Jakarta, Prohealth.id – Rina (bukan nama sebenarnya) melewatkan makan siang yang tersedia dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan memilih menghabiskan bekal yang disiapkan ibunya.
“Aku jarang ambil. Kadang dikasih ke temen yang mau. Soalnya, nggak selera. Kering. Tadi aja apelnya nggak kemakan, kayak masih mentah. Keras, nggak enak,” kata Rina, salah satu siswa di Jakarta. Salah satu teman Rina menimpali bahwa Ia pernah menemukan ada ulat di buah atau sayur kacang.
Keluhan soal kualitas makanan bukan sekadar cerita ringan di antara siswa. Program MBG di Cianjur telah menyebabkan puluhan siswa mengalami keracunan massal di dua sekolah – MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur -. Mereka mengeluhkan mual, pusing, hingga muntah-muntah setelah menyantap makan siang MBG. Hasil uji laboratorium menemukan dua jenis bakteri yang berbahaya, yaitu Staphylococcus sp dan Escherichia coli—di dalam makanan, muntahan korban, bahkan di ompreng atau wadah makan yang digunakan.
Program MBG menjadi prioritas pemerintah Prabowo-Gibran sebagai intervensi negara untuk mengatasi gizi buruk dan stunting. Namun, program ini malah bisa membahayakan nyawa siswa karena kualitas makanan dan pelaksanaan.
Selain permasalahan mutu makanan, MBG juga menimbulkan persoalan baru bagi siswa dan guru, potensi intimidasi dari TNI, hingga potensi korupsi.
Bukan Makanan Bergizi
Berdasarkan hasil pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan FIAN Indonesia, program MBG memiliki rentetan persoalan yang serius, mulai dari makanan tak layak konsumsi, keterlambatan distribusi, keterlibatan aparat militer, tidak adanya standar gizi yang jelas, hingga minimnya transparansi.
“Alih-alih menyelesaikan masalah gizi, ini justru berpotensi jadi pemborosan anggaran,” ujar Eva Nurcahyani, peneliti ICW. Ia menyebutkan banyak makanan yang dibuang siswa dan guru karena tidak layak makan. “Padahal anak-anak butuh asupan yang layak dan menyenangkan. Ini soal hak dasar mereka,” tegas Eva.
Lebih lanjut, ICW menemukan kasus makanan basi, buah mentah, hingga temuan mengkhawatirkan seperti ulat dalam kacang panjang. Menu yang disajikan pun monoton: telur dan tempe yang diolah berulang-ulang, kadang tak ada daging sama sekali.
Rina mengatakan bahwa satu-satunya makanan yang paling enak, yaitu daging serundeng disajikan adalah saat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka datang ke sekolah. “Aku masih ingat banget, waktu Pak Gibran datang ke sekolah, makanannya beda. Ada ayam serundeng. Wangi dan enak,” kenang Rina sambil tersenyum tipis. “Tapi, itu cuma sekali yang aku inget enak. Selebihnya ya begitu-begitu aja.”
Eva menambahkan banyak makanan yang tidak dimakan, bahkan dibuang. “Alih-alih menyelesaikan masalah gizi, ini justru berpotensi jadi pemborosan anggaran,” tandasnya.
Ahmad Martin Hadiwinata, koordinator FIAN Indonesia, narasi publik tentang program MBG terlalu fokus pada efisiensi dan teknis pengadaan, bukan pada prinsip keadilan dan hak asasi.
“Kalau kita bicara soal MBG sebagai program pengentasan stunting, maka standar gizinya harus jelas. Tapi kenyataannya, banyak makanan yang diberikan tidak memenuhi itu. Ada yang basi, ada yang tidak dimakan dan akhirnya dibuang. Efeknya bukan hanya mubazir, tapi jadi kontra-produktif,” katanya. “Pangan itu bukan sekadar perut kenyang. Ini tentang martabat manusia, tentang kesetaraan layanan negara bagi warganya.”
Tidak Merata dan Transparan
Lebih lanjut, ICW menyoroti bahwa tak semua sekolah mendapatkan program ini secara merata. Beberapa sekolah yang menjadi proyek uji coba malah tidak lagi menerima bantuan saat program resmi digulirkan. Ironisnya, pihak sekolah maupun penyedia makanan mengaku tidak tahu alasan atau dasar pemilihan sekolah penerima.
“Tidak ada transparansi. Bahkan, kriteria pemilihan mitra penyedia makanan juga tidak dibuka ke publik,” kata Eva. “Siapa yang menentukan? Apa proses verifikasinya? Ini menyangkut uang negara dan nasib anak-anak kita.”
Dalam beberapa kasus, ICW bahkan menemukan mitra penyedia makanan belum dibayar karena adanya tumpang tindih penunjukan pihak ketiga yang tidak transparan. Situasi ini menimbulkan kegamangan di lapangan dan merugikan banyak pihak.
Salah satu contoh adalah kasus Ira Mesra, pemilik mitra dapur MBG yang melaporkan yayasan MBN selaku mitra program MBG, karena tidak mendapatkan pembayaran sepeser pun selama menjalankan program MBG sejak Februari 2025.
Perselisihan muncul ketika Ira menemukan adanya perbedaan nilai kontrak porsi makanan, yang semula disepakati Rp15.000, namun sebagian dikurangi menjadi Rp13.000, bahkan dipotong lagi Rp2.500 per porsi oleh pihak yayasan. Belakangan, Ira baru mengetahui bahwa pencairan dana tahap pertama senilai Rp386 juta sebenarnya sudah dikirimkan ke yayasan, namun tak sepeser pun disalurkan kepadanya.
Menurut Danna Harly Putra, kuasa hukum Ira Mesra, kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan program MBG dan besarnya ruang manipulasi oleh oknum. “Kami harap pemerintah membuka tempat aduan resmi, karena saya yakin Ibu Ira bukan satu-satunya korban,” kata Harly, dalam konferensi pers, 15 April 2025.
Berubahnya ekosistem sekolah
Program MBG juga membawa efek domino di dalam ekosistem sekolah. Guru yang sebelumnya fokus pada proses belajar kini harus mengatur waktu untuk mengawasi distribusi makanan. Beban administratif bertambah, konsentrasi mengajar terganggu. Ketika makanan terlambat datang, siswa harus menunggu hingga jam pulang. Guru ikut tertahan.
“Sudah waktunya anak pulang, makanan baru datang. Kami jadi memundurkan waktu kepulangan,” terang Rahmi, salah seorang guru SMA 11 Jakarta Timur yang bertugas sebagai wakil PIC program MBG di sekolahnya (14/04).
Rina mengatakan kalau mereka pernah telat pulang karena harus menunggu MBG tiba. “Dia [Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi/SPPG] yang terlambat, kita yang harus telat pulang juga. Kata guru, nggak enak, kalo nggak ditunggu nanti siapa yang makan,” tambah Rina. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa distribusi juga tidak merata. “Pernah waktu itu katanya kelas 12 nggak dapet karena dianggap udah besar,” cerita Rina. “Nggak tahu itu serius atau bercanda.”
Ditambah lagi ada kebijakan tray hilang yang dibebankan ke murid. Di sekolah Rina, bila satu tray hilang, satu kelas wajib patungan untuk menggantinya sebesar Rp80.000. “Berat buat kita dan sekolah. Mending [program MBG] nggak usah aja, kalau kayak gini,” kata Rina di akhir percakapan. “Daripada anggarannya malah terbuang.”
Lebih lanjut, ICW juga menemukan keterlibatan TNI dalam distribusi MBG di beberapa sekolah. Dalam konteks perlindungan anak, hal ini menjadi pertanyaan besar atas hak anak untuk ruang aman dan tidak intimidatif bagi mereka.
“Iya, kadang-kadang dalam sebulan mereka datang sekali atau dua kali. Mengawasi anak-anak makan,” kata Catharina Yenny, Kepala Sekolah SDN Pulogebang 07, salah satu SD yang telah menjalankan program MBG selama kurang lebih enam bulan (14/04).
Eva Nurcahyani, peneliti ICW, menegaskan bahwa kehadiran aparat berseragam militer di lingkungan sekolah mencederai prinsip perlindungan anak dan bisa memberi tekanan psikologis.
Bukan Sekadar Urusan Logistik
Ahmad Martin Hadiwinata, koordinator FIAN Indonesia menegaskan masalah MBG bukan semata soal logistik atau teknis. Ini menyangkut hak konstitusional atas pangan yang layak dan bermartabat. “Program ini sejak awal cacat secara perencanaan,” ujar Martin. “Tidak ada partisipasi publik yang bermakna. Padahal, masyarakat punya hak untuk dilibatkan dalam proses kebijakan, apalagi yang menyangkut kebutuhan dasar.”
Sementara itu, kantin sekolah yang selama ini menjadi tempat jajan anak-anak dan sumber penghasilan ibu-ibu sekolah mungkin akan kehilangan pelanggan. Tak ada upaya untuk melibatkan mereka dalam rantai distribusi makanan. “Harusnya sekolah dilibatkan sejak awal. Kantin diberdayakan, bukan dimatikan,” kata Martin.
ICW dan FIAN Indonesia mendesak agar pemerintah mengevaluasi pelaksanaan MBG agar anak-anak tidak dipaksa memilih makanan tak layak konsumsi, transparansi dalam pengelolaan anggaran, hingga pelibatan masyarakat dan sekolah dalam pengambilan keputusan.
Editor : Fidelis Eka Satriastanti
Discussion about this post