Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

[Q & A] Memahami Kekerasan Berbasis Gender Online

by Ignatius Dwiana
Tuesday, 27 May 2025
A A
[Q & A] Memahami Kekerasan Berbasis Gender Online

Aktivis Digital Ellen Kusuma (dok pribadi)

Jakarta, Prohealth.id – Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) marak di Indonesia di tengah kemajuan teknologi digital. Teknologi ini akan terus berkembang sehingga bisa memperparah risiko. Di samping itu, ada situasi normalisasi kekerasan berbasis gender. Prohealth dalam kesempatan ini mewawancara aktivis digital Ellen Kusuma. Menurutnya, kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi digital harus menjadi perhatian bersama. Ia juga menguraikan pelbagai dampak KBGO, hukum yang belum efektif melindungi korban, dan bagaimana menciptakan ruang aman bagi semua pengguna.

Prohealth : Bagaimana mendefinisikan KBGO, cara mengenalinya, dan apa saja bentuknya yang paling banyak terjadi di Indonesia?

BacaJuga

[Q & A] Menjawab Kompleksitas KBGO: Antara Pemulihan Korban, Keterbatasan Hukum, dan Tanggung Jawab Negara

Asosiasi Wanti-wanti Menkes soal Usulan Dokter Umum Bisa Operasi Caesar

Ellen Kusuma (EK) : Kalau membahas KBGO sebenarnya ada tiga hal yang perlu dipahami, yaitu kekerasan, kemudian berbasis gender, dan online itu sendiri. Lebih kurangnya adalah ketika kekerasan berbasis gender itu difasilitasi oleh teknologi digital.

Prohealth : Jadi ketiga poin ini harus terpenuhi ketika membayangkan apa ini situasinya merupakan kekerasan berbasis gender online atau tidak?

EK : Kekerasan itu sendiri secara umum, secara garis besar, itu bisa dimaknai sebagai tindakan yang telah membuat orang lain menderita atau mengalami kerugian secara material maupun immaterial. Tetapi, kekerasan ini tentu ada konteksnya. Jangan disamakan bahwa kekerasan berbasis gender online sama dengan tindak pidana. Sayangnya, di Indonesia walaupun sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang juga sudah memuat Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik tidak berarti bahwa semua bentuk kekerasan berbasis gender online itu kemudian sama dengan tindak pidana. Karena ada beberapa bentuk KBGO kemudian tidak bisa diintervensi dengan menggunakan Undang-Undang TPKS. Simply karena unsurnya tidak masuk.

Kemudian kalau membahas kekerasan, apa KBGO itu selalu seksual? Tidak melulu. Kalau membahas kekerasan itu sebenarnya juga membicarakan soal relasi kuasa. Memang kekerasan berbasis gender umumnya akan didominasi oleh berbagai hal kekerasan seksual. Karena apa? Karena ini yang perlu kita pahami apa itu kekerasan berbasis gender? Berbasis gender di sini adalah harus kita pahami gender adalah konstruksi sosial yang ada di masyarakat yang kemudian membebankan hal-hal tertentu pada jenis-jenis kelamin tertentu.

Jadi, kalau kita membahas kekerasan berbasis gender itu sangat erat kaitannya dengan ketubuhan seseorang. Nah, balik lagi tidak melulu kekerasan berbasis gender itu berupa kekerasan seksual. Walaupun dominasinya atau mayoritas kasus kekerasan berbasis gender itu memang kekerasan seksual. Contoh, kekerasan berbasis gender yang tidak bernuansa seksual. Bisa jadi seperti akses layanan hak reproduksinya dibatasi. Itu juga kita bisa menyebutkannya sebagai kekerasan berbasis gender.

Mungkin kekerasannya berbentuk administratif. Ada diskriminasi terhadap teman-teman kelompok keberagaman seksual. Mereka mendapatkan diskriminasi saat mencoba mengakses layanan kesehatan. Itu bisa dilihat sebagai bentuk kekerasan berbasis gender dan itu tidak seksual ‘kan? Jadi kekerasan berbasis gender itu tidak melulu kekerasan seksual.

Lalu, unsur online. Online di sini jangan dipahami sesempit bahwa itu terjadi di ruang-ruang di mana ada internet. Bahwa ketika kekerasan berbasis gender itu sudah difasilitasi teknologi digital maka sudah bisa disebut kekerasan berbasis gender online.

Atau, memang sekarang juga banyak teman-teman yang menggunakan istilah kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi. Jadi banyak istilahnya sebenarnya. Tetapi harus dipahami bahwa sedikitnya kalau membahas kekerasan berbasis gender online itu perlu memenuhi tiga hal tersebut.

Bahwa ada efek yang membuat seseorang menderita atau mengalami kerugian baik material ataupun imaterial yang berlandaskan pada gender seseorang. Berdasarkan ketubuhan seseorang. Kemudian menggunakan teknologi digital sebagai salah satu alat kekerasannya.

Prohealth : Kalau bullying di medsos terkait penampilan. Misalnya cara berpakaian yang seksi lalu di-bullying atau bertato ‘kan biasanya distigma buruk. Apa itu bisa termasuk KBGO?

EK : Betul. Karena itu terkait dengan ketubuhan seseorang. Walaupun mungkin nafasnya atau nuansanya itu tidak sensual atau tidak mengarah kepada seksualitas seseorang tetapi ketika sudah menyangkut pada tubuh seseorang maka ada unsur gendernya di situ.

Kalau misalnya melihat perempuan, perempuan itu kadang-kadang sangat dihakimi sekali terkait dengan ketubuhannya. Misalnya cara berpakaiannya.

Atau ketika ada korban kekerasan seksual itu selalu dipertanyakan apa sih bajunya. Jadi selalu ada asumsi yang sebenarnya asumsi itu berbasis gender. Karena kita tinggal di masyarakat yang sudah punya asumsi-asumsi tertentu pada gender-gender tertentu dan kita punya ekspektasi.

Kalau kamu gendernya perempuan ya kamu bertingkahlah seperti perempuan. Nah itu ‘kan sudah merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender juga. Jadi ya bullying terkait dengan ketubuhan seseorang itu sangat mungkin sekali merupakan kekerasan berbasis gender.

Prohealth : Kelompok usia berapa yang paling rentan menjadi korban dan faktor utama penyebab kerentanan ini apa?

EK : Sebenarnya kalau kita membahas faktor usia, kalau ngomongin online begitu ya, kalau kita spesifik ngomong kekerasan seksual berbasis gender online, tentunya warganet yang memang bahkan di dalam kesehariannya itu sudah sendiri sudah rentan. Misalnya perempuan.

Perempuan di usia produktif, di usia anak, itu cenderung rentan mengalami kekerasan berbasis gender online. Faktornya tentu banyak tadi.

Masyarakat kita memang masyarakat yang bahkan tidak usah ngomongin di dunia maya, di dunia yang physical saja, jasmaniah saja memang dari awal sudah tidak membuat ruang-ruang yang aman bagi teman-teman perempuan. Juga kepada anak perempuan atau bahkan anak laki-laki.

Situasi tersebut kemudian teramplifikasi ketika mereka menggunakan teknologi digital. Mereka rentan menjadi semakin rentan ketika menggunakan teknologi digital itu sendiri.

Apalagi kalau melihat statistiknya juga ‘kan memang pengguna internet sekarang paling banyak antara usia millennial, gen Z, sama alfa. Jadi usia-usia tersebutlah yang rentan karena mereka memang hidupnya banyak berkelindan dengan teknologi internet.

Prohealth : Berarti tren peningkatan kasus KBGO dalam beberapa tahun terakhir ini mereka yang banyak menggunakan teknologi digital?

EK : Betul. Tentunya yang berada di dalam ruang teknologi digital itulah yang kemudian mengalami kasusnya ya. Jadi salah satunya ya karena menjadi penggunanya memang menghidupi ruang-ruang teknologi digital ataupun yang disambungkan oleh internet.

Tetapi tentunya juga ada faktor-faktor lain. Misalnya dengan teknologi yang semakin mutakhir saat ini. Sayangnya kemutakhiran tersebut kadang kala justru meningkatkan risiko pada kelompok yang sudah rentan. Misalkan saja teknologi deepfake.

Ketika ada sebuah teknologi yang mampu melakukan otomatisasi pembuatan konten sintetis dengan menggabungkan beberapa-beberapa data sekaligus. Misalnya dari video seseorang digabungkan dengan foto muka seseorang kemudian seakan-akan orang tersebutlah yang membuat video tersebut. Padahal itu merupakan konten sintetis yang dibuat secara otomatis dengan teknologi deepfake.

Jadi kemutakhiran teknologi yang dengan cepat sekali masuk ke masyarakat itu juga meningkatkan terjadinya kekerasan berbasis gender online.

Prohealth : Berarti faktor teknologi juga menjadi pendorong peningkatan kasus?

EK : Betul. Teknologi yang semakin maju tetapi tanpa para developer memperhatikan risikonya tentu akan meningkatkan potensi terjadinya kekerasan terutama bagi kelompok yang sudah rentan.

Kalau peningkatan tren aduan kasus KBGO saat ini lebih terkait soal kesadaran KBGO yang tumbuh atau karena maraknya normalisasi di ruang digital?

Saya rasa keduanya punya andil. Dengan orang makin sadar ada berbagai macam bentuk KBGO tentunya mereka makin pintar dalam mengidentifikasi apa ini merupakan kekerasan berbasis gender online atau tidak.

Banyaknya informasi terkait dengan siapa saja yang memberikan layanan untuk KBGO, saya rasa itu juga membantu.

Jadi diseminasi informasi yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi bentuknya, cara mengakses layanannya itu tentu membantu.

Tetapi normalisasi kekerasan di ruang digital juga punya kontribusinya sendiri. Ketika seseorang melihat oh ada nih perilaku yang seperti ini, perilaku kekerasan misalnya. Kita bisa menghina tubuh perempuan atau mengatur tubuh perempuan misalnya atau melihat ada teman-teman transgender dan kemudian merasa ah mereka harusnya tidak berada di ruang-ruang digital. Kemudian melakukan kekerasan padanya dan kemudian ternyata tidak ada konsekuensi atas perilakunya tersebut tentunya akan membuat orang lain merasa, oh boleh ya kita melakukan hal seperti ini. Jadi terjadi normalisasi.

Normalisasi ini ya tentunya berkontribusi terutama ketika tidak ada konsekuensi dari kekerasan tersebut.

Prohealth : Apa normalisasi kekerasan berbasis gender di ruang digital itu akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kekerasan di dunia nyata atau offline?

EK : Tentu. Jadi kita ambil contoh saja ya? Tadi saya menyebutkan terkait dengan misalnya kehadiran kelompok keberagaman seksual.

Kita bisa lihat di masa pandemi lalu sempat ada situasi di mana seorang Youtuber melakukan prank terhadap teman-teman transpuan dengan memberikan sembako yang isinya adalah sampah. Itu adalah hal yang kemudian bisa dilakukan dan ini ‘kan dia tidak melakukannya di ruang digital. Dia mendatangi langsung teman-teman transpuan dan melakukannya di dunia nyata.

Karena dia merasa ya hal itu boleh-boleh saja dilakukan. Bahkan dia membayangkannya itu adalah sebuah prank yang kemudian bisa dibagikan di dunia digital sebagai bahan lucu-lucuan. Padahal ‘kan itu mendegradasi teman-teman transpuan. Jadi tentu ini akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kekerasan itu sendiri.

Lagi-lagi kalau tidak ada konsekuensi yang bisa membuat pelakunya jera tentu persepsi masyarakat juga akan terdampak karena hal tersebut.

Prohealth : Apa maraknya KBGO memicu pergeseran norma sosial?

Betul sekali. Pergeseran norma sosial akibat maraknya KBGO dapat membuat seseorang melakukan swasensor.

Jadinya mereka enggan untuk beropini di media sosial misalnya. Padahal mereka punya pendapat. Tetapi enggan beropini karena mungkin takut mendapatkan serangan.

Atau bahkan saat ini serangannya cukup menyebalkan karena biasanya berupa doxxing yang kemudian bisa kemana-mana ujungnya. Jadi saya rasa swasensor itu merupakan salah satu dampak dari KBGO.

Pengurangan partisipasi perempuan itu tentunya juga berbahaya ya dan bahaya itu bukan saja bahaya personal. Secara jangka panjang bisa jadi perempuan akan merasa ruang digital menjadi ruang yang tidak aman.

Padahal kita juga tahu yang namanya ruang digital saat ini juga digunakan untuk partisipasi secara politis. Jadi jangan sampai justru KBGO malah menghalau perempuan ataupun kelompok keberagaman seksual itu kemudian mundur dari ruang public digital ke ruang lainnya yang kemudian lebih privat. Ini jadinya membuat presentasi atau kehadiran mereka hilang di ruang publik digital.

Prohealth : Apa ada modus baru KBGO seperti konten intim tanpa izin seiring perkembangan teknologi?

EK : Saya rasa kalau bentuk-bentuk barunya sendiri memang masih fokusnya itu di kekerasan yang menggunakan gambar.

Bentuknya saya rasa tidak terlalu berbeda dengan yang sudah dipahami. Misalnya penyebaran konten intim secara non konsensual atau dalam bentuk deepfake ini mungkin angkanya akan naik secara tren.

Lain-lain saya rasa tidak terlalu banyak berubah. Yang berubah itu bukan bentuknya. Tetapi modus-modusnya. Seperti bagaimana cara seseorang mendapatkan konten intim orang lain atau bahkan dengan melakukan manipulasi.

Saya rasa masih banyak digunakan cara-cara seperti itu. Tetapi untuk cara-cara baru saya rasa tidak terlalu banyak yang inovatif. Karena modus operandi yang sudah berlangsung saja itu belum dapat ditangani secara optimal.

Prohealth : Bagaimana peran data pribadi dan keamanan digital?

EK : Justru kalau kita memahami bagaimana kita bisa melakukan manajemen data-data diri kita, menjaga privasi kita di dunia digital, itu tentu membantu diri kita menjadi sedikit lebih aman.

Tetapi begini kalau kita ngomongin kekerasan, mau kita berlaku seaman apapun kalau pelakunya memang niat melakukan kekerasan maka dia akan menemukan banyak cara melakukan kekerasan tersebut. Jadi betul mencegah itu lebih baik daripada menangani.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan di bawah kendali kita untuk mencegah misalnya dengan menjaga data pribadi kita dan seterusnya, lakukanlah.

Tetapi jangan kemudian ini menjadi sudut pandang kita dalam melihat kasusnya. Bahwa ah karena dia tidak jaga data pribadi sih makanya dia jadi korban. Jangan sampai kemudian itu menjadi implikasi menyalahkan korban.

Justru tadi mau kita melakukan atau memagari diri kita dengan segala macam hal yang bisa membuat kita aman, kekerasan tetap masih ada risiko terjadi.

Prohealth : Jadi nanti jatuhnya malah kaya swasensor tadi ya?

EK : Betul. Hati-hati begitu ya? Karena antara swasensor dengan berstrategi untuk melindungi diri itu sangat tipis sekali perbedaannya.

Prohealth : Kira-kira langkah preventif apa yang bisa dilakukan untuk melindungi diri?

EK : Mungkin kita bisa menjaga privasi kita dengan memperkuat keamanan media sosial. Misalnya email, nomor handphone kita tidak disebarluaskan atau mengaktifkan otentikasi dua faktor, atau kalau bisa dan lebih baik lagi bisa mengaktifkan multipel otentik verifikasi.

Jadi banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga diri kita terutama dengan melakukan dasar keamanan digital itu sendiri. Balik lagi yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko. Tetapi tidak benar-benar bisa menghilangkan risiko KBGO itu sendiri.

Prohealth : Dalam penegakan hukum terhadap pelaku KBGO itu apa tantangannya? Kemudian apa regulasinya sudah cukup melindungi korban?

EK : Tantangannya sebenarnya masih banyak. Dalam penanganan hukumnya sendiri masih banyak PR. Banyak pihak kepolisian yang masih belum memahami apa itu kekerasan berbasis gender.

Bagaimana secara tidak sensitif itu ya misalnya kalau korbannya perempuan tetapi aparat yang melakukan penanganan adalah laki-laki. Sedangkan korban yang melapor diminta untuk menyerahkan bukti-bukti yang kemudian berisi data pribadinya dia. Mungkin berisi foto yang mengandung ketelanjangan dan seterusnya.

Jadi banyak sekali isunya baik secara administratif maupun secara budaya dalam penanganan hukum itu sendiri. Belum lagi meski kita sudah punya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang tadi saya sebutkan sudah memiliki unsur-unsur untuk kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Tetapi itu tidak mencakup seluruh kekerasan berbasis gender online itu sendiri.

Jadi memang kalau kita bicara tentang penanganan KBGO itu yang paling dibutuhkan sebenarnya terkait faktor sosial dan budaya yang ada di masyarakat itu sendiri.

Tidak cuma di masyarakat. Tetapi di dalam sistem hukumnya itu sendiri. Karena balik lagi gender itu adalah konstruksi sosial. Ketika masyarakat dengan sistem atau ekosistem penanganannya secara hukum itu sendiri tidak memahami maka mereka akan susah untuk bisa mengidentifikasi apalagi mengintervensi situasi kekerasan berbasis gender online.

Proehalth : Bagaimana masyarakat umum bisa berperan dalam mencegah atau menolak normalisasi KBGO?

EK : Masyarakat bisa memulainya dengan menegur kalau misalnya melihat ada kekerasan berbasis gender online yang terjadi. Tetapi bagaimana bisa menegur kalau diri sendiri belum paham?

Jadi ada bagusnya juga masyarakat mulai mencari tahu apa sih yang dimaksud kekerasan berbasis gender online itu sendiri. Pahami apa yang dimaksud kekerasan berbasis gender online. Kemudian asah kemampuan kita untuk mengidentifikasi mana sih yang kekerasan berbasis gender online, mana yang bukan, dan kemudian mencari tahu. Juga mengasah kemampuan kita untuk melakukan intervensi kalau misalnya kita menyaksikan kekerasan tersebut atau amit-amit ketika kita menjadi korban KBGO.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan kalau misalnya kita jadi saksi. Ini disebut sebagai bystander intervention. Jadi, bagaimana kita mengintervensi ketika menyaksikannya dan intervensi itu tidak melulu harus kita yang konfrontatif ke pelaku. Kita bisa melakukannya dengan banyak hal. Misalnya kita delay situasinya, kita delegasikan ke pihak-pihak yang mungkin lebih berwenang dan lebih mampu untuk melakukan intervensi.

Kalau kita melihat kekerasan seksual. Misalnya terjadi di kereta, kita bisa minta petugas keretanya yang kemudian datang dan menghampiri pelaku atau menghampiri korban.

Kalau misalnya terjadi di dunia online misalnya kita bisa mention pihak-pihak yang kemudian bisa membantu kita untuk melakukan intervensi. Misalnya, influencer yang memang memiliki pemahaman terkait dengan kekerasan berbasis gender.

Atau kita bisa mention berbagai macam pengada layanan yang juga bisa membantu prosesnya atau mengintervensinya. Itu pendelegasian kita untuk intervensinya dan banyak hal lain yang bisa dilakukan.

Jadi, cari tahu hal-hal apa saja yang bisa dilakukan dan kemudian lakukanlah. Kemudian jangan berhenti di kita saja. Jadi edukasilah orang lain di sekitar kita. Tidak usah jauh-jauh. Apa sih kekerasan itu? Jangan-jangan mereka selama ini mengalami. Tetapi karena tidak mampu mengenali mereka, tidak merasa menjadi korban, padahal sebenarnya mereka sudah berada dalam titik butuh pertolongan misalnya.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah jangan menjadi pahlawan. Ketika kita membicarakan ada situasi kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender itu cukup bikin traumatis korban. Kita jangan kemudian mencoba menjadi pahlawan bagi dia dengan misalnya mengumbar ceritanya pada pihak-pihak yang kemudian tidak berwenang terkait dengan situasinya itu sendiri. Karena itu bisa membuat situasinya jauh lebih parah bagi korban.

Karena ‘kan sampai sekarang pun masih begitu ya? Misalnya di Twitter banyak pihak melakukan spill the tea, menginformasikan kepada publik bahwa ada sesuatu yang terjadi pada temannya. Misalnya di Twitter, ada teman mengalami kekerasan seksual lalu menceritakan kronologinya tanpa seizin korban itu justru malah membahayakan korban.

Kita sendiri juga harus hati-hati dalam bertindak atau ketika ingin melakukan atau membantu proses penanganan atau mencari keadilan untuk korban. Kayanya itu sih beberapa hal yang kurasa sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat.

Prohealth : Di mana mencari informasi untuk memperkuat perlindungan dan apa yang perlu diperbaiki dari platform digital?

EK : Kalau terkait dengan informasi ini sudah banyak beredar. Misalnya kita ngomongin kekerasan berbasis gender online setidaknya salah satu yang masih bergiat terkait dengan penanganannya itu adalah SAFEnet.

Jadi, silakan berkontak ke SAFEnet. Bisa di akun media sosialnya di SAFEnet Voice atau langsung buat aduan di websitenya aduan SAFEnet.

Lainnya setahu saya ada Task Force KBGO. Atau kalau untuk mengedukasi diri juga bisa mampir ke Purple Code ID yang ada di Instagram.

Hal-hal lain yang bisa dicek juga itu berbagai macam produk pengetahuan yang sudah dihasilkan terkait KBGO. Baik Purple Code maupun SAFEnet maupun atau Task Force KBGO. Ataupun rekan-rekan lain yang kemudian membuat catatan tahunan terkait data-data kekerasan berbasis gender online itu juga perlu dibaca. Atau disebarkan informasinya. Karena itu akan membantu selain itu juga mungkin bisa follow teman-teman pengada layanan yang memberikan pendampingan hukum.

Kalau di Jakarta itu ada LBH Apik Jakarta. Mereka memiliki banyak konten edukasi yang bagus sekali dan berbagai produk pengetahuan. Juga laporan tahunan yang kemudian memuat bagaimana sih proses penanganan KBGO saat ini di Indonesia meskipun sudah ada UU TPKS dan lainnya.

Tetapi kalau kita ngomong inovasi dalam bentuk teknologi ini sebenarnya yang harus kita dorong platform digital untuk menyediakan. Walaupun platform digital itu memiliki standar komunitas, memiliki fitur untuk melakukan report, ketika kita menemukan kekerasan. Tetapi kadang-kadang kita tidak teredukasi bagaimana cara kita melakukan report tersebut. Misalnya reportnya apa ini masuk kategori-kategori kekerasan berupa bullying, ini berupa harassment, ini berupa spam, atau apa? Kategorisasi itu kadang-kadang tidak cukup menjelaskan.

Membuat korban ataupun pihak pihak yang ingin membantu melaporkan konten-konten yang di-upload oleh pelaku atas korban itu kelimpungan. Karena tidak memahami kategorisasi tersebut. Jadi kita perlu mendorong platform untuk bisa membuat fitur report yang lebih jelas, lebih adaptif, sehingga korban dapat menceritakan konteks atau situasinya. Karena selama ini ‘kan kita bergantung pada kehadiran SAFEnet untuk melakukan pelaporan langsung ke pihak-pihak platform digital. Tetapi akan lebih baik sekali kalau misalnya korban kemudian mendapatkan edukasi untuk bisa melakukannya secara langsung. Karena kalau kita ngomongin penanganan KBGO, waktu penanganan itu krusial juga. Karena kita tahu dalam hitungan detik itu konten yang viral bisa tersebar ke mana pun. Jadi sangat krusial kita mendorong adanya kehadiran platform digital untuk memberikan tools yang lebih mengamankan korban ataupun membuat korban bisa melaporkan situasinya dengan langsung.

Prohealth : KBGO itu ‘kan juga punya keterhubungan dengan situasi kekerasan yang offline. Apa upaya yang bisa dilakukan agar ruang digital di Indonesia lebih baik?

Kita harus menyadari dalam penanganan KBGO itu tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Semuanya harus mau bergerak bersama, beriringan tangan, untuk penanganan kasus KBGO yang ditemukan.

Kita tidak bisa hanya fokus pada wah pihak kepolisian harus memperbaiki diri dalam proses penanganan. Sedangkan ada banyak hal yang dihadapi oleh teman-teman dari lembaga layanan juga. Misalnya mereka juga memiliki keterbatasan SDM maupun sumber daya lain untuk bisa membantu korban mendapatkan keadilan.

Selama kita hanya melihat penanganan kekerasan berbasis gender online itu secara parsial atau hanya melihat pihak-pihak tertentu saja yang bertanggung jawab.

Sedangkan pihak-pihak lain itu dianggapnya mereka mah siapa sih dalam penanganan ini maka akan berat sekali perjalanan membuat ruang aman, membuat ruang aman di dunia digital, bagi perempuan ataupun kelompok rentan lainnya.

Jadi harus bisa punya mindset bahwa ini bukan hal yang dikerjakan sendirian. Harus mau sama-sama bergerak untuk menangani KBGO.

Editor : Fidelis Eka Satriastanti

Bagikan:

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.