Jakarta, Prohealth.id – Kementerian Kesehatan memaparkan, Indonesia merupakan negara yang berada dalam sabuk thalassemia dengan prevalensi carrier (pembawa) thalassemia mencapai sekitar 3-10 persen dari seluruh populasi. Berdasarkan data dari Yayasan Thalassemia Indonesia pada 2021, terjadi peningkatan kasus thalassemia sejak 2012 dari 4.896 kasus menjadi 10.973 kasus hingga Juni 2021.
Artinya, data dari Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) telah mengafirmasi bahwa 70 persen saudara kandung penyandang (ring 1) adalah pembawa sifat. Dari sisi pembiayaan, menurut data BPJS Kesehatan 2020 beban pembiayaan kesehatan sejak tahun 2014 sampai tahun 2020 terus meningkat. Talasemia menempati posisi ke-5 di antara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke yaitu 2,78 triliun tahun 2020.
Berdasarkan hasil penelitian Eijkman tahun 2012, diperkirakan angka kelahiran bayi dengan talasemia mayor sekitar 20% atau 2.500 anak dari jumlah penduduk ± 240 juta. Mengingat prevalensinya tinggi, hal ini menandakan masih banyak orang di Indonesia yang belum mengetahui tentang Thalassemia, termasuk penyebab, gejala, hingga pengobatannya.
Medical Manager PT Kalbe Farma Tbk, dr. Hastarita Lawrenti, dalam Live Instagram @ptkalbefarmatbk pertengahan Mei 2023 ini menjelaskan, thalassemia bukan merupakan penyakit yang menular. Thalassemia adalah kelainan pada darah yang diturunkan, jadi merupakan penyakit keturunan.
“Jadi bukan penyakit infeksi, atau yang ditularkan melalui virus, atau ditularkan dari jamur dan parasit,” ujar dr. Hastarita.
Ia menjelaskan bahwa penyakit ini adalah kelainan genetik yang disebabkan oleh gangguan produksi globin, protein yang membantu membawa oksigen dalam sel darah merah. Ketika tubuh tidak memproduksi cukup globin, sel darah merah menjadi rapuh dan rusak, sehingga menyebabkan anemia atau kondisi tubuh tidak memiliki cukup sel darah merah yang sehat untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh.
Ada dua jenis thalassemia berdasarkan kebutuhan transfusi darah, yaitu thalassemia yang tidak bergantung pada transfuse, dan thalassemia yang bergantung pada transfusi. Thalassemia yang bergantung pada transfuse lebih berat dan membutuhkan transfusi darah secara teratur untuk bertahan hidup.
Thalassemia juga dapat dikategorikan berdasarkan jenis globin yang terpengaruh oleh mutasi genetik. Jika mutasi memengaruhi globin alfa, maka disebut Thalassemia alfa. Sedangkan Thalassemia beta, terjadi jika mutasi terjadi pada globin beta.
“Tingkat keparahan Thalassemia juga dapat diklasifikasikan sebagai Thalassemia minor, Thalassemia intermedia, dan Thalassemia mayor. Thalassemia minor adalah bentuk yang paling ringan dan biasanya tidak menimbulkan gejala atau gejala ringan,” papar dr. Hastarita.
Ia menambahkan, Thalassemia intermedia adalah bentuk penyakit sedang yang tidak memerlukan transfusi darah secara teratur, sedangkan Thalassemia mayor adalah bentuk yang paling parah dan memerlukan transfusi darah yang sering.
Menurut dr. Rita, gejala paling umum dari Thalassemia adalah kelelahan, kulit pucat, sesak napas, dan kulit menguning karena pemecahan sel darah merah.
Anak dengan Thalassemia juga dapat mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kelainan bentuk tulang, terutama pada bagian wajah. Pada kasus yang parah, tubuh dapat memproduksi sel darah merah secara berlebihan, yang menyebabkan pembesaran limpa atau hati.
Diagnosis dini sangat penting bagi penderita Thalassemia untuk mendapatkan pengobatan yang tepat dan menangani gejala-gejala yang muncul secara efektif. Thalassemia dapat didiagnosis melalui kombinasi pemeriksaan fisik, tes darah, dan tes genetik. Penting juga untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga dan mendiskusikannya dengan dokter.
Sementara itu, untuk pengobatan Thalassemia di Indonesia saat ini hanya tersedia terapi supportif berupa transfusi darah dan kelasi besi. Kelasi besi yang tersedia ada tiga macam, yaitu Deferoxamine, Deferiprone, dan Deferasirox.
“Transfusi darah dan obat kelasi besi untuk thalassemia ini sudah dicover pemerintah dalam sistem BPJS. Maka penting untuk memiliki keanggotaan BPJS sedini mungkin,” tutup Apt. Inneke Devi Permatasari, S.Farm dari Komunitas Peduli_Thalassemia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan sampai saat ini thalassemia belum bisa disembuhkan namun dapat dicegah dan diidentifikasi pembawa sifat thalassemia.
“Kemudian pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari perkawinan antar sesama pembawa sifat thalassemia,” ujar Dirjen dr. Maxi pada konferensi pers Hari Thalassemia secara virtual, Jumat, 5 Mei 2023 lalu.
Perwakilan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Teny Tjitra Sari, SpAK menambahkan bila dua orang pembawa sifat thalassemia melakukan perkawinan, kemungkinan anak lahir dengan thalassemia sebesar 25 persen.
“Itu kemungkinan yang terjadi bila si ibu hamil. Jadi setiap kehamilan kemungkinan melahirkan anak yang menderita thalassemia adalah 25 persen,” ungkap dr. Teny.
Meski demikian, lanjutnya, bila ada pasien thalassemia mayor kemudian menikah dengan orang tanpa thalassemia semua anaknya hanya pembawa sifat. Hal ini penting dimengerti karena thalassemia itu diturunkan. Jadi kalau ada seorang anak thalassemia pastinya kedua orang tuanya adalah pembawa sifat.
Perlu diketahui masalah kesehatan yang terlihat pada penderita thalassemia yaitu pucat yang lama atau anemia kronis, adanya infeksi, dan kelebihan zat besi. Hal itu terjadi karena sel darah merah terbentuk tidak normal kemudian hancur dan akhirnya timbul pucat atau anemia kronis. Salah satu penyebab kematian pada thalassemia adalah penyakit jantung karena zat besi banyak menumpuk di jantung. Itu yang sering menyebabkan kematian pada pasien thalassemia.
“Thalassemia memang belum dapat disembuhkan tapi dapat dicegah sehingga kita harus melakukan skrining pada golongan risiko tinggi. Sepasang orang sebelum menikah direkomendasikan melakukan skrining thalassemia, skrining pada mahasiswa atau remaja,” tutur dr. Teny.
Skrining Thalassemia merupakan salah satu program dalam transformasi kesehatan layanan primer yaitu perluasan deteksi dini 14 penyakit penyebab kematian tertinggi. Peserta JKN bila didalam keluarga ada yang menderita Thalassemia maka seluruh keluarga akan dilakukan skrining melalui kajian yang dapat diakses di aplikasi Mobille JKN, selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan yang lebih lengkap di Fasilitas Pelayanan Kesehatan/Puskesmas terdekat.
Dengan adanya skrining ini maka penderita Thalassemia akan terdeteksi lebih cepat dan akan mendapatkan edukasi dan penanganan yang lebih baik.
Discussion about this post