauri Myllyvirta, Analis Utama CREA mengingatkan meskipun Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) Indonesia, yang akan mengucurkan dana sebesar US$20 miliar untuk transisi ramah lingkungan di Indonesia, mengalami penundaan, maish terdapat langkah-langkah terjangkau yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi polusi udara dari PLTU batu bara tanpa penundaan lebih lanjut.
Pertama, mengganti PLTU batu bara dengan sumber energi terbarukan. Kedua, mewajibkan penerapan langkah-langkah pengendalian polusi udara.
Ketiga, menetapkan batas yang ambisius pada konsentrasi gas buang polutan dan memastikan penerapannya. Keempat, mewajibkan publikasi emisi industri dengan dokumentasi dan metodologi yang transparan.
Lauri menyebut, Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) adalah langkah penting yang diambil pemerintah Indonesia menuju pencapaian komitmen iklimnya. Namun, polusi udara dari PLTU batu bara akan terus menimbulkan dampak kesehatan yang signifikan hingga Indonesia sepenuhnya beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.
“Pemerintah Indonesia tidak boleh menunda penerapan langkah-langkah pengendalian polusi udara yang sangat mudah dilakukan untuk melindungi perekonomian dan seluruh masyarakat dari dampak PLTU batu bara,” ungkap Lauri.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post