Jakarta, Prohealth.id – Dalam rangka meningkatkan geliat industri manufaktur, pemerintah menargetkan agar produksi alat kesehatan dalam negeri harus didominasi dengan bahan baku lokal.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat meresmikan fasilitas produksi dan peluncuran perdana alat kesehatan elektromedik Mindray produksi dalam negeri di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah, akhir Agustus lalu mengakui, saat ini alat kesehatan di Indonesia memang masih ada beberapa yang menggunakan komponen dari luar negeri.
“Tidak apa-apa, tapi kita tidak bisa melakukan ini terlalu lama. Keinginan kita sekitar 50 persen sampai 60 persen alat kesehatan dan obat-obatan dari hulu sampai ke hilir harus dikembangkan dan diproduksi di dalam negeri,” kata Budi dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id.
Dia menyebutkan target tersebut didasari dengan pertimbangan bahwa alat kesehatan di Indonesia baik yang sudah jadi maupun bahan bakunya masih didominasi impor. Misalnya pada tahun 2019-2020 saja, transaksi alkes impor mencapai 88 persen sementara untuk produk lokal hanya berkisar 12 persen. Padahal dari total 496 jenis alat kesehatan yang ditransaksikan di kurun waktu 2019-2020 tersebut, ada 152 alkes yang sebenarnya mampu diproduksi sendiri. Rendahnya penggunaan alkes produk lokal ini ditengarai keterbatasan teknologi dan implementasi regulasi penggunaan produk dalam negeri.
Kondisi ini makin diperburuk saat awal pandemi Covid-19, yang mana Indonesia di kesulitan mendapatkan alat kesehatan karena adanya lockdown serta pembatasan mobilitas manusia maupun barang untuk mengurangi transmisi virus.
Oleh karenanya tingkat ketergantungan yang besar ini perlu direspon pemerintah dengan mencanangkan transformasi kesehatan yang fokus pada 6 pilar. Adapun sektor farmasi dan alat kesehatan masuk dalam pilar ketiga, yakni transformasi ketahanan sistem kesehatan yang salah satu fokusnya adalah mendorong pengembangan alat kesehatan produksi dalam negeri guna mengurangi ketergantungan produk kesehatan impor.
“Saat pandemi kemarin terasa sekali, cari masker susah, APD susah. Untuk memastikan adanya kemandirian alat kesehatan dalam negeri, kita melakukan transformasi kesehatan utamanya pilar ketiga yakin transformasi ketahanan sistem kesehatan, jadi kalau ada pandemi lagi kita tidak bergantung dengan negara lain,” ujar Budi.
Melalui transformasi ini, secara perlahan Indonesia mampu memproduksi alat-alat kesehatan untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kendati baru mampu menghasilkan alat-alat kesehatan berteknologi rendah, Budi berharap industri kesehatan Indonesia terus berkembang, sehingga nantinya mampu memproduksi alkes berteknologi tinggi.
“Sekarang kita udah mulai, semua alkes kalau bisa diproduksi di dalam negeri. Ini salah satu inisiatifnya mulai dari tempat tidur, infuse pump, meja bedah, bed monitor. Dulu bayangkan masker dan APD aja susah. Untuk itu, kita bangun ini pelan-pelan,” terangnya.
Dukungan dari para produsen dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) sangat penting guna mewujudkan kemandirian bangsa di bidang kesehatan. Salah satunya yang dilakukan oleh PT D&V Medika yang bekerjasama dengan PT. Mindray untuk memproduksi alat kesehatan elektromedik dalam negeri.
“Saya terima kasih kepada D&V medika yang sudah melakukan langkah yang besar, baru mulai komitmen pada Desember tapi sekarang sudah produksi mulai produksi. Memang ini start small, tidak apa-apa. Kita harapkan ini terus berkembang.”
Dia berharap kolaborasi ini bisa menjadi contoh bagi produsen lainnya untuk saling bersinergi dan bekerjasama dengan produsen yang memiliki teknologi tinggi, dengan demikian akan terjadi transfer teknologi mengenai teknik-teknik produksi, manajemen produksi hingga proses distribusi yang lebih baik.
“Ini adalah awal dari komitmen kami dalam memproduksi alat kesehatan dalam negeri dan mendukung ketahanan kesehatan. Kami bangga pakai produk dalam negeri,” kata Steven Lee, CEO D&V Medika.
Selain meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi alkes dalam negeri, Budi juga meminta agar belanja alat kesehatan dalam negeri dimaksimalkan. Komitmen ini sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
“Kemenkes berkomitmen dari 38 persen anggaran belanja barang tahun ini, sekitar 19 triliun saya minta belanjanya dalam negeri. Sampai Agustus kemarin sudah terealisasi 4 triliun, sampai akhir tahun kita harapkan bisa terealisasi 100 persen,” ungkapnya. Progres realisasinya, imbuh Menkes, akan di monitor langsung oleh Presiden Joko Widodo setiap tiga bulan.
“Tahun depan Bapak Presiden minta belanja produk lokal naik ke 95 persen, kami berharap kedepan lebih banyak industri kesehatan yang bisa memproduksi alat kesehatan di dalam negeri dengan komponen lokal yang tinggi,” pungkas Budi.
Peran dan dukungan organisasi global
Sementara itu, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Dr. Dra. Lucia Rizka Andalusia, Apt, M.Pharm, MARS yang juga bertugas selaku Ketua Pertemuan Health Working Group ke-3 (HWG3) dalam kerangka G20, mengatakan banyak delegasi yang menyatakan bahwa dukungan organisasi internasional sangat penting dalam meningkatkan kapasitas penelitian dan manufaktur selama masa pandemi.
Dalam konferensi pers Summary HWG3 di Bali, Selasa, 23 Agustus 2022 lalu dia menyampaikan ada beberapa potensi kerja sama yang telah teridentifikasi dalam pertemuan G20. Misalnya saja; pusat pelatihan biomanufaktur global, upaya penelitian kolaboratif, mekanisme berbagi data, kemitraan publik-swasta, penelitian dan ekosistem manufaktur.
Rizka mengakui kesiapan Argentina, Brasil, India, Afrika Selatan, Arab Saudi, dan Turki bersama-sama dengan Indonesia, serta mengajak negara-negara G20 lainnya dan organisasi internasional untuk bergabung dan berpartisipasi aktif dalam kemitraan ini.
“Salah satu upaya yang perlu dukungan global organisasi internasional di antaranya terkait misi 100 hari kesiapsiagaan vaksin yang mencakup koordinasi pendanaan dan transfer teknologi antar negara dinilai penting,” ujarnya.
Asal tahu saja, 100 hari pertama kesiapsiagaan vaksin sangat penting, oleh karena itu Kemenkes membutuhkan misi berkelanjutan di luar 100 hari pertama tersebut.
Pasalnya, bukan hanya kesiapsiagaan vaksin yang harus dilakukan melainkan kesiapsiagaan yang mencakup alat diagnostik, tindakan terapeutik, dan menghubungkannya dengan One Health.
Terkait transfer teknologi, diperlukan kemitraan yang harus melibatkan sektor swasta. Negara – negara berpenghasilan menengah ke bawah harus secara proaktif berkontribusi pada misi ini.
Upaya lain yang perlu dukungan organisasi internasional adalah perluasan manufaktur dan penelitian vaksin, terapeutik, dan diagnostik (VTD) secara global. Organisasi internasional telah menetapkan platform dan jaringan yang memungkinkan akses vaksin, terapeutik, dan diagnostik (VTD) lebih cepat untuk pandemi.
“Platform dan jaringan yang sudah ada saat ini dapat berfungsi sebagai landasan untuk membangun sebuah platform global yang terhubung,” ucap Rizka.
Oleh karenanya dibutuhkan peningkatan investasi, peningkatan koordinasi antara bidang keuangan dan bidang kesehatan untuk mendukung VTD tersebut.
“Beberapa delegasi dari pertemuan HWG ke-3 ini menyoroti pentingnya menyelaraskan regulasi untuk mendukung peningkatan penilitian dan produksi. Persetujuan dan peraturan harus dipercepat,” pungkasnya.
Pembahasan lebih rinci terkait peningkatan kapasitas penelitian dan manufaktur terkait vaksin, terapeutik, dan diagnostik akan dilakukan pada pertemuan teknis sebelum pertemuan menteri kesehatan (HMM) G20 ke-2 pada Oktober 2022 mendatang.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post