Lidah yang asam, dan tenggorokan yang sakit telah dirasakan olehlisa Sutanudjaja dari Koalisi Ibu Kota selama beberapa minggu terakhir. Pemicunya diduga adalah polusi udara. Bagaimana tidak, Elisa yang sehari-hari hanya mengandalkan transportasi public merasakan dampak besar dari polusi terhadap kesehatannya.
“Mata jadi lebih mudah terasa perih Ketika berjalan kaki. Meski saya memakai masker, saya masih merasakan ludah ada rasa asam, dan tenggorokan agak sakit meskipun saya tidak makan sesuatu yang berlebih,” ujar Elisa dalam XSpace CISDI pada 25 Agustus 2023.
Ia juga menyebut, belakangan ini sudah tidak sanggup berlama-lama mengakses kendaraan umum. Misalnya, jika menunggu Transjakarta terlalu lama, dia kini beralih ke taksi agar tidak terlalu lama menghabiskan waktu di jalan.
“Kalau saya masih bisa naik taksi, tapi belum tentu orang lain bisa melakukan itu. Buat orang yang tidak ada pilihan harus berlama-lama dan terpapar polusi,” tuturnya.
Ketua Kelompok Kerja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. Erlina Burhan yang juga dokter spesialis paru RSUP Persahabatan membenarkan terjadi peningkatan kasus infeksi pernapasan atau khususnya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dalam pendataan RSUP Persahabatan. Sementara dari pengalaman pribadi ketika dr. Erlina berpraktek di rumah. Ia bersaksi, bahwa biasanya dr. Erlina kedatangan pasien tuberkulosis (TB) atau asma yang kontrol.
“Beberapa bulan ini ada peningkatan pasien dengan serangan batuk, sesak, atau asma. Biasanya asma terkontrol, jarang datang. Belakangan kunjungannya jadi sering,” tuturnya menjelaskan nasib kelompok rentan di tengah gempuran polusi udara.
Rata-rata keluhan pasien lama maupun pasien baru adalah durasi batuk yang terlalu lama, berulang, dan rata-rata terjadi tiba-tiba akibat polusi udara. Ia juga menyoroti masih ramainya aktivitas outdoor seperti car free day sampai marathon tanpa upaya mengecek kualitas udara secara harian.
Untuk itu selain regulasi yang seharusnya ideal untuk pengendalian polusi udara, dr. Erlina menekankan pentingnya edukasi untuk masyarakat yang tidak terlalu peka terhadap polusi udara.
“Masyarakat kita bahkan tidak terbiasa melakukan atau memantau kondisi kualitas udara. Untuk menggunakan smartphone mengidentifikasi kualitas udara dengan warna, itu belum optimal juga,” tuturnya.
Kerugian Ekonomi dan Kesehatan
Harus diakui berdasarkan penelitian dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Juli 2023 lalu yang berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia, Upaya menghentikan masalah polusi udara adalah menghentikan proyek PLTU batubara.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan, penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2040 diperlukan untuk memenuhi target Persetujuan Paris, berdasarkan Badan Energi Internasional (IEA). Indonesia saat ini menargetkan penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2050, dengan beberapa pengecualian.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana mereka untuk membangun pembangkit listrik baru dan segera mengambil tindakan untuk beralih ke pembangkit energi terbarukan. Peralihan ini akan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang signifikan.
Fabby memerinci, pada pertemuan puncak G20 tahun lalu, Indonesia menandatangani pernyataan bersama Just Energy Transition Partnership (JETP), yang berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dengan nilai absolut 290 juta ton CO2e. Untuk mencapai target ini, Indonesia harus menghentikan sekitar 9 GW pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini.
“Namun demikian, diperlukan kepastian strategi mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya untuk PLTU batubara yang belum mencapai waktu penonaktifannya. Penerapan strategi ini harus menjadi bagian integral dari solusi untuk transisi energi yang berkeadilan,” ujar Fabby dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Sabtu (27/8/2023).
Penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik health impact assessments (HIA). Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batubara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU batubara yang paling berpolusi terlebih dahulu.
Emisi polutan udara dari PLTU batubara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada tahun 2022 dan biaya kesehatan sebesar US$7,4 miliar menurut hasil penelitian tersebut. Dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batubara yang baru.
Pembangkitan energi dari PLTU batubara akan meningkat selama satu dekade ke depan, kecuali jika pertumbuhan pembangkit listrik bersih dipercepat untuk memenuhi pertumbuhan permintaan. Penghentian PLTU batubara membutuhkan investasi awal.
Biaya kesehatan yang dihindari dari penghentian PLTU batubara yang lebih cepat pada tahun 2040, akan mencapai US$130 miliar setara dengan Rp1.930 triliun, sementara investasi sebesar US$32 miliar setara dengan Rp 450 triliun diperlukan untuk merealisasikan penghentian pengoperasian PLTU batubara, sehingga investasi ini akan sangat menguntungkan bagi seluruh masyarakat.
Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan, penelitian ini memberikan daftar PLTU batubara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit, yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai metrik tambahan untuk dipertimbangkan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik.
“Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP), di mana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut,” ujarnya.
Raditya yang juga merupakan salah satu kontributor dalam laporan ini menjelaskan bahwa besarnya dampak kesehatan masyarakat terjadi karena seluruh PLTU batubara tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien untuk polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri, mengingat standar emisi nasional yang lemah. Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut.
Sementara itu, Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan tersebut dan Analis Utama CREA menambahkan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batubara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi.
“Biaya kesehatan yang dihindari dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya,” sambungnya.
Tentang Penelitian Analisis dilakukan dengan (1) mengembangkan inventarisasi emisi PLTU batubara di Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya; (2) mensimulasikan penyebaran polusi dari PLTU batubara dengan menggunakan pemodelan atmosfer yang terperinci; (3) mengukur dampak kesehatan akibat polusi udara yang dihasilkan dari perubahan konsentrasi polutan di udara; dan (4) menilai dampak kesehatan dalam bentuk uang dengan menggunakan biaya ekonomi per kasus dari hasil kesehatan yang berbeda yang dikumpulkan dari berbagai literatur dan ditransfer ke tingkat pendapatan dan PDB per kapita di Indonesia.
Simpang siur Data Polusi Udara
Berdasarkan data indeks kualitas udara (AQI), Jakarta berada di angka 170 atau masuk dalam kategori tidak sehat. Posisi ini memang tidak tetap, namun identifikasi kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya tidak banyak berubah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) polusi ini disebabkan oleh polutan PM2.5 yang adalah partikel udara berukuran lebih kecil atau sama dengan 2.5 mikrometer. Partikel 2.5 ini termasuk debu, jelaga, kotoran, asap, dan tetesan cair yang hanya dilihat dengan mikroskop elektron.
Faris Adnan Fadillah, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR menjelaskan bahwa studi IESR polusi udara disebabkan oleh PLTU batubara, sektor transportasi, industri, juga sektor agrikultur yang menggunakan pembakaran. Belum lagi efek angin timur yang bergerak dari timur ke arah Jakarta.
“Untuk transisi energi sebenarnya masih mungkin. Kita bisa 100 persen menggunakan energi bersih dari PLTS dan PLTB. Kita sadari juga bahwa kita ada di daerah khatulistiwa, punya penyinaran yang lebih banyak dibandingkan negara yang punya 4 musim. Maka ini bisa jadi kesempatan mendorong penggunaan renewable energy,” tuturnya.
Ivan S. Jayawan, PhD selaku Environmental Health Engineer dari University of Michigan menyatakan kontribusi yang mayoritas penyumbang polusi seharusnya menjadi sasaran utama untuk dikendalikan.
“Data ini juga yang kita pakai acuannya masih 2019, ada selang 3 tahun lebih sehingga bisa jadi contributor utama polusi udara ini sudah berubah,” ujar Ivan.
Oswar Mungkasa selaku Fungsional Perencana Utama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan pentingnya untuk mengumpulkan data terbaru dan merumuskan solusi mengatasi polusi udara. Ia berkaca dari kasus di Beijing yang saat 2017, dia pernah melihat sendiri polusi udara yang membuat pandangan masyarakat terhalang oleh pekatnya polusi.
“Maka menjadi penting belajar misalnya dari Beijing. Sekarang Beijing sudah bersih dan cerah,” tuturnya.
Untuk itu kata Oswar sebenarnya sudah ada draf dari pemerintah yaitu grand desain mengendalikan polusi udara. Sayangnya draf itu tidak dikerjakan secara serentak oleh semua pihak. “Makanya sebenarnya sangat penting kolaborasi pemerintah dengan semua elemen masyarakat, pemerintah daerah lintas wilayah, biar berjalan pengendaliannya secara sinergis,” tuturnya.
Menanggapi dinamika tersebut, Diah Satyani Saminarsih, Founder and Chief Executive Officer Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan saat ini penting untuk bisa menyelesaikan masalah polusi udara. Ia menilai kondisi saat ini terjadi karena adanya masalah dampak kesehatan berjangka panjang, namun proses pembangunan masyarakat selama ini belum optimal memitigasi masalah tersebut.
“Maka penting merumuskan solusi atas masalah ini juga berjangka panjang,” tuturnya.
Discussion about this post