Prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak-anak yang tinggi membawa kepada masalah kesehatan yang serius.
Pada 2030 sekitar 20,5 juta orang akan meninggal akibat penyakit jantung dan kardiovaskuler. Banyak di antaranya akibat perilaku merokok. Penyakit jantung adalah penyebab kematian utama di dunia dan di Indonesia.
Perilaku merokok terutama menjadi masalah besar di kalangan anak-anak dan remaja. Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan sekitar 3 juta anak di Indonesia yang menjadi perokok aktif. Ini termasuk pengguna rokok elektronik yang meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir. Rokok elektronik atau vape dengan rasa buah atau permen karet, semakin menarik anak-anak karena bisa menggunakan vape itu kapan saja.
Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) periode 2024 – 2029 Annisa Pohan Yudhoyono menyatakan kemasan dan rasa vape memang sangat menarik bagi anak-anak untuk mencoba.
“Karena memang sasaran awalnya anak-anak. Kemudian tidak berbau, aromanya wangi, dan bisa digunakan di mana saja. Memang kalau tidak ada baunya tidak akan ketahuan. Jadi sangat mudah dan bisa dipakai di mana saja,” ucapnya dalam Diskusi Publik “Penjualan Rokok dan Kesehatan Publik: Penerapan PP Nomor 28 Tahun 2024 untuk Perlindungan Kelompok Rentan” di Jakarta pada Kamis, 16 Januari 2025.
Akses atas penjualan rokok, baik konvensional maupun elektronik juga sangat mudah. Terutama sekitar sekolah, dengan harga yang sangat murah.
Pemerintah kemudian menanggapi masalah ini dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan. Isinya juga mengatur tentang penjualan produk tembakau dan rokok elektronik. Aturan ini melarang penjualan kepada mereka yang berusia di bawah 21 tahun dan wanita hamil, serta penjualan di dekat sekolah dan tempat bermain anak. Namun implementasi peraturan ini masih memerlukan perhatian terutama dalam hal verifikasi usia pembeli dan pengawasan penjualan.
Ada problem lainnya terkait dampak merokok terhadap keluarga terutama pada anak-anak yang terpapar asap rokok. Anak dari keluarga perokok aktif memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting akibat asap rokok mengganggu penyerapan gizi. Pengeluaran keluarga untuk membeli rokok sering kali mengurangi anggaran untuk kebutuhan gizi anak dan kesehatan.
Terkait dengan hal tersebut, penting untuk segera mengimplementasikan peraturan ini dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk pedagang, industri rokok, dan masyarakat. Dukungan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sangat penting untuk menegakkan aturan ini secara konsisten. Selain itu edukasi mengenai bahaya merokok dan pengendalian rokok ilegal sangat urgen untuk menurunkan prevalensi perokok terutama di kalangan remaja.
Yayasan Jantung Indonesia (YJI) juga mendorong penerapan pola hidup sehat selain upaya pengendalian rokok. Melalui seimbang gizi, mengelola stres, mengawasi tekanan darah, dan teratur berolahraga, masyarakat dapat menjaga kesehatan jantung dan mencegah penyakit kardiovaskuler.
Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS – UI) Risky Kusuma Hartono memberikan tanggapannya mengenai PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur pembatasan penjualan produk tembakau.
Dia menekankan pentingnya kebijakan ini dalam mengendalikan prevalensi merokok khususnya di kalangan anak-anak. Keberadaan titik penjualan rokok yang padat, terutama di dekat sekolah, sangat berisiko meningkatkan jumlah perokok. Dalam studi ia menemukan bahwa semakin dekat sebuah titik penjualan dengan sekolah, semakin tinggi kemungkinan anak-anak terpapar dan mulai merokok. Ini menjadi perhatian utama dalam upaya pengendalian merokok anak.
Penelitian ini terjadi di tiga kota yakni Malang, Bogor, dan Medan. Hasilnya menunjukkan jumlah warung yang menjual rokok konvensional meningkat sekitar 30 persen antara 2015 hingga 2022. Kenaikan jumlah warung yang menjual rokok elektronik lebih mencengangkan karena mencapai 70 hingga 90 persen selama periode yang sama.
Jumlah ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk pembatasan penjualan rokok, baik konvensional maupun elektronik. Utamanya di lokasi-lokasi strategis seperti sekitar sekolah, perkantoran, dan pasar. Penjualan rokok yang mudah dengan metode pembelian ketengan dan promo beli satu gratis satu memudahkan anak-anak untuk membeli rokok. Sekalipun dengan cara berhutang.
Akademisi ini juga menemukan gejala “dependensi parsial”. Ini adalah gejala ketika sebuah warung menjual rokok maka warung-warung lain di sekitarnya cenderung mengikuti dan menjual produk yang sama. Sehingga ini menciptakan klaster penjualan rokok yang semakin memperburuk aksesibilitas bagi anak-anak.
Meskipun demikian berkaitan tentang kemungkinan larangan penjualan rokok, banyak pemilik warung yang memberikan respon positif. Mereka mengungkapkan kesiapan untuk mendukung kebijakan tersebut asalkan mendapatkan edukasi dan sosialisasi yang tepat. Pemilik warung bahkan menyatakan kesediaan jika ada pembatasan penjualan rokok, ia beralih menjual produk lain. Misalnya; sembako atau kebutuhan sekolah.
Risky menegaskan temuan ini menunjukkan dukungan publik terhadap regulasi yang membatasi penjualan rokok. Dia mendorong para pembuat kebijakan melanjutkan implementasi peraturan ini. Sebab, banyak pihak yang siap mendukung PP Nomor 28 Tahun 2024 dapat secara efektif mengurangi prevalensi merokok di Indonesia. Terutama dari kalangan anak-anak dan remaja.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menjelaskan hubungan erat antara rokok dan berbagai penyakit tidak menular yang terus meningkat di Indonesia. Seperti penyakit jantung, stroke, kanker, dan ginjal.
“Empat penyakit ini kalau kami lihat dari sisi pembiayaan merupakan penyakit-penyakit yang paling banyak membutuhkan biaya. Kami tahu data BPJS juga menunjukkan ratusan juta keluar untuk pengobatan terkait untuk empat penyakit ini,” ungkapnya dalam diskusi publik itu.
<p>Problem ini semakin kompleks akibat prevalensi perokok anak-anak cukup tinggi. Meski ada penurunan tetapi ada 7,4 persen anak usia 10 hingga 18 tahun yang merokok dengan usia pertama kali merokok semakin muda. Kalau dulu 12 tahun namun sekarang sudah 10 tahun.
Banyak dari mereka juga menjadi perokok pasif, terpapar asap rokok di rumah atau tempat umum. Hal ini mengarah pada kebutuhan mendesak untuk perlindungan anak-anak dan remaja dari bahaya merokok.
PP Nomor 28 Tahun 2024 menjadi landasan regulasi yang mengatur pembatasan penjualan produk tembakau termasuk rokok elektronik. PP ini memperkenalkan aturan yang lebih ketat seperti pembatasan iklan rokok di media sosial yang harus melibatkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk memastikan iklan tidak menjangkau anak-anak. Penguatan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat umum, sekolah, dan terminal yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pendidikan. Penguatan regulasi terkait rokok elektronik juga upaya penting mengingat rokok elektronik yang tidak terdeteksi dengan mudah berisiko besar bagi kesehatan terutama bagi anak-anak.
<p>Pengaturan ini juga mencakup edukasi kepada masyarakat, khususnya orang tua, mengenai bahaya rokok elektronik yang sering kali tidak terdeteksi oleh orang dewasa karena tidak menghasilkan asap atau bau. Perlindungan terhadap anak-anak harus menjadi prioritas utama dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap penjualan dan penggunaan produk tembakau melalui kolaborasi antara berbagai Kementerian dan Lembaga.<p>Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Ivan Fithriyanto menyampaikan pandangannya terkait dengan pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur pembatasan penjualan produk tembakau. Terutama yang berkaitan dengan penjualan di ritel, dan pengawasan oleh Kementerian Perdagangan.
Dia mengapresiasi upaya Kementerian Kesehatan yang melakukan pembahasan panjang untuk merevisi PP Nomor 109 Tahun 2012 dan memperkenalkan pembagian peran yang lebih jelas di PP yang baru.
Kementerian Perdagangan tantangannya adalah dalam mengatur penjualan rokok di warung kecil di mana rokok sering kali menjadi produk yang paling banyak terjual. Bahkan lebih dominan dibandingkan dengan barang lainnya. Salah satu kendala utama adalah mengatur warung kecil yang bergantung pada penjualan rokok sebagai sumber pendapatan. Pendekatan persuasif yang melibatkan pelaku usaha, khususnya dalam sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sangat penting demi menghindari gejolak ekonomi.
Kementerian Perdagangan juga menghadapi tantangan dalam mengimplementasikan aturan terkait penjualan rokok di tempat-tempat seperti sekolah dan pusat kegiatan ekonomi. Pengaturan di ritel modern cenderung lebih mudah. Misalnya dengan menutup tampilan rokok menggunakan tirai. Namun seringkali sulit mengawasi warung-warung kecil. Selain itu dengan maraknya produk baru seperti rokok elektronik memicu pengawasan harus lebih ketat. Pemerintah Daerah sebagai pelaksana aturan di lapangan perlu memiliki dasar hukum yang jelas untuk menjalankan pengawasan ini.
Ivan juga menekankan pentingnya kolaborasi antara Kementerian Perdagangan dan Pemerintah Daerah untuk menyusun pedoman teknis yang dapat diterapkan di tingkat lokal. Hal ini termasuk dalam penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) yang akan memberikan acuan lebih jelas bagi pelaksana di daerah. Pengawasan penjualan rokok dan produk tembakau diharapkan dengan langkah-langkah ini, melindungi konsumen. Selain itu juga memastikan penerapan regulasinya berjalan baik di seluruh lapisan masyarakat.
Direktur Produk Hukum Daerah Kementerian Dalam Negeri Imelda menerangkan tugas utama Kementerian Dalam Negeri adalah mengkoordinasi, membina, dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan daerah. Ini termasuk dalam penegakan aturan yang ditetapkan pemerintah pusat. Terkait dengan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dia menyoroti pentingnya setiap Pemerintah Daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum yang mendukung pelaksanaan tersebut. Namun masih banyak daerah yang belum memiliki Perda terkait KTR hingga saat ini.
Imelda menekankan pentingnya NSPK yang harus ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan. Pemerintah Daerah kesulitan untuk menindaklanjuti dan menetapkan aturan di daerah tanpa NSPK ini. Menurutnya, Kementerian Perdagangan perlu segera mengeluarkan NSPK untuk memudahkan daerah dalam membuat Perda KTR.
Perda KTR yang dibuat oleh kepala daerah bersama DPRD, merupakan produk hukum yang mengatur pelaksanaan KTR di tingkat daerah. Imelda menyoroti bahwa Kementerian Dalam Negeri hanya dapat melakukan evaluasi dan memberikan arahan sementara implementasi aturan ini sangat bergantung pada kebijakan kepala daerah yang baru saja menjabat. Jika Pemerintah Daerah tidak menerapkan KTR maka ada evaluasi. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri akan terus mengingatkan Kepala Daerah untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Imelda juga menjelaskan bahwa sanksi terhadap pelanggaran KTR dapat berupa kurungan penjara atau denda yang akan diatur dalam Perda. Namun harus ada integrasi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri dalam mendukung implementasi aturan tersebut di daerah untuk memastikan Perda ini efektif. Tanpa adanya payung hukum yang jelas, seperti Perda, sosialisasi terkait pembatasan penjualan rokok tidak akan efektif.
Selain itu Kepala Daerah memiliki kewenangan untuk memastikan pelaksanaan peraturan ini, dan Gubernur juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan Bupati dan Wali Kota melaksanakan arahan pusat. Jika Kepala Daerah tidak menginisiasi Perda KTR maka Kementerian Dalam Negeri akan memberikan evaluasi dan klarifikasi.
Dia menekankan bahwa Kementerian Dalam Negeri akan terus memastikan kepala daerah melakukan tanggung jawabnya dalam menetapkan dan mengimplementasikan KTR. Dengan adanya NSPK dan dukungan dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perdagangan, harapannya, Perda KTR dapat segera berjalan dengan efektif di seluruh daerah.
“NSPK itu yang menjadi dasar seluruh Pemerintah Daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah itulah payung hukum untuk bisa memastikan pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok ini dilaksanakan di daerah,” pungkas Imelda.***
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post