Depok, Prohealth.id – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeritas Indonesia Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo mengatakan ada kaitan yang kuat antara bonus demografi dengan pembangunan manusia Indonesia di tahun 2045.
“Sejak 2005 saya sudah jelaskan bahwa untuk mendapatkan bonus demografi belum bisa karena kualitas angkatan kerja kita masih sangat rendah”, kata Moertiningsih saat menjadi pembicara di Webinar bertema “Menyongsong Indonesia Emas 2045: Peningkatan Kualitas SDM dan Pembangunan Kesehatan Berkelanjutan” pada Senin, (5/7/2021).
Bonus demografi, menurut Moertiningsih akan tercipta saat pemerintah berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk. Hal itu turut menunjang keberhasilan pembangunan kesehatan, hingga meningkatkan usia harapan hidup.
Bonus demografi telah menghadirkan peluang, sehubungan dengan adanya ceruk yang mampu menciptakan windows of opportunity (peluang) ketika proporsi anak-anak rendah. Saat itu merupakan waktu yang paling baik bagi keluarga dan komunitas untuk melakukan intervensi terkait peningkatan kualitas SDM. Pasalnya, setelah tahun 2045 bonus demografi dianggap selesai.
“Jadi bonus demografi, bukan bunusnya yang kita fokuskan, tetapi perubahan struktur umur penduduk,” kata Moertiningsih.
Berkaca dari penelitian Prof Andrew Mason dan lee (2014) berjudul Percapita labour income and consumption avarage of 40 countries, Moertiningsih mengingatkan adanya kaitan antara struktur umur penduduk dengan konsumsi dan penghasilannya.
Penelitian itu menggambarkan adanya lifecycle defisit, dimana anak-anak di wilayah defisit sudah mengkonsumsi tetapi belum berproduksi, sehingga dikategorikan defisit. Sementara lansia juga mengalami defisit, dimana produktivitas menurun, namun konsumsi terus meningkat.
Kemudian di usia kerja ditemukan adanya area surplus. “Inilah yang menutup defisit bagi anak-anak, dimana orang tua harus membiayai anak-anaknya,” kata Moertiningsih yang akrab disapa Tuning.
Ketika jumlah anak di keluarga cukup kecil, hal itu turut andil dalam mengembangkan masa depan. Dengan jumlah uang yang sama, orangtua akan mampu memberdayakan anak-anaknya di kemudian hari.
“Sehingga jika tiba di usia kerja, dia (anak-anak) surplusnya lebih besar. Ini cita-cita yang diharapkan terjadi pada 2045,” ungkap Moertiningsih yang juga peneliti Adjunct di Lembaga Demografi FEB UI
Pembangunan manusia berkualitas di tahun 2045 akan menjawab, apakah surplus area mampu menutup life cycle deficit, mencukupi diri sendiri, membangun keluarga, bayar pajak, hidup sehat, termasuk mempersiapkan diri menjadi lansia sehat dan aktif.
“Inilah kapitalisasi bonus demografi,” kata Moertiningsih.
Menurut Moertiningsih, di tahun 2045 kebanyakan mereka adalah anak-anak yang sekarang masih dalam bentuk janin atau telah menjadi balita atau remaja. Sehingga di tahun itu, kemungkinan akan dipenuhi oleh remaja usia 20-29 tahun, pemuda usia 30-39 tahun, juga mereka yang berumur 40-49 tahun.
“Mereka ini harus dan harus disiapkan sekarang agar menjadi SDM berkualitas,” kata Moertiningsih.
KAPITALISASI BONUS DEMOGRAFI
Selain sejak dini, Moertiningsih mengingatkan bahwa manusia unggul terkait dengan sejumlah hal, seperti kesehatan, pendidikan, kecakapan hidup (life skill), soft skill hingga integritas (tidak korupsi). Semua itu erat hubungannya dengan 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
“Soft skill artinya luwes, bisa berinteraksi dengan yang lain-lain, teamwork. Semua itu dimulai sejak dini, bahkan sebelum konsepsi,” terang Moertiningsih.
Skema bonus demografi diharapkan menciptakan struktur umur penduduk yang seimbang antara proporsi anak-anak dan lansia, sementara proposi usia kerja cukup besar.
“Saya namakan ini sebagai kapitalisasi bonus demografi, dimulai dengan pengendalian penduduk dimana kita harus mencapai struktur umur penduduk seimbang,” papar Moertiningsih.
Kemudian saat transisi memasuki usia kerja, diharapkan menjadi pekerja yang employability. “Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk employability dan skill development,” kata Moertiningsih.
Khusus bagi perempuan usia subur, mereka seharusnya mampu merencanakan keluarga dengan baik. Sementara bagi mereka yang memasuki usia senja perlu mempersiapkan diri menjadi lansia yang smart, sehat, mandiri, aktif dan bermartabat.
“Kalo gak sehat gak bisa mandiri. Misalnya pake kursi roda itu gak bisa mandiri. Kalo bisa mandiri maka akan aktif, produktif dan bermartabat. Ini adalah pembangunan manusia unggul di 2045,” katanya.
Sebelum memasuki 2045, faktor pendidikan menjadi faktor penting, namun bukan satu-satunya pemicu pertumbuhan ekonomi dari sisi suplai. Karena studi Hanushek dan Woesmann di tahun 2007-2010 menyebutkan, ketrampilan kognitif ternyata lebih signifikan pengaruhnya.
Menurut Moertiningsih, seiring permodelan yang memasukkan elemen pendidikan dan lamanya bersekolah ternyata dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak begitu besar.
“Namun begitu dimasukkan keterampilan kognitif, itu kelihatan kognitif lebih signifikan dan magnitutenya lebih besar untuk memicu pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Berdasarkan literatur, keterampilan kognitif diperoleh dari keluarga, teman sebaya, budaya hingga sekeliling. Kemampuan kognitif juga erat hubungannya dengan kemampuan untuk menalarkan, memproses, membicarakan sekaligus menerapkan informasi yang baru diperoleh pada pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
“Ini cocok sekali dengan digital ekonomi sekarang. Anak-anak yang tidak bisa inovatif, tidak bisa adaptif, tidak kreatif, tidak akan bisa survive,” ungkap Moertiningsih.
DAMPAK MALNUTRISI
Untuk menciptakan manusia unggul di tahun 2045, Moertiningsih menilai ada sejumlah tantangan, diantaranya malnutrisi yang erat hubungannya dengan kesehatan ibu hamil dan juga 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Karena itu, seorang ibu harus benar-benar siap, baik terkait berat badan, persiapan pra hamil hingga melahirkan.
“Ini semua jika tidak terpenuhi asupan gizi, ada faktor gagal tumbuh sejak janin,” kata Moertiningsih.
Janin tidak berkembang secara sempurna, menyebabkan perkembangan otak dan selama hidupnya metabolik programming juga terganggu. Semua itu terjadi dalam jangka pendek.
“Dalam jangka panjang akan mengakibatkan kemampuan kognitif dan pendidikannya rendah,” terang Moertiningsih.
Pertumbuhan anak-anak juga berpotensi stunting (kurang gizi). Stunting akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, saat remaja dan menjadi tua, mereka mudah terpapar beragam penyakit tidak menular seperti; hipertensi, diabetes, hingga obesitas.
Di sisi lain, Pendapatan perkapita sebuah negara akan lebih rendah apabila tenaga kerjanya menderita stunting dimasa kecilnya. Stunting telah menurunkan produktivitas tenaga kerja, menghambat pertumbuhan ekonomi dan hilangnya 11 persen PDB negara.
“Ini banyak loh,” kata Moertiningsih.
Bagi pekerja sendiri, stunting masa kecil akan mengurangi pendapatan hingga 20 persen, sebagaiman draf Stranas 2018 – 2024.
“Lah, UMR sudah segitu dikurangi 20 persen, ya mereka gak hidup,” ujarnya.
Ketika kondisi stunting pada anak diterjemahkan dalam penghasilannya sebagai human capital, maka secara global, ada penurunan per kapita PDB sebesar 7 persen per tahun apabila tenaga kerja yang sekarang pernah mengalami stunting dimasa kecilnya.
“Ngeri sekali”, ucap Moertiningsih.
BAHAYA ASAP ROKOK
Berdasarkan literartur, Moertiningsih menyebut keterpaparan asap rokok pada perokok aktif maupun pasif dapat menurunkan berat plasenta dan berat janin.
“Nikotin menyebabkan peyempitan pembuluh darah plasenta sehingga suplai zat gizi dan oksigen pada janin akan terhambat. Ini terhambat akibat nikotin,” katanya.
Bahaya lainnya, terhambatnya pertumbuhan organ, kelainan fungsi organ, komplikasi serta terjadinya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). “Ngeri, ngeri, dan ngeri,” ujar Moertiningsih.
Selain itu, Moertiningsih mengingatkan tentang potensi secondhand smoke, dimana merokok akan membuat bayi berada pada posisi yang rentan terkait kecacatan.
“Ternyata bibir sumbing itu salah satu sebabnya karena asap rokok” ungkap Moertiningsih.
Bayi yang lahir dengan berat dibawah 2.4 kilogram, menurut Moertiningsih kemungkinannya 9 kali meninggal sebelum usia 30 hari. Atau jika hidup, maka 2.5 kalinya menyebabkan gagal tumbuh atau stunting.
“Dan sekarang pemerintah berusaha keras untuk menurunkan angka stunting,” katanya.
Oleh karena itu Moertiningsih menyerukan agar ibu-ibu jangan merokok. Sementara ibu hamil yang perokok, mengakibatkan janin yang dikandungnya ikutan merokok. Selain itu, mereka yang terpapar asap rokok diketahui rentan terhadap penyakit tidak menular.
MEMBANGUN SEJAK DINI
Lalu mampukah Indonesia memetik bonus demografi? Moertiningsih mengatakan masih terbuka peluang ke arah situ, selama pembangunan manusia dilakukan sejak dini.
“Investasi modal manusia usia dini paling menguntungkan,” terang Moertiningsih.
Moertiningsih teringat tulisan Prof. Heckman, Ekonom dari Universitas Chicago, yang juga peraih Noble (1998) menyatakan peduli anak-anak harus sejak usia dini. Pasalnya, investasi pada anak sejak umur 0-5 tahun menghasilkan return of investment yang juga tinggi.
“Kalau return of investmentnya supaya tinggi, jadi waktu ibu hamil berilah ia kecukupan pangan dan gizi (zat besi dan zinc, dll) serta pola asuh yang benar,” kata Moertiningsih.
Itu sebebnya, Investasi tumbuh kembang anak tertinggi imbal baliknya dilakukan sejak 1000 HPK. Sehingga diibaratkan US$1 akan menghasilkan US$7, kalau ditambah perawatan kesehatan menjadi US$13.
“Loh tinggi banget itu. Itu baru US$1. Kalau US$1000, kalau US$1 juta gimana? Oleh karena itu, investasi sumberdaya manusia sejak dini,” pinta Moertiningsih.
Kemudian, semakin besar anak, maka imbal baliknya terus menurun. Bahkan sangat kecil apabila dilakukan setelah lulus sekolah. “Itulah mengapa investasi tumbuh kembang anak sampai 5 tahun harus jadi prioritas, karena untuk mencegah stunting juga,” katanya.
Hal penting lainnya, menerapkan pola asuh holistik intergratif. Moertiningsih mengistilahkan, PAUD seharusnya seperti itu, yakni tidak hanya fokus pada pendidikan namun juga memperhatikan bina keluarga balita, hingga posyandu. Kondisi itu akan membentuk satu satuan yang terintegrasi sehingga membentuk balita yang unggul.
Khusus untuk remaja, Moertiningsih menekankan agar terhindar dari perilaku berisiko. “Ini udah tahu. Jangan merokok, jangan minum alkohol,” katanya.
Selain itu, perlu untuk menyiapkan diri menjadi lansia yang smart. Smart berarti sehat, mandiri, aktif, dan bermartabat. Ketika semua dimulai sejak dini, maka akan menghindarkan diri dari ketergantungan di masa tua.
“Karena itu perlu healthy life, healthy diet, non smoking, exercise regularly,” ujar Moertiningsih.
Kini, ketika semua orang telah menyadari bahwa rokok sangat adiktif, maka berapapun harganya akan tetap dibeli. Namun perlu diingat bahwa prevalensi mereka yang punya uang, menurut Moertiningsih telah sadar akan bahaya rokok.
Sebaliknya, masyarakat kelas bawah masih terjebak dan akan tetap terjerat adiksi, meskipun hanya membeli rokok dalam jumlah batangan.
“Kalau itu dihindarkan, jangan sampai dia mampu membeli rokok, maka itu akan menyelamatkan bangsa Indonesia. SDM unggul di 2045,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post