Jakarta, Prohealth.id – Kekerasan tidak lagi hanya terjadi secara fisik atau langsung. Seperti kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sayangnya peristiwa ini masih sering dianggap sepele atau bahkan tidak dikenali sebagai bentuk kekerasan.
Kali ini Pro Health mewawancara Ayu Yolandasari, salah satu Koordinator KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual). Dia aktif menjadi pembicara fasilitator untuk isu kekerasan, gender, seksualitas, dan kesehatan mental. Juga bekerja sebagai konselor.
Dia menerangkan kompleksitas penanganan KBGO, tantangan dalam pemulihan korban, keterbatasan layanan hukum, penciptaan budaya yang lebih empatik, menekankan pentingnya edukasi tentang KBGO, dan kehadiran negara.
Demikian wawancara Pro Health dengan Ayu.
Prohealth : Bisa diceritakan dengan singkat tentang KOMPAKS?
Ayu Yolandasari (AY) : KOMPAKS dulu berdiri dalam rangka kampanye untuk advokasi, pengesahan, dulu disebutnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sekarang jadinya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Concernnya itu. Pada awal banget itu dasarnya kekerasan seksual sangat spesifik. Tetapi pengesahan UU TPKS kemudian konsernnya diperluas menjadi kekerasan berbasis gender termasuk di dalamnya kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Prohealth : Mungkin bisa digambarkan terkait kasus yang didampingi atau ditemukan secara garis besar mungkin?
AY : Nah yang paling sering masuk ke KOMPAKS itu biasanya NCII (Gambar Intim Tanpa Izin, Non Consensual Intimate Image) atau penyebaran foto atau video pribadi.
Menyangkut kekerasan seksual di dalamnya misalnya difoto diam-diam ketika mandi, atau ketika berhubungan seksual, dan sebagainya. Nah itu biasanya yang aku tidak bisa bilang terlaporkan. Tetapi cukup banyak sampai ke KOMPAKS. Kenapa? Karena biasanya penanganan pertamanya itu adalah take down. Kalau dulu take down yang diupayakan, dilakukan teman-teman di KOMPAKS, adalah mass report karena koalisi setiap anggotanya juga sudah punya massa.
Jadi, kami punya sistem yang ngasih tahu. Oh di akun ini ada NCII, ada bullying, atau ada berbau kekerasan bentuk lainnya ya. Dikasih linknya cara reportnya terus habis itu disebarin ke semua jaringan KOMPAKS. Dulu seperti itu. Tetapi sekarang metodenya sudah lebih beragam.
Selain mass report yang kami lakukan nge-tag teman-teman yang sudah menjadi mitranya Meta. Misalnya yang kami tahu itu SAFEnet, LBH APIK, itu ‘kan jadi mitra pengaduannya Meta. Kalau melalui mereka itu akan lebih cepat di-take down. Kebanyakan sih yang seperti itu. Lainnya adalah KBGO yang dilakukan oleh mantannya atau pasangannya, orang-orang yang berada di ranah personal. Biasanya kalau ada aduan seperti itu kami langsung melakukan rujukan.
Rujukan yang pertama, tentu tidak. Sebelum rujukan biasanya kami akan tanya dulu, ini kebutuhannya apa? Sudah dapat pendampingan atau belum. Korbannya dalam kondisi seperti apa? Apa ada yang mau di-take down tidak dan sebagainya? Nah utamanya kami memprioritaskan pendampingan untuk korban.
Jadi, KOMPAKS sendiri punya dana yang dikumpulkan dari anggota. Donasi sukarela itu untuk subsidi konseling psikologis untuk para korban. Jadi kami melakukan MoU dengan salah satu biro psikologi.
Kekerasan berbasis gender apapun termasuk kekerasan basis gender online itu kami bisa langsung merujuk sehingga korban mendapatkan dukungan psikologis. Selain tadi, kalau dampingan terkait digitalnya, kami punya mitra atau jaringan yang memang bekerja di isu tersebut.
Prohealth : Platform apa yang paling sering digunakan sebagai sarana KBGO?
AY : Kalau itu sih macam-macam. Instagram, X, itu sering banget dan sangat mudah ditemukan. Lainnya itu ada Telegram. Dulu sempat ramai soal grup Telegram isinya orang-orang yang melakukan KBGO. Menaruh foto-foto mantannya yang tentu saja non konsensual di dalam situ dan sebagainya. Termasuk doxxing itu sering sekali, nyebarin data pribadi orang yang mereka targetkan, dan sebagainya.
Prohealth : Apa interaksi digital yang kasar bisa dimasukkan dalam kategori KBGO?
AY : Kalau yang disebut KBGO itu begini. KBGO of course difasilitasi teknologi. Apapun itu. Tidak cuma melalui sosial media. Misalnya melalui WhatsApp dan sebagainya juga termasuk KBGO. Selain itu juga ada unsur gendernya. Karena memang berbasis gender. Dalam artian apa? Ketika misalnya yang diserang adalah ketubuhannya, seksualitasnya, identitas gendernya itu termasuk KBGO.
Prohealth : Ada korban bercerita sempat mengalami ghosting kemudian dapat kiriman gambar porno. Apa itu termasuk KBGO?
AY : Kalau ghosting saja itu tidak. Tetapi tadi ‘kan dapat kiriman gambar porno. Ya itu termasuk KBGO dan itu sangat khas. Banyak. Teman-teman aktivis juga mengalami hal serupa dan ancaman perkosaan banyak sekali dialami.
Prohealth : Sejauh mana korban menyadari mereka sedang mengalami KBGO dan biasanya apa yang memicu untuk melapor atau mencari bantuan?
AY : Harus diakui bahwa tidak semua orang menyadari KBGO. Ada kalanya mereka paham bahwa ini tidak benar nih, ini tidak oke nih. Ini aku mengalami kekerasan tetapi mereka tidak menyadari bahwa ini sebenarnya KBGO. Lebih banyak lagi teman-teman yang tidak tahu bahwa hal seperti ini bisa dilaporkan atau bahkan kaya misalnya lapornya ke mana banyak sekali yang masih belum tahu.
Jadi, memang masih perlu banyak sekali bantuan dan kontribusi masyarakat ya untuk menyebarluaskan informasi mengenai KBGO. Juga layanan-layanan yang bisa mengakomodasi teman-teman korban. Selain konselor, aku juga menjadi co fasilitator untuk suatu grup dukungan. Di grup dukungan tersebut biasanya ada cerita-cerita dan beberapa kali yang muncul itu terkait KBGO.
Dapat ancaman dari mantan pacar kalau misalnya foto pribadinya akan disebarluaskan dan sebagainya. Kejadian itu cukup sering atau bahkan memang sudah dilakukan. Misalnya disebarkan ke teman kantornya dan sebagainya. Ketika ditanya, sudah melapor belum? Sudah. Dapat bantuan apa saja dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka itu belum sama sekali mengakses bantuan. Karena apa? Karena mereka tidak tahu harus akses ke mana?
Jadi ruang-ruang di mana kita berada itu sangat mungkin untuk menyebarluaskan informasi mengenai KBGO. Disertai dengan informasi bantuan apa saja yang tersedia. Korban sih jadinya biasanya ikutan ketemu dengan teman-teman yang memang bekerja di isu ini. Itu salah satu jalan yang bisa membuat orang tahu bahwa yang saya alami itu kekerasan berbasis gender online dan itu bisa dapat dukungan sepenuhnya.
Prohealth : Bagaimana kondisi para korban KBGO?
AY : Kalau trauma, pasti trauma. Karena trauma itu ‘kan luka ya? Benturan luka. Trauma itu pasti terjadi walaupun belum tentu kemudian menjadi gangguan.
Kondisi traumanya itu bisa macam-macam. Kebanyakan dari mereka upaya pertamanya adalah mematikan sosial media atau memutus hubungan dengan pelaku. Banyak dari mereka kaya itu. Beberapa dikirimi gambar porno dan sebagainya itu langsung mereka hapus dan segala macam.
Mematikan sosial media itu cukup sering. Kemudian cemas. Teman-teman yang dapat ancaman NCII itu cemas sekali. Kemudian biasanya yang namanya ancaman itu ada sesuatu yang diinginkan pelaku.
Beberapa dari mereka jadinya pasrah. Terpaksa menuruti keinginan pelaku. Misalnya ketika pelaku meminta berhubungan seksual atau misalnya pelaku minta dia melakukan sesuatu yang lain, mengirimi foto lain, dan sebagainya.
Banyak dari mereka karena takut itu jadinya nurut dengan pelaku. Karena takut begitu jadi terpaksa menuruti kemauan pelaku. Itu banyak terjadi.
Atau yang banyak terjadi adalah sextortion. Sextortion itu jadinya ancaman tetapi juga mengambil keuntungan yang lain. Kaya misalnya pelakunya minta uang dan lain sebagainya. Salah satu kasus yang pernah aku temui itu korbannya anak SMA dan orang tuanya ngeh. Ini kenapa ya anaknya koq minta uang terus? Tetapi kayanya dia juga tidak memakai uangnya dan sebagainya. Ternyata untuk pelaku yang adalah mantan pacarnya.
Banyak dari mereka karena tidak tahu itu kekerasan berusaha untuk melawan sendiri atau menangani sendiri. Jadinya ya tertekan secara psikologis luar biasa dan mendapat bentuk kekerasan lain.
Prohealth : Ketika ini korban pertama kali menghubungi layanan itu proses awal pendampingannya seperti apa ya?
AY : Tergantung layanan apa? Kalau layanan pendampingan psikologis, proses pertamanya ya konseling. Mungkin ada beberapa langsung asesmen psikologis.
Tetapi biasanya diawali konseling psikologis dulu. Ditanya kondisinya seperti apa saat ini? Situasinya bagaimana? Pendampingan apalagi yang dibutuhkan dan sebagainya.
Pendampingan lainnya terkait pendampingan digital. Misalnya keamanan digitalnya seperti apa? Misalnya foto atau videonya sudah di-take down atau belum? Sudah cukup aman atau belum? Pelakunya masih punya datanya atau tidak? Pelakunya masih bisa dihubungi atau tidak? Perlu dimediasi atau tidak dengan pelakunya dan sebagainya.
Kemudian apa juga membutuhkan pendampingan hukum? Kalau misalnya layanannya itu tidak memiliki pendampingan hukum maka biasanya kemudian berjejaring. Mencari lembaga bantuan hukum (LBH) terdekat yang bisa juga bantu menangani.
Jadi yang pertama itu asesmen kondisi korban. Kemudian asesmen kebutuhannya. Apa yang diinginkan? Kemudian baru selanjutnya penanganan lainnya terkait pelaku.
Prohealth : Apa ada pendekatan khusus ketika korbannya dari kelompok rentan?
AY : Iya. Penanganan itu pasti akan disesuaikan dengan korbannya. Dalam artian banyak hal. Baik situasi, latar belakang, atau karakteristik korban.
Ketika korbannya adalah kelompok ragam gender dan seksualitas itu penanganan yang melibatkan kepolisian itu menjadi lebih sulit biasanya. Jadi biasanya perlu pendekatan khusus terkait keamanannya bagaimana dulu? Kalau kemudian melibatkan kepolisian itu harus seperti apa caranya agar identitasnya, terutama identitasnya yang rentan, dapat cukup aman.
Kemudian untuk teman-teman disabilitas, akomodasi layaknya bagaimana? Apa perlu dari lembaga layanan atau dari kepolisian? Atau misalnya dari pihak ketiga? Itu juga sangat perlu dipertimbangkan. Kemudian teman-teman down sindrom punya kerentanannya tersendiri.
Jadi itu perlu pendekatan khusus terutama terkait bahasa. Kemudian juga anak. Usia anak dan dewasa itu tentu saja akan berbeda perlindungannya, bahasa yang akan digunakan, pendekatannya, pelibatan orang tua, itu perlu dipertimbangkan.
Prohealth : Apa tantangan terbesarnya?
AY : Tantangan terbesar? Ini bukan karena tidak ada tantangan terbesar ya? Bingung ketika harus memilih terbesar yang mana?
Karena pada dasarnya kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender online, itu semua tidak mudah ditangani.
Walaupun sudah maju tetapi tetap dirasa masih kurang. Terkadang teman-teman yang mengalami KBGO minim dukungan terutama dari orang-orang terdekat.
Banyak dari mereka itu dianggap kesalahan sendiri. Menyalahkan korban itu menjadi sesuatu yang sangat umum ditemukan dan itu tentu saja membuat kondisi korban lebih terpuruk.
Jika yang dihadapi itu orang yang punya kuasa maka relasi kuasa kuat sekali. Pasti ada ketimpangan. Ketimpangan itu akan sangat besar apalagi jika pelakunya itu pejabat atau orang yang punya reputasi tertentu sehingga simpati publik kepada korban itu sulit.
Faktor-faktor tersebut seringkali membuat korban ragu untuk memproses lebih lanjut. Selain tekanan psikologisnya kemudian proses yang lama. Apalagi jika penanganan KBGO melibatkan kepolisian, wah itu juga tantangan yang sangat besar.
Jadi bisa di tengah upaya yang sudah dilakukan terus habis karena lelah secara psikologis. Juga merasa ini ada harapan tidak sih? Ini sebenarnya bisa tidak sih? Mungkin tidak sih?
Belum lagi tantangan lainnya. Misalnya bagaimanapun juga ‘kan korban mungkin kalau bekerja ya dia tetap harus bekerja. Kalau dia punya tanggungan ya dia tetap harus memenuhi tanggungjawabnya terhadap tanggungannya ‘kan? Jadi penanganan kasus juga harus menyesuaikan hal-hal seperti itu. Kapasitas korban, waktu korban, dan lain sebagainya itu perlu disesuaikan.
Hal-hal itu yang membuat penanganan kasus itu jadi terhambat. Kalau dibilang tantangan terbesar yang mana? Semuanya besar.
Prohealth : Apa yang bisa dilakukan konselor untuk membantu korban membangun kembali rasa amannya di ruang digital?
AY : Ketika berbicara tentang membangun rasa aman di ruang digital itu terus terang tidak bisa konselor saja atau tidak bisa psikolognya saja. Bahkan misalnya aksesnya psikiater, tidak bisa psikiaternya saja. Tetap perlu dukungan banyak sekali pihak.
Salah satu yang diakses dalam konseling psikologis adalah seberapa besar sistem dukungan yang dimiliki oleh korban. Kalau keluarga tidak mendukung, punya tidak temen-temen yang mendukung? Bisa mendampingi ketika misalnya di luar ruang layanan. Misalnya kaya itu.
Kemudian keluarganya bagaimana? Kemudian ada tidak pihak lain yang mungkin bisa menunjukkan bahwa mereka itu peduli?
Dukungan itu sangat membantu dan masalah ini ya masalah pemulihan. Itu tidak bisa juga tujuannya supaya balik bermedia sosial.
Terkadang bentuknya tidak seperti itu. Maksudnya adalah sekadar dia bicara. Sekadar dia tetap berproses dengan kasusnya itu juga bentuk pemulihan yang luar biasa menurutku. Jadi sedikit progres itu baik. Dari segi manapun progres itu baik.
Dia masih mau datang ke ruang konseling itu sebenarnya sudah progres banget. Banyak dari mereka merasa tidak bakalan bisa.
Kasus kaya ini kalau misalnya tidak viral, mikirnya tidak bakalan jalan. Itu ‘kan cukup umum ditemui oleh teman-teman. Anggapan bahwa kalau tidak viral, tidak jalan kasusnya. Tetapi ‘kan tidak semua kasus bisa viral. Viral itu juga ‘kan seringkali pukulan balik buat korban. Jadi sulit dan seringkali kasus teror itu justru menambah trauma korban.
Bagaimanapun balik lagi soal tadi memastikan korban itu terdukung dengan baik itu tentu akan sangat membantu korban untuk pulih. Karena dalam prosesnya menemukan kami menyebutnya itu kalau dalam trauma itu pengalaman korektif.
Jadi pengalaman korektif, pengalaman yang memulihkan. Oh ternyata minta bantuan itu boleh dan tidak apa-apa. Oh ternyata akses konselor, akses psikolog itu cukup aman koq. Aku tidak akan disalahkan.
Lagi-lagi salah satu tantangan terbesar yang dialami korban awalnya adalah ketika saya bercerita itu orang akan mendukung saya atau justru akan menyalahkan saya?
Seringkali ketika dia bertemu orang yang masih sangat biased, tidak tahu yang namanya KBGO, tidak tahu kerentanan korban, dan sebagainya itu yang ditemui adalah menyalahkan korban.
Ketika berbicara pemulihan, tugas konselor, psikolog, psikiater tidak hanya misalnya melakukan terapi. Tidak cuma itu.
Salah satu yang penting dilakukan adalah melakukan psikoedukasi atau edukasi. Misalnya terkait keamanan digital.
Kalau tidak bisa dilakukan, tidak punya kapasitas untuk melakukan edukasi, setidaknya kasih informasi tentang SAFEnet, Purple Code, atau Awas KBGO dan sebagainya. Itu akan sangat membantu korban untuk kemudian belajar mengenai keamanan digital yang lebih baik.
Prohealth : Proses pemulihan psikologis korban KBGO jadinya memang berbeda dari lainnya?
AY : Pemulihan psikologis korban KBGO itu bisa jadi berbeda. Kenapa bilangnya bisa jadi? Karena tergantung kondisi korbannya. Kaya tadi sudah disebutkan tentang karakteristik korbannya. Kemudian korbannya itu akibat dari KBGO-nya itu mengalami gangguan psikologis, misalnya PTSD (Gangguan Stres Pasca Trauma), tentu saja ada terapi khusus untuk penanganan PTSD.
Prohealth : Bagaimana dengan kekerasan berbasis gender, termasuk KBGO, itu ‘kan sering dinormalisasi?
AY : Betul. Sering dinormalisasi. Itu yang membuat orang cenderung menyalahkan korban. Tentu saja penting dilakukan advokasi dan advokasi itu harus dilakukan secara kolektif atau bersama. Semua orang harus berpartisipasi, setidaknya sebar informasinya. Ketika ngomongin edukasi terkait kekerasan berbasis gender, kekerasan berbasis gender online, salah satu yang perlu difokuskan adalah edukasi orang supaya tidak menjadi pelaku dibandingkan edukasi orang supaya tidak jadi korban. Karena penyebab adanya suatu tindak kekerasan itu karena adanya pelaku.
Masalahnya banyak sekali orang beranggapan bahwa kekerasan itu terjadi karena korbannya tidak bisa menjaga diri. Pemahaman seperti itu sangat problematis makanya penting sekali ngasih tahu. Edukasi saat ini penting sekali. Ngasih tahu bahwa KBGO itu terjadi, KBGO itu nyata. Ini membebani sekali korban. Siapapun yang melakukan itu salah dan layak mendapatkan konsekuensi. Tentu saja kampanye seperti jangan menyalahkan korban tetap penting buat dilakukan.
Kampanye terkait keamanan digital juga tetap penting. Utamanya kalau untuk korban atau secara umum penting untuk mengampanyekan kami itu punya hak. Kami itu punya hak dilindungi data-datanya, informasinya, dan sebagainya sehingga orang-orang yang mendapatkan kekerasan itu tahu haknyalah yang telah dilanggar. Mereka sangat berhak untuk memproses itu dengan cara apapun.
Ketika ada yang menjadi korban itu adalah salah pelaku. Pelakunya harus mendapatkan hukuman, bukan korbannya.
Kalau ngomongin hukum ya ada misalnya UU TPKS. ‘Kan sudah ada walaupun namanya bukan KBGO tetapi KSBE (Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik). Meski beberapa bagiannya sangat diskriminatif tetapi penyebar NCII seharusnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Pornografi.
Masalahnya yang ditemukan di lapangan justru korbannya yang diancam dengan Undang-Undang ITE.
Itu juga secara sistem perlu diperbaiki. Bagaimana penanganan KBGO itu mau baik kalau sistemnya saja tidak baik? Tidak berpihak pada korban. Jadi kalau tadi ngomongin soal pemulihan, salah satu yang harus dilakukan adalah perubahan sistem. Sistem hukum, sistem kemasyarakatan, sistem dukungan, dan sebagainya. Jadi negara perlu hadir juga tentunya.
Prohealth : Bagaimana edukasi digital bisa berperan penting dalam mencegah KBGO dan mendorong publik lebih sensitif?
AY : Kalau ngomongin soal kampanye digital menurutku karena memang zamannya orang mencari informasi juga. Bahkan sekarang di sosial media. Walaupun tentu saja ada daerah yang tidak familiar dengan itu akibat infrastruktur tidak mendukung.
Tetapi di daerah yang memang sudah kenal internet dan sebagainya itu bisa menjadi sarana yang sangat efektif. Tentu saja jadinya tetap harus bersaing dengan informasi-informasi bodong ya. Karena ‘kan sosial media sangat bebas. Siapa saja bisa bikin, siapa saja bisa ngomong apa saja. Jadi kampanyenya juga perlu bersaing dengan hal-hal seperti itu.
Tetapi sangat mungkin informasinya sampai. Bahkan sekarang teman-teman lansia pun itu ‘kan banyak yang dapat informasi dari sosial media. Terus disebar di grup-grup WhatsApp. Jadi sangat bisa sampai ke mana-mana sebenarnya kalau ngomongin kampanye digital.
Cuma lagi-lagi karena persaingan dengan informasi bodong, hoaks, dan sebagainya. Jadinya perlu dipikirkan kembali bagaimana strategi yang efektif supaya algoritma orang itu bisa terarah ke informasi yang lebih tepat guna.
Kemudian tentu saja harapannya sih dari negara itu ada kontribusinya. Maksudnya negara itu bagaimanapun juga punya tanggungjawab.
Masa sih program lain bisa dikampanyekan lewat TV Nasional dan sebagainya dengan campur tangan negara sementara KBGO tidak bisa?
Jadi harapannya negara bisa hadir dan aku yakin kalau misalnya negara hadir itu akan sangat membantu kampanye digital juga atau kampanye dalam bentuk lain. ‘Kan negara juga tangannya banyak ya hingga ke daerah-daerah. Itu bisa memberdayakan akar rumput juga.
Lalu salah satu yang diharapkan dari pihak ini misalnya Meta atau platform lainnya. Harapannya platform bisa cukup tanggap soal KBGO.
Kami sebenarnya mengapresiasi Meta sudah mau memperbarui, sudah mau bekerja sama dengan lembaga layanan. Tetapi tentu saja tetap ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan kembali kaya misalnya sistemnya.
Selain sistem kemitraan itu cara apalagi yang bisa membuat Meta lebih cepat menangani atau merespon laporan KBGO. Misalnya kaya itu. Karena lagi-lagi itu salah satu yang sangat digembar-gemborkan paling efektif tetapi sangat terbatas juga untuk bisa mengakses.
Kalau tidak kenal sama lembaga layanannya bagaimana? Iya ‘kan?
Prohealth : Bagaimana jika kekerasan gender itu tidak nampak?
Itu salah satu hal yang biasanya ditanyakan juga ketika aku berbicara mengenai kekerasan basis gender di forum-forum. Banyak dari mereka itu juga bertanya hal serupa. Bagaimana sih kita bisa menyadari kalau misalnya teman kita mengalami itu? Bagaimana caranya supaya teman kita mau cerita sama kita kalau misalnya mereka mengalami kekerasan berbasis gender atau KBGO?
Yang bisa dilakukan adalah kita belajar dulu. Belajar untuk menjadi ruang aman bagi siapapun. Ketika orang belajar bahwa oh ya kekerasan basis gender itu ada. Apa saja? Bentuknya seperti apa? Tanpa diminta pun korban ketika melihat, oh dia bisa cukup aman untuk aku bercerita maka akan bercerita. Pertama itu.
Yang kedua adalah cukup sensitif tidak menjadikan kekerasan berbasis gender atau KBGO itu sebagai candaan. Karena itu yang menyebabkan orang-orang jadi lebih insensitif. Lebih tidak sensitif terhadap kekerasan. Jadi kita perlu banyak pihak untuk bilang stop melakukan candaan seksis, menjadikan tubuh perempuan itu sebagai candaan, sebagai lelucon. Aku tahu di media juga cukup banyak hal ini terjadi.
Karena aku juga terlibat di salah satu penelitian terkait KBGO terhadap jurnalis dan beberapa jurnalis dari penelitian itu menyatakan di kantor-kantor media itu candaan-candaan seksis yang menyasar tubuh perempuan atau jurnalis perempuan itu cukup banyak dilakukan jurnalis laki-laki atau bahkan di level manager.
Hal-hal seperti itu tentu saja akan menggerus sensitifitas orang. Menganggap hal kaya itu normal. Kalau ada yang mempermasalahkan berarti mereka saja yang terlalu sensitif, mereka yang sulit, dan sebagainya.
Jadi memang perubahan budaya supaya lebih sehat, supaya lebih akomodatif terhadap teman-teman korban itu sangat penting dilakukan bersama. Edukasi sih, edukasi diri.
Prohealth : Terkait sinergi antara pemerintah, platform, dan organisasi masyarakat sipil dalam menangani KBGO ini. Apa sinergi kolaborasi saat ini sudah cukup ideal?
AY : Pertanyaan mudah. Belum. Kalau misalnya sudah, sepertinya wawancara ini tidak dibutuhkan. Masih banyak hal yang perlu ditingkatkan. Keberpihakan negara dan sensor negara terhadap isu kekerasan berbasis gender secara umum itu sudah termasuk KBGO.
Saat ini KOMPAKS dalam kolaborasi antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) dan forum pengada layanan itu sedang membahas penanganan korban kekerasan.
Kolaborasinya sedang berjalan dan dilakukan pemetaan. Bagaimana negara dengan UPTD-nya (Unit Pelaksana Teknis Daerah) itu bisa berkolaborasi dengan pengada layanan yang berasal dari masyarakat sipil. Jadi mudah-mudahan kolaborasi ini atau kerjasama saat ini bisa berjalan lancar.
Karena salah satu yang dibicarakan adalah mekanisme penanganan yang bisa dilakukan dengan lebih baik untuk penanganan korban. Misalnya terkait rujukan, terkait dana. Karena banyak korban yang mengakses lembaga layanan masyarakat sipil. Tetapi lembaga layanan masyarakat sipil itu ada kalanya tidak punya fasilitas yang cukup. Sedangkan banyak korban yang memilih inginnya didampingi sama organisasi masyarakat sipil saja.
Nah sinergi yang bisa dilakukan misalnya saling bantu dalam edukasi, saling bantu dalam penanganan, saling bantu terkait dana. Karena beberapa pengada layanan masyarakat sipil itu terkendala terkait dana. Jadinya sulit sekali ketika harus penjangkauan.
Atau ketika korbannya itu berada di daerah yang sulit dijangkau oleh lembaga layanan terdekat itu ‘kan butuh dana, butuh transportasi, dan ada kalanya tidak ada sumber dayanya. Yang punya sumber daya tersebut misalnya dari UPTD. Bagaimana sistem pelaporannya dan sebagainya? Itu sih.
Prohealth : Apa bentuk dukungan paling berdampak yang biasanya dibutuhkan korban saat mengalami KBGO?
AY : Kalau awal banget adalah didengarkan tanpa menyalahkan dan itu sangat bisa dilakukan oleh siapapun. Sebenarnya itu adalah awal di mana korban bisa mulai percaya bahwa dia punya ruang aman sekecil apapun.
Terkait korban selalu yang dikampanyekan atau disebutkan pertama kali adalah mendengarkan. No judgement. Pikiran menyalahkan diri sendiri pada korban sudah jadi hambatan yang besar buat mau cerita dengan orang lain.
Selain ada juga rasa malu luar biasa, merasa tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Koq bisa percaya sama pelaku dan sebagainya. Itu sudah jadi beban tersendiri bagi korban.
Jadi apa yang paling berdampak? Pertama kali adalah didengarkan sih tanpa judgement. Dari situ beberapa kemudian bisa memproses dengan lebih baik. Mau mengakses layanan. Kemudian jadinya mau memproses lebih lanjut secara hukum dan sebagainya.
Prohealth : Beban setiap korban itu ‘kan berbeda. Bagaimana dengan korban yang sampai melukai diri?
AY : Begini terkait melukai diri, self harm. Itu bisa dibilang salah satu bentuk pengalihan dari rasa sakit yang dia rasakan secara mental untuk dipindahkan ke fisik. Bisa dibilang semacam koping yang maladaptif.
Jadi salah satu upaya untuk memindahkan rasa sakit psikologis itu ke fisik. Karena saking sakitnya, saking tidak tahannya, jadi dipindahkan ke fisik. Karena lebih bisa dirasakan kalau secara fisik. Biasanya yang melukai diri itu adalah orang-orang yang menderita luar biasa.
Kalau pencegahan agar orang tidak melakukan self harm itu penanganannya memang harus dengan profesional. Konselor, psikolog, psikiater itu sangat bisa membantu.
Banyak orang-orang yang melakukan self harm itu karena memang belajarnya seperti itu. Dalam artian banyak dari mereka melakukan self harm itu sejak mereka remaja.
Ketika remaja mereka melakukan itu karena stress, mengalami tekanan psikologis di keluarganya, dan sebagainya. Tetapi tidak tahu bagaimana cara mengeluarkannya. Tidak tahu bagaimana mengekspresikannya dengan cara lain yang mungkin lebih adaptif atau lebih sehat. Jadinya mereka menyakiti diri sendiri.
Beberapa berhenti di masa dewasa awal. Ketika mengalami tekanan luar biasa lagi atau mengalami peristiwa luar biasa menyakitkan termasuk KBGO atau kekerasan berbasis gender lainnya itu kemudian melakukan hal yang sama. Self harm kembali.
Karena itu penting sekali mengakses layanan psikologis sih. Selain of course dukungan yang ada. Misalnya dalam kondisi kritis, berbahaya bagi dirinya sendiri, dia punya keinginan untuk menyakiti dirinya, dan sebagainya itu alangkah baiknya kalau dia tidak sendiri.
Alangkah baiknya kalau punya kecenderungan menyakiti diri dengan benda tajam maka ada orang yang menyingkirkan benda-benda itu. Menemani dia dan sebagainya sebagai bentuk dukungan sampai akhirnya dia bisa mengakses layanan psikologis dengan profesional. Misalnya seperti itu.
Prohealth : Kalau kejadiannya seperti itu maka pendampingannya akan menjadi sangat khusus?
AY : Iya. Kalau berbicara pendampingan psikologis tidak bisa cuma sekadar soal konseling. Psikoterapi saja. Tetapi perlu yang namanya pendampingan komunitas. Jadi mendapatkan komunitas terdekat sebagai sistem dukungan yang bersangkutan.
Misalnya menemani korban itu ‘kan tidak bisa terus-terusan psikolognya. Psikolog, konselor itu ‘kan terbatas ya? Dia cuma bisa menemani selama di ruang konseling.
Sistem dukungan bisa membantu atau menemani korban itu menjadi sesuatu yang penting.
Kalau ternyata korbannya itu tidak dapat dukungan dari keluarga, tidak punya dukungan dari orang-orang sekitarnya, tidak ada teman, dan sebagainya maka negara penting buat hadir. Salah satunya menyediakan rumah aman.
Prohealth : Kalau di sekolah itu ‘kan biasanya ada guru bimbingan konseling ya? Itu penting juga?
AY : Penting kalau guru bimbingan konseling bekerja sesuai perannya. Karena salah satu hal yang aku tidak suka kalau zaman aku masih sekolah dulu, guru bimbingan konseling itu identik dengan guru yang akan menghukum anak-anak nakal.
Jadi siswa yang masuk ke ruang guru bimbingan konseling itu sudah langsung dianggap ada masalah. Langsung kaya itu stigmanya.
Sekarang mungkin sudah berubah ya? Kalau aku dengar sekarang setidaknya di tempat aku tinggal. Banyak yang melihat guru bimbingan konseling itu memang untuk mendukung siswa.
Ketika ngomongin soal pendampingan, salah satu yang harus ditumbuhkan itu adalah rasa percaya. Nah, rasa percaya itu tidak bisa serta merta orang kasih. Dia bisa dipercaya atau tidak?
Kalau ada guru bimbingan konseling ngegosipin muridnya lalu bagaimana mau percaya gurunya itu bisa jadi ruang aman?
Jadi ya itu guru bimbingan konseling tidak cuma guru. Guru siapapun itu bisa ya? Karena ‘kan yang namanya siswa bisa saja percaya kepada guru matematika atau guru yang lebih empatik sehingga mereka merasa nyaman.
Menurutku semua guru, tidak hanya guru bimbingan konseling itu perlu menyadari bahwa kekerasan berbasis gender itu ada, nyata, dan sangat mungkin terjadi.
Kalau ngomongin soal sekolah, aku ingat sekali waktu itu pernah mau ngasih materi ke sekolah dan salah satu yang diminta mengenai kenakalan remaja. Aku sangat berkeberatan. Belum apa-apa, anak-anak sudah distigma nakal.
Buat aku itu problematis ketika misalnya terjadi kekerasan seksual lalu orang langsung mikirnya ini anaknya yang kecentilan nih. Bagaimana korbannya mau bicara? Bagaimana korbannya mau mendapat dukungan kalau misalnya stigma itu sudah nempel duluan? Jadi perihal kekerasan berbasis gender itu penting buat ditindaklanjuti oleh guru.
Lagi-lagi ngomongin kekerasan berbasis gender itu tidak lepas dari sistem. Kalau sistemnya kacau, wah kasihan buat teman-teman yang kemudian menjadi korban.
Prohealth : Ada pesan penutup yang hendak disampaikan?
AY : Pelajari hak teman-teman ya? Teman-teman punya hak untuk terlindungi, punya hak untuk tidak mendapatkan kekerasan.
Kalau terjadi kekerasan, dirimu berhak mendapatkan bantuan, berhak untuk didukung. Cari orang-orang yang bisa mendukungmu. Lembaga-lembaga yang sangat mungkin untuk membantumu lanjut. Kalau misalnya jadi korban, kita tidak mesti sendirian.
Untuk pelaku akan ada konsekuensinya. Please jangan melakukan kekerasan.
Ada banyak cara untuk belajar untuk tidak melakukan kekerasan. Salah satunya adalah tidak melakukan kekerasan. That’s it.
Editor : Fidelis Eka Satriastanti
Discussion about this post