Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Ari Fakrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB mengatakan polusi udara dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Karena itu, diseminasi informasi mengenai polusi udara dan dampaknya perlu dilakukan agar masyarakat dapat mengindentifikasi dan melakukan mitigasi terkait masalah kesehatan dan bagaimana menegatasi serta mencegahnya.
“Di satu sisi, pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah perlu membuat kebijakan yang secara signifikan dapat membuat polusi udara menurun. Isu ini semakin kental karena batuk kronik yang dialami Presiden Joko Widodo bahkan disebut disebabkan oleh polusi,” katanya dalam webinar Tinjauan Guru Besar FKUI: Dampak Polusi Udara pada Kesehatan yang dilaksanakan secara daring pada Kamis (24/8/2023) lalu.
Ari mengatakan polusi udara tidak hanya berdampak pada kesehatan organ paru-paru, tetapi juga dapat berdampak pada organ-organ tubuh lainnya. Dia mencontohkan merokok yang tidak hanya berdampak pada paru-paru dan saluran pernafasan manusia. Seseorang dengan gangguan pencernaan, rokok yang dihisap juga dapat berdampak pada kesehatan pencernaannya. Rokok dapat menyebabkan kerusakan pada lambung dan organ-organ pencernaan lainnya.
Polusi udara juga dapat mengotori makanan yang dijual di pinggir jalan kemudian dikonsumsi oleh seseorang. Makanan yang terkena polutan melalui polusi udara dapat mempengaruhi mikrobiota usus. Dampaknya, dalam jangka panjang seseorang dapat terkena berbagai penyakit seperti diabetes, obesitas, gangguan metabolisme, kanker usus, dan lain-lain.
“Dalam jangka pendek, seseorang dapat terkena diare. Dalam jangka panjang, diare dapat menyebabkan radang usus,” jelasnya.
Dampak polusi udara yang tidak hanya terjadi pada saluran pernafasan juga dikatakan oleh Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K). Menurut Bambang, polusi udara dapat berdampak dari ujung rambut hingga ujung kaki. Polusi udara dapat berdampak pada kulit, paru-paru, pankreas, jantung, dan organ dalam lainnya.
“Dampaknya bisa jangka pendek, bisa jangka panjang. Dampaknya pada orang dewasa bisa saja berat, apalagi pada anak-anak, bisa lebih berat. Polusi udara bahkan bisa berdampak pada kesehatan janin ketika ibu hamil menghirup udara kotor,” katanya.
Bambang mengatakan polusi udara dapat terjadi karena berbagai sebab, misalnya asap kendaraan, asap industri, hingga asap rokok. Zat polutan yang dapat dihirup dan masuk ke dalam tubuh manusia biasanya yang berukuran di bawah 10 mikron. Di atas 10 mikron, polutan yang masuk biasanya akan tersaring oleh bulu-bulu hidung sehingga menyebabkan kotoran hidung.
Polutan yang berbahaya bila berukuran 2,5 mikron atau lebih kecil karena dapat menembus ujung saluran pernafasan, yaitu alveolus, yang dapat menyebabkan penyakit berbahaya. Dampaknya dapat lebih berat pada seseorang dengan riwayat penyakit asma.
“Seseorang dengan riwayat asma dapat beraktivitas, bahkan menjadi olahragawan. Bila dikontrol dengan obat, asmanya bisa dikendalikan. Yang harus diwaspadai bila ada faktor pencetus yang dapat menyebabkan serangan asma. Polusi dapat menjadi faktor pemicu serangan asma dan bahkan dapat berdampak lebih berat,” tuturnya.
Beberapa hal yang selama ini kerap disebut-sebut menjadi penyebab polusi adalah asap pembuangan kendaraan bermotor, asap industri, serta pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara. Prof. Dr. dr. Muchtaruddin Mansyur, M.S,PKK,SpOk, Ph.D mengatakan teknologi yang dikembangkan di Indonesia sebenarnya sudah cukup maju untuk mencegah polusi.
“Masalahnya bagaimana pengawasan supaya upaya mencegah polusi dilakukan seperti misalnya uji emisi pada kendaraan bermotor. Teknologi untuk mencegah polusi sudah ada, tetapi tidak digunakan dan diawasi. Ini tantangannya, apakah para pelaku sumber polusi sudah melaksanakan Upaya pencegahan polusi,” katanya.
Muchtar mengatakan wilayah Jakarta dan sekitarnya cukup konsisten pada kondisi udara yang tidak sehat hingga berbahaya. Masyarakat perlu mengetahui lokasi mana saja yang tinggi polusi udara dan membatasi untuk keluar rumah. Selain itu, penting untuk mengamati gejala-gejala yang muncul pada tubuh seperti batuk, sesak nafas, dan jantung berdebar. Kelompok rentan seperti seseorang dengan penyakit kronik dan lanjut usia perlu mempertimbangkan untuk membatasi aktivitas fisik di luar ruangan.
Kebijakan bekerja dari rumah yang diwacanakan pemerintah dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi polusi dan mengurangi dampak polusi bagi masyarakat. Dengan bekerja dari rumah, para pekerja tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju tempat kerja. Dengan tetap berada di rumah, para pekerja juga dapat terlindungi dari paparan polusi udara.
“Perlu proaktif untuk mengatasi masalah polusi udara. Teruskan perilaku hidup sehat dan bersih dengan menjaga kebersihan diri termasuk mencuci tangan, menjaga asupan gizi seimbang, tetap melakukan aktivitas fisik yang cukup, serta tidak merokok,” tuturnya.
Direktur Utama Rumah Sakit Persahabatan Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) FISR, FIAPSR mengatakan polusi udara adalah akumulasi bahan berbahaya di udara. Pada dasarnya selalu ada zat polutan di udara, tetapi baru disebut polusi udara bila ada akumulasi zat polutan di atas ambang batas normal.
Polusi udara dapat terjadi di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Polusi udara juga dapat lebih spesifik terjadi di tempat kerja. Polusi udara di luar ruangan dapat bersifat alami, bisa juga karena aktivitas manusia seperti industri dan kendaraan bermotor. Polusi udara juga dapat terjadi di dalam ruangan yang berasal dari asap rokok, aktivitas memasak, alat pendingin udara, alat elektronik, bahkan polusi udara dari luar ruangan yang masuk ke dalam ruangan.
Menurut Agus, cara sederhana untuk menilai kualitas udara adalah dengan penglihatan dengan menilai level partikel. Bila kita bisa melihat objek berjarak di atas 15 kilometer, maka kualitas udara baik dan bila pandangan kita 10 kilometer hingga 14 kilometer maka kualitas udara sedang. Bila pandangan terbatas empat kilometer hingga sembilan kilometer berarti kualitas udara tidak sehat untuk orang yang sensitif dan bila pandangan hanya 2,5 kilometer hingga empat kilometer maka kualitas udara tidak sehat.
“Jadi bila ada gedung berjarak 2,5 kilometer di depan kita tidak terlihat, maka kualitas udara tidak sehat. Bila penglihatan hanya 1,5 kilometer hingga 2,4 kilometer maka kualitas udara sangat tidak sehat dan bila kurang dari 1,4 kilometer maka kualitas udara berbahaya,” jelasnya.
Tangani di Hulu
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prof. Tjandra Yoga Aditama masalah polusi udara di Jakarta dan sekitarnya harus ditangani di hulu. Di sisi lain masyarakat yang sudah “terpaksa” menghirup udara kotor perlu mendapatkan pelayanan Kesehatan yang maksimal.
“Selain penanganan di hulu yang utama, perlu ada layanan di hilir tentang kesehatan masyarakat melalui jaringan puskesmas yang lengkap yang ada di Jakarta dan sekitarnya,” tuturnya.
Yoga mengatakan penanganan di hulu perlu dilakukan pemerintah dengan melakukan identifikasi faktor penyebab dan segera mengatasinya. Apa pun dan bagaimana pun cara yang dilakukan perlu dilakukan, harus segera ada tindakan yang berdampak nyata tanpa perlu mengorbankan masyarakat.
Terkait pelayanan kesehatan di hilir, Yoga mengusulkan tujuh langkah yang dapat dilakukan oleh jaringan puskesmas.
Pertama, aktifkan “sanitary kit” di puskesmas untuk menilai kualitas udara setempat sehingga akan ada data polusi udara per kecamatan bahkan kelurahan, meskipun mungkin tidak lengkap dan sempurna.
Kedua, aktifkan kembali kegiatan “practical approach on lung health” (PAL) yang digagas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena dapat berpedan dalam deteksi, evaluasi, dan tindakan kesehatan paru di lapangan.
“Saya kira Puskesmas di Jakarta dan sekitarnya sudah mengenal PAL, tinggal mengaktifkannya saja,” ujarnya.
Ketiga, surveilan keluhan respirasi dan lain-lain, baik dalam gedung puskesmas, di lapangan wilayah kerjanya, maupun oleh kader, perlu terus dijaga dan ada tindak lanjut segera bila data menunjukkan tren peningkatan.
Keempat, promosi kesehatan melalui komunikasi informasi edukasi (KIE) jelas harus ditingkatkan, baik tentang berbagai kemungkinan dampak kesehatan maupun akses informasi polutan setempat.
Kelima, beri perhatian khusus kepada pasien-pasien penyakit kronik yang biasanya di tangani Puskesmas. Bila mungkin, hubungi untuk tanya keadaannya, berikan layanan telemedisin, diminta datang ke Puskesmas, atau dilakukan kunjungan rumah.
Keenam, bila ada peningkatan kasus ISPA, maka Puskesmas memberi pengobatan yang baik. Bila perlu dilakukan rujukan ke RSUD DKI Jakarta atau RS lainnya. Ketujuh, perlu dibuat semacam “Pojok Polusi” di semua puskemas yang dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang berbagai aspek polusi udara di wilayahnya.
Discussion about this post