Jakarta, Prohealth.id – Perwakilan Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (FDPKKB) yakni; Dr. dr. Iqbal Mochtar; dr. H. Nazrial Nazar, Sp.B., FINACS K, M.H.Kes.; dan dr. Mohammad Baharuddin, Sp.OG., MARS, mengeluarkan pernyataan mendesak Presiden Joko Widodo untuk memantau kerja Kementerian Kesehatan dalam proses RUU Kesehatan Omnibus Law.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (15/5/2023), dengan menyimak perkembangan RUU Kesehatan dan tindak lanjut somasi terhadap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pihak FDPKKB diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Muhammad Joni mendesak pemerintah segera menarik Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan menghentikan pembahasan RUU Kesehatan, sesuai tuntutan aksi damai ribuan sejawat tenaga medis dan kesehatan dari 5 (lima) Organisasi Profesi (OP), Senin, 8 Mei 2023.
“RUU Kesehatan, terlebih lagi sejumlah DIM dan garis kebijakan atau politik hukum Pemerintah cq.Menkes menihilkan kepentingan rakyat atas perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil, memberangus kelembagaan yang efektif berfaedah bagi sistem kesehatan, yakni; Konsil Kedokteran Indonesia [KKI], Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia [MKDKI], Kolegium, Organisasi Profesi; yang dihaos dan diambil alih dalam “satu tangan” pemerintah pusat yaitu Kemenkes, termasuk Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP), dengan meniadakan syarat rekomendasi organisasi profesi [OP],” ujar para kuasa hukum.
Lebih lanjut tim kuasa hukum menilai garis kebijakan hukum dari DIM pemerintah itu penumpukan total kekuasaan eksekutif-sentralistik, yang berubah mundur menjadi absolutisme.
“Hal itu terbukti dengan sisipan Pasal 14A (DIM 153), dan sejumlah DIM turunan dari sisipan Pasal 14A– yang bertentangan diametral dengan garis kebijakan DPR RI yang justru mempertahankan dan mengakui kelembagaan-kelembagaan yang telah terbukti efektif, ajeg dan gayeng dalam sistem kesehatan,” sambung mereka.
Menurut para kuasa hukum, adanya sisipan Pasal 14A dalam DIM 153), adalah tindakan yang secara nyata menabrak kaidah hukum konstitusi dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang secara hukum mengikat, termasuk namun tidak terbatas Putusan MK RI No. 82/PUU XIII/2015, No. 14/PUU-XII/2014, No. 10/PUU-XV/2017.
Hal ini termasuk DIM turunan yakni; DIM 38 dan DIM 1711 s.d. 1888 yang memberangus KKI yang telah absah secara yuridis konstitusional sesuai Putusan MK RI No. 82/PUU-XIII/2015; lalu DIM 2063 s.d. 2073 (pasal 316 s.d pasal 319) –yang menghapuskan MKDKI yang konstitusional sebagaimana KKI selaku “induk”-nya; DIM 25 dan DIM 2048 s.d. 2062 (Pasal 315) –yang menghapuskan Kolegium yang telah absah secara yuridis konstitusional dengan Putusan MK RI No. 10/PUU-XV/2017; DIM 37 dan DIM 2044 s.d. 2047 (Pasal 315) –yang menghapuskan OP dalam ruang lingkup/ materi muatan RUU Kesehatan—yang telah absah secara yuridis konstitusional dengan Putusan MK RI No. 14/PUU-XII/2014, yuncto No. 10/PUU-XV/2017.
Selain itu para kuasa hukum menilai penghapusan kelembagaan sistem kesehatan telah menciptakan kegaduhan dan ketegangan serius komunitas dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan apoteker dari 5 organisasi profesi yakni; IDI, PDGI, PPNI, IBI, IAI.
Hal ini sebagaimana adanya unjuk rasa aksi damai ‘Aliansi Selamatkan Kesehatan Bangsa’ (ASET BANGSA) pada Senin, 8 Mei 2023 di Jakarta dan berbagai daerah/ kota di Indonesia.
Untuk itu, FDPKKB telah melayangkan 3 kali somasi kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin, yang sayangnya tetap tidak menjawab substansi somasi-somasi. Oleh karena itu FDPKKB dan sejumlah elemen tenaga medis yakni perhimpunan dokter umum, dan institusi-institusi formal dokter dari berbagai daerah telah bertekat segera melakukan upaya hukum laporan pengaduan dan/ atau gugatan hukum terhadap Menkes Budi Gunadi Sadikin. Khususnya dalam hal kebijakan dan substansi materi sejumlah DIM RUU Kesehatan yang menabrak kaidah hukum konstitusi dari sejumlah putusan MK RI telah menimbulkan keresahan massif tenaga medis dan tenaga kesehatan dari 5 OP sebagaimana aksi damai ASET BANGSA.
Selain itu, oleh karena sejumlah DIM RUU Kesehatan yang diajukan pemerintah dimaksudkan menghapuskan kelembagaan hukum yang eksis dan efektif menjalankan tugas dan fungsinya yakni; KKI, MKDKI, kolegium, organisasi profesi; yang absah dan konstitusional sesuai putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, maka tindakan mengajukan sejumah DIM tersebut dapat dikualifikasi perbuatan melawan hukum cq. putusan-putusan MK RI.
“FDPKKB menyerukan komplain konstitusional (constitutional complaint) kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin karena tidak mematuhi putusan-putusan MKRI yang berkekuatan hukum mengikat dan belaku umum (Erga Omnes).”
Guna meredakan keresahan tenaga medis dan tenaga kesehatan dari 5 organisasi profesi itu dan menjaga kondisi nasional yang kondusif, maka FDPKKB meminta Presiden RI Joko Widodo dan Menkopolhukam Mahfud MD mengingatkan Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Pertama, untuk mematuhi putusan-putusan MK dalam merumuskan sejumlah DIM RUU Kesehatan.
Kedua, menarik sisipan Pasal 14A (DIM 153) dan sejumah DIM turunan.
Ketiga, menghentikan pembahasan RUU Kesehatan sesuai petisi aset bangsa, untuk pembahasan mendalam dan partisipasi bermakna (meaningfull partisipation) secara kualitatif-substantif yang bertanggungjawab, bukan kuantitatif-statistik belaka.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah membuka kesempatan kepada sejumlah perwakilan dokter yang melayangkan somasi kepadanya untuk berdiskusi secara langsung. Namun kesempatan itu tidak dimanfaatkan oleh pihak yang memberikan somasi.
Prohealth.id mencatat, melalui kuasa hukum, pihak perwakilan organisasi profesi melayangkan surat somasi Nomor: 037/B/J&T/III/2023 pada Maret 2023 kepada Menkes Budi terkait pernyataan Menkes Budi dalam public hearing RUU Kesehatan.
Kuasa Hukum Kemenkes, Misyal Achmad, mengatakan somasi tersebut dilayangkan oleh mereka yang mewakili oknum dokter. Somasi sudah dijawab dengan membuka kesempatan untuk berdiskusi secara langsung.
“Kita telah memberikan jawaban somasi pertama pada tanggal 3 April 2023 dengan memberikan waktu pada tanggal 3 Mei 2023 pukul 10:00 untuk untuk berdiskusi tentang statement Pak Budi dalam public hearing RUU Kesehatan,” ujarnya di kantor Kemenkes, pada 4 April 2023 lalu,
Sayangnya, lanjut Misyal, kesempatan diskusi tersebut tidak dimanfaatkan oleh mereka, bahkan tidak ada satu pun oknum dokter yang hadir. Misyal mengakui oknum dokter telah melayangkan 3 kali somasi. Menkes Budi telah menjawab somasi pertama dan mencakup jawaban untuk somasi lainnya, yakni membuka forum diskusi secara langsung.
Sementara itu, Juru Bicara Kemenkes dr. Mohammad Syahril mengatakan diskusi yang diusulkan oleh Menkes Budi pada dasarnya akan mengejawantahkan maksud dan latar belakang pernyataan Menkes terkait pengurusan STR berbayar dalam public hearing RUU Kesehatan.
Dalam menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan Menteri Kesehatan melakukan kewenangannya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan melindungi penerima pelayanan kesehatan. Ia menerangkan, Kemenkes telah menerima banyak pengaduan dari dokter baik melalui WA maupun surat terkait biaya-biaya tidak langsung dalam pengurusan STR dan SIP.
“Kalau mereka (oknum dokter) punya semangat yang sama untuk membenahi masalah tersebut, seharusnya bersama-sama membenahi masalah yang ada dan mau meluangkan waktu untuk datang diskusi mendengarkan penjelasan,” ucap dr. Syahril.
Untuk itu, Menkes Budi menunggu perkembangan dari oknum dokter dan tetap membuka ruang untuk siapapun yang ingin berdiskusi secara langsung.
Dalam menyikapi RUU Kesehatan, dr. Syahril tak menampik bahwa penolakan terhadap RUU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah dikhawatirkan menghambat kebutuhan terhadap pelindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan.
Untuk itu, dr. Mohammad Syahril mengatakan pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan sudah ada di undang-undang yang berlaku saat ini, dan tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara dan berinisiatif untuk memperbaikinya setelah berlaku hampir 20 tahun ini. Dia menjamin, DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada sehingga pasal-pasal terkait pelindungan hukum ini menjadi lebih baik begitupun pemerintah mendukung upaya tersebut. Ia menilai, menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu, yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan tenaga kesehatan.
“Jadi, kalau memang kekhawatirannya masalah pelindungan hukum, kenapa tidak dari dulu sih organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?” tambah dr. Syahril.
Salah satu usulan peraturan dalam RUU yang dianggap bermasalah oleh organisasi profesi adalah situasi dimana dokter dapat digugat secara pidana atau perdata meskipun sudah menjalani sidang disiplin. Padahal, aturan tersebut adalah aturan lama yang sudah berlaku di UU Praktik Kedokteran 29/2004 saat ini.
Dalam pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran 29/2004 disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Lebih lanjut, ayat (3) menyatakan bahwa pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Menurut dr. Syahril pasal-pasal tersebut masih dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki.
Kata dr. Syahril ada beberapa usulan baru pasal terkait dalam RUU Kesehatan diluar pasal-pasal pelindungan hukum yang sudah berlaku saat ini. Penyelesain sengketa di luar pengadilan. RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan dalam Pasal 322 ayat 4 DIM Pemerintah, anti-perundungan (anti-bullying). Tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan sesuai Pasal 282 ayat DIM pemerintah.
Pelindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental dan perundungan juga tertuang dalam Pasal 208E ayat 1 huruf d DIM pemerintah.
Pelindungan untuk peserta didik. RUU Kesehatan menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum, dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan, pada Pasal 208E ayat 1 huruf a DIM Pemerintah.
Proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat. Tenaga medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas dalam Pasal 408 ayat 1 DIM Pemerintah.
“DPR dan pemerintah masih membahas pasal pelindungan hukum dan mengundang masukan dari publik. Meminta proses pembahasan RUU Kesehatan untuk distop bukanlah solusi. Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah pelindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” ujar dr. Syahril.
Discussion about this post