Sebuah spanduk menyambut para pengunjung ketika menginjakkan kaki di Pulau Sangiang. Kalimat bertuliskan “Pulau ini tidak dijual” menjadi penanda adanya permasalahan agraria di pulau seluas 700 hektar ini.
Akses mencapai Pulau Sangiang, salah satunya menumpang perahu kayu berbobot 5-10 gross ton dari Pelabuhan Anyer. Jarak tempuhnya sekitar 50-60 menit.
Berdasarkan data administrasi kependudukan, wilayah Pulau Sangiang masuk ke Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Secara geografis pulau ini terletak di Selat Sunda. Posisinya berada diantara gugusan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Bentang alam Pulau Sangiang terdiri dari pantai, laguna, bukit landai, dan bukit curam dengan tingkat kemiringan 8-40 derajat. Puncak bukit tertinggi mencapai ketinggian sekitar 155 meter.
Tokoh masyarakat Pulau Sangiang, Engkos Kosasih (64 tahun) bercerita pulau kediamannya sudah dihuni sekitar abad ke-19. Ketika itu Raja Lampung menghibahkan Pulau Sangiang kepada warga ulayat agar ditempati. Penjelasan itu terdapat juga dalam dokumen yang diterima oleh Prohealth.id berupa surat pernyataan Bandar Kepala Hadat Marga Dantaran terbit pada 6 Juli 1994. Dalam surat itu tercatat bahwa tanah Pulau Sangiang diserahkan pada tahun 1889 oleh Gusti Penyembahan Dalom Kesuma Ratu berdasarkan perintah Raden Warga Berang. Dokumen mencantumkan pemberian hak tinggal kepada keturunan dari Karya Nurjaya sebagai anak Lampung dari Kampung Bakauheni di Pulau Sangiang.
Sejarah lain pulau ini, dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada era Piala Dunia ke-2, Jepang membangun Pos Pengaman di Pulau Sangiang yang dilengkapi rel besi untuk dilewati kapal perang amfibi. Peninggalan masa pendudukan Jepang di pulau itu adalah berupa bunker, bangunan dan landasan helikopter.
Kosasih mengatakan pasca Indonesia merdeka Pulau Sangiang mulai ikut dihuni warga di luar keturunan adat dari Lampung. Pada akhir tahun 1980-an, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto mulai melirik potensi sumber daya di Pulau Sangiang. Pemerintah Orde Baru menetapkan wilayah yang ditempati Kosasih dan keluarganya sebagai kawasan cagar alam. Selanjutnya, status itu berubah jadi cagar alam pada tahun 1991 dan kawasan perairan di Pulau Sangiang berstatus sebagai taman wisata alam.
Dalam dokumen Keputusan Menteri Kehutanan, pada tahun 1993, sebagian luas pulau itu diserahkan ke PT Pondok Kalimaya Putih dalam skema izin pengusahaan pariwisata alam. Sesuai izin negara, PT Kalimaya diberi hak guna bangunan dengan wilayah konsesi seluas 248 hektare selama 30 tahun, yang akan berakhir pada 9 Maret 2024.
Kosasih yang pernah menjadi Ketua RT di pulau sejak 1995-2022 mengatakan kebijakan pemerintah itu menjadi awal mula permasalahan warga di Pulau Sangiang. Warga yang sempat berjumlah 122 kepala keluarga makin menyusut jadi 18 KK karena harus berkonflik dengan perusahaan yang mendapat hak pengelolaan. Apalagi, kata, Kosasih, pemerintah tidak pernah memberikan fasilitas penunjang bagi penduduk di Pulau Sangiang sehingga warga makin tidak betah untuk tinggal.
“Sekolah, puskesmas, dan listrik tidak ada di pulau ini, dulu pernah ada pasca kemerdekaan sekolah rakyat, tapi bangunan tinggal puing-puing, apalagi ada perusahaan yang berusaha mengusir kita makin tidak nyaman,” kata Kosasih ketika ditemui Prohealth.id dikediamannya di Pulau Sangiang, Anyer, 16 September 2023 lalu.
Maturiah, warga Pulau Sangiang, mengakui sulitnya mengakses layanan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil. Perempuan berusia 50 tahun itu bercerita selama 40 tahun tinggal di Sangiang belum pernah ada tenaga medis pemerintah yang datang ke Pulau. Ia harus menyeberang laut, jika ingin berobat.
“Tidak pernah ada mantri atau dokter ke sini, jika ibu hamil dengan kandungan sudah berusia tujuh bulan biasanya harus tinggal dulu di Desa Cikoneng, sampai melahirkan,” ujar Maturiah saat ditemui Prohealth.id, 16 September 2023 lalu.
Mengenai akses pendidikan, warga Pulau Sangiang lainnya, Sopian Sauri pun mengatakan kesulitan bagi anak di wilayahnya mendapatkan hak yang telah diberikan oleh konstitusi negara tersebut. Ia bercerita ketika usia sekolah maka anak dari Pulau Sangiang harus menetap di Kecamatan Anyer yang berada di daratan Pulau Jawa. Tidak adanya perhatian pemerintah membuat warga Pulau Sangiang menempuh alternatif tersebut agar anak-anaknya tetap mendapat akses pendidikan.
“Makanya kalau keliling pulau bakal jarang liat anak-anak karena lagi tinggal di Desa Cikoneng buat sekolah, paling ke sini lagi kalau musim liburan,” ujar pria berusia 48 tahun ini saat ditemui oleh Prohealth.id, 17 September 2023 lalu.
Pria yang akrab disapa dengan sebutan Pak Ustadz atau Abah Pian, bercerita adanya konflik tanah pada awal tahun 1990-an dengan perusahaan yang meminta pengosongan pulau membuat hak konstitusional warga Pulau Sangiang seperti pendidikan dan kesehatan makin terabaikan. Warga diminta untuk melepas tanah dengan skema jual beli dan pelepasan hak lahan. Menurut Pian, warga pulau menguasai lahan dengan status memiliki girik dan ada pula mengelola tanah negara. Bahkan beberapa warga yang sudah memiliki surat pemberitahuan pajak terutang dan membayarnya setiap tahun.
“Kita kan ada yang bayar pajak di sini, malah tidak dianggap, dulu pernah tim dari dinas kesehatan mau ke pulau untuk melakukan pengecekan kondisi kesehatan warga, malah oleh pemerintah desa dibilang pulau sudah kosong sehingga batal, itulah dampak konflik ini,” kata pria berusia 48 tahun ini.
Direktur Pena Masyarakat, Mad Haer Effendy, mengatakan negara telah melalaikan kewajibannya bagi penduduk Pulau Sangiang yang berstatus warga negara. Pria yang akrab disapa Aeng ini mengatakan warga Pulau Sangiang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan layanan pendidikan maupun kesehatan yang telah diatur dalam UUD 1945.
“Seharusnya pemerintah menjalankan kewajibannya itu, apalagi warga diakui secara administrasi dengan memiliki KTP, bahkan ketika Pemilu tetap ada TPS di Pulau Sangiang ini, kata Aeng ketika ditemui Prohealth.id, 18 September 2023.
Terkait pengabaian hak konstitusional warga Pulau Sangiang, Prohealth.id mencoba melakukan konfirmasi ke Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Serang, Asep Nugraha Jaya dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Serang, Agus Sukmayadi tapi belum mendapat tanggapan. Panggilan melalui sambungan telepon buat keduanya tidak direspon. Pesan melalui aplikasi Whatsapp sampai dengan artikel ini dluncurkan pun belum mendapat jawaban.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post