Jakarta, Prohealth.id – Ruang siber mengancam banyak perempuan. Mereka menjadi korban penyalahgunaan aplikasi dan platform digital. Seperti penyebaran konten intim tanpa persetujuan, pelecehan daring, hingga eksploitasi seksual dan ekonomi. Kali ini Pro Health mewawancara LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta.
Said Niam, Pengacara Publik dari LBH APIK Jakarta, menyebutkan kekosongan perlindungan hukum di Indonesia terhadap korban kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) atau kekerasan seksual berbasis online (KBGO) sudah diakomodir dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Tetapi hal tersebut bukan berarti sudah tidak ada lagi tantangan dan hambatan.
Dalam wawancara ini dia menyoroti tidak saja aspek legalistik. Tetapi juga menekankan aspek holistik hingga konteks kerentanan sosial dan gender.
Berikut wawancara Pro Health dengan Said Niam dari Divisi Pelayanan Hukum dari LBH APIK Jakarta.
Prohealth : Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) apa yang paling banyak dilaporkan?
Said Niam (SN) : Kami melihat sejarah dulu mengapa waktu itu mendorong Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) dimasukkan ke dalam Undang-Undang TPKS. Karena, di dalam Undang-Undang ITE tidak semua mengakomodir tindak pidana yang dialami oleh korban. Karena, di Undang-Undang ITE itu yang diancam, diatur pidananya itu terkait dengan penyebaran, distribusi, terkait dengan suatu konten asusila. Lalu, pencemaran nama baik serta ancaman dengan kekerasan terhadap seseorang.
Sementara kasus yang dialami sebelum ada Undang-Undang TPKS itu banyak banget korban direkam secara diam-diam oleh pelaku. Kemudian, foto atau video tersebut yang mengandung asusila itu digunakan sebagai alat untuk mengancam atau mengeksploitasi bahkan secara seksual maupun ekonomi.
Bisa jadi juga saat membuat video atau fotonya itu konsen, hanya sebatas koleksi pribadi untuk tidak disebarluaskan. Tetapi, prakteiknya di lapangan banyak sekali pelaku, misalkan itu statusnya diputuskan pacarnya atau diceraikan istrinya, kemudian menjadikannya alat untuk mengancam. Korban diancam jika tidak menuruti keinginannya, maka video atau fotonya akan disebarluaskan.
Banyak korban perempuan khususnya. Bisa juga laki-laki. Tetapi, kebanyakan perempuan yang menerima foto atau video yang berkaitan dengan asusila. Jadi, menerima foto atau video itu mungkin maksud dan tujuannya untuk mengajak berbuat hubungan seksual. Sementara pihak korban tidak merasa nyaman begitu. Bahkan beberapa pelaku itu tidak dikenal korban. Kalau dijabarkan memang akan jauh lebih panjang.
Kalau kami menyebut KBGO itu termasuk KSBE juga. Kalau KSBE itu tidak termasuk ke dalam ancaman pidana yang diatur di UU ITE. Muatan tindak pidana yang dialami korban yang belum termuat dalam Undang-Undang ITE itu kami masukkan ke dalam Undang-Undang TPKS.
Lalu apa saja kasus yang kerap diterima oleh LBH Apik Jakarta? Salah satunya adalah ancaman penyebaran. Kalau dulu waktu zaman pandemi itu memang pertemuan secara langsung itu ‘kan terbatas. Tidak sesering kaya sekarang. Bahkan pacarannya hanya online.
Jadi banyak sekali pelaku itu pada saat itu melakukan video call atau bahkan video call sex (VCS). Mungkin pada saat VCS itu konsern. Tetapi direkam atau di-screenshot. Kemudian foto dan video itu diperalat pelaku untuk memeras korban ataupun meminta ketemu secara langsung untuk melakukan hubungan seksual itu dan sebagainya. Kasus-kasus itu yang kemudian berkembang.
Polanya itu sama sampai dengan sekarang. Waktu itu memang kerap terjadi pada saat pandemi. Tetapi sekarang masih sama. Jadi rata-rata demikian. Nah itu beberapa kasus KBGO yang kerap ditangani LBH APIK Jakarta.
Dulu mekanismenya kalau sudah disebar itu baru bisa kami menggunakan Undang-Undang ITE. Tetapi kalau hanya sebatas ancaman waktu itu belum bisa. Karena di dalam Undang-Undang ITE itu ancaman bermakna kekerasan.
Waktu itu kami sempat berdebat dengan pihak penyidik bahwa ancaman kekerasan bukan melulu soal fisik. Tetapi dengan cara akan disebarluaskan maka secara psikis itu masuk ke dalam kekerasan. Ini kerap ditolak sehingga ada kekosongan hukum waktu itu sehingga banyak korban yang mengalami ancaman akan disebarluaskan itu tidak bisa melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian. Yang sudah disebar malah dilaporkan secara pidana.
Sejak ada Undang-Undang TPKS ini bisa menggunakan pendekatan atau dua pasal yang diatur di dalam Undang-Undang ITE maupun yang diatur di dalam Undang-Undang TPKS. Itu regulasi yang biasanya kami gunakan pada saat menyikapi situasi ketika ada korban yang datang ke LBH Apik Jakarta meminta pendampingan secara hukum.
Prohealth : Kalau sebelum UU TPKS diundangkan itu advokasi korban KBGO susah?
SN : Iya, susah melaporkan kasusnya ke polisi untuk diusut siapa pelakunya. Meskipun kadang-kadang sudah jelas pelakunya.
Pertama, kalau tidak orang yang tidak dia kenal, anonimus kaya itu, secara identitas tidak diketahui sama sekali. Kedua, kadang-kadang orang terdekatnya. Yaitu pacarnya sendiri atau bahkan mantan suaminya yang sudah diceraikan istrinya. Lalu dia tidak terima sehingga mengancam akan menyebarluaskan itu.
Sebenarnya kalau orang-orang yang identitasnya jelas apalagi sebelumnya sudah ada hubungan dengan korban ‘kan idealnya tidak sulit untuk mengungkap peristiwa pidananya. Sementara sudah ada bukti ancamannya. Ada saksinya misalnya.
Kalau melihat di dalam hukum acara pidana itu ‘kan sebenarnya dua alat bukti. Dua alat bukti itu bisa misalkan bukti digital forensik yang terkait dengan ancamannya. Berikutnya terkait dengan saksi misalnya pada saat dia mengancam itu ‘kan bisa saja ada temannya yang mengetahui. Karena korbannya mungkin cerita kepada teman atau saudaranya. Nah itu ‘kan setidaknya bisa terpenuhi baik unsurnya maupun buktinya untuk diproses lebih lanjut ke pengadilan.
Tetapi faktanya tidak segampang itu. Karena terbentur selain regulasi yang ada sebelumnya juga terkait perspektif yang dimiliki APH (aparat penegak hukum) untuk korbannya itu.
Prohealth : Kalau pasca diundangkan kemudian UU TPKS ini bisa jadi instrumen yang cukup kuat?
SN : Undang-Undang TPKS cukup progresif karena undang-undang itu mengatur hukum acaranya sendiri dan mengatur terkait dengan hak korban. Hal itu tidak diatur dalam undang-undang lainnya.
Kalau di Undang-Undang TPKS itu sudah mengatur secara detail terkait hak-hak korban apa saja yang dapat dipenuhi pada saat dia mengalami korban KS maupun KSBE. Itu diatur.
Sementara kelemahan di undang-undang lainnya tidak mengatur terkait itu. Meskipun kalau kami melihat ancaman pidana penjaranya, ancaman hukumannya yang lebih tinggi ada di Undang-Undang ITE, daripada KSBE di Undang-Undang TPKS.
Sebenarnya kalau bicara terkait dengan keadilan bukan hanya ancaman pidana penjara saja yang dibutuhkan korban. Tetapi juga terkait dengan mekanisme hak-hak korban yang harus dibuat, diatur, di dalam undang-undang itu.
Di Undang-Undang TPKS ini sudah sangat jelas mengatur terkait hak-hak korban sehingga pada saat membuat laporan itu bukan hanya saja berbicara terkait dengan pidananya. Tetapi juga ada hak atas pemulihan, hak atas penanganan, hak atas restitusi. Pemulihan, perlindungan, penanganan, kalau bicara terkait dengan Undang-Undang TPKS.
Ada satu lagi sebenarnya itu pencegahan. Tetapi pencegahan ‘kan mandatnya di pemerintah untuk melakukan sosialisasi bentuk-bentuk KS dan sebagainya.
Tetapi hak yang didapatkan korban itu setidaknya ada tiga itu. Hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan. Itu yang sudah diatur rigid.
Prohealth : Apa tantangan utamanya yang dihadapi korban saat melapor?
SN : Tantangan dan hambatan utama itu sebenarnya ada pada perspektif para APH ini.
Meskipun kalau kita bicara terkait dengan Undang-Undang TPKS ‘kan unit yang berwenang untuk menangani perkara ini adalah Unit PPA sebenarnya. Terkadang beberapa kasus itu masuk ke siber.
Salah satu hambatannya itu adalah di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) itu garda terdepan untuk menerima pengaduan masyarakat secara langsung. Terkadang SPKT tidak bisa menginformasikan terkait hak-hak korban.
Lalu tidak bisa mencantumkan pasal tepat yang seharusnya digunakan terhadap perkara tersebut sehingga normatif saja. Nah itu salah satu hambatan utamanya.
Terus Unit PPA yang menangani kasus KSBE ini yang sudah dimandatkan dalam Undang-Undang TPKS itu juga nanti akan beririsan dengan kriminal siber. Karena untuk pembuktian digital forensik di Unit PPA itu memang tidak punya alatnya. Yang memiliki alatnya adalah kriminal siber.
Sementara Unit PPA itu dalam penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum itu sudah dibekali dengan pelatihan sehingga di Unit PPA idealnya sih sudah memiliki, sudah mendapatkan pelatihan, dan sudah memiliki sertifikasi sehingga tidak ada lagi biased penanganan. Meskipun dalam prakteknya tidak semuanya sebagus itu. Tetapi setidaknya jauh lebih bagus perspektifnya dengan unit yang lain.
Tetapi lagi-lagi karena alat digital forensiknya itu di Kriminal Siber sehingga kasus ini beririsan. Mekanisme koordinasi antara Siber dengan Unit PPA itu juga akan menghambat penanganan kasus dihadapi korban. Cenderung penanganan kasusnya itu lama. Karena mereka tidak punya sistem koordinasi yang atau mekanisme koordinasi yang jelas. Nah itu juga masuk ke dalam catatan kita.
Terkait dengan hambatan gender APH di mana kasus-kasus KBGO idealnya itu polisinya punya gender yang sama. Misalnya korbannya perempuan idealnya penyidik atau APH perempuan. Karena kasus-kasus ini ‘kan kasus sensitif. Bisa jadi korban tidak nyaman kalau APH-nya itu laki-laki. Kalau Unit PPA sudah dipastikan ada APH yang memiliki gender jenis kelamin perempuan.
Sementara tadi saya bilang belum tentu kasus KBGO itu masuk ke Unit PPA. Bisa jadi masuk ke Unit Kriminal Siber. Unit Kriminal Siber sendiri di daerah-daerah bisa dipastikan itu kebanyakan laki-laki dan bisa jadi Unit Kriminal Siber tidak ada perempuannya. Sementara korban itu tidak nyaman kalau misalkan tidak didampingi oleh perempuan. Karena bisa jadi mungkin foto atau videonya dilihatin dan sebagainya.
Itu juga menjadi hambatan tersendiri bagi korban ketika mengadukan kasusnya. Dia harusnya mendapatkan perlindungan atau tempat yang nyaman dan aman pada saat membuat pelaporan. Tetapi itu tidak terjadi karena APH yang ada di kepolisian tidak semuanya memiliki jenis kelamin sama yang dialami oleh korban itu sendiri. Itu sih setidaknya hambatan dan tantangan yang dialami korban.
Satu lagi terkait dengan mekanisme siapa yang melakukan take down dan sebagainya itu belum jelas. Karena prakteknya kadang-kadang korban itu hanya membutuhkan supaya konten video asusila yang yang dialami itu cukup di-take down saja sebenarnya. Kadang-kadang korban tidak mau melanjutkan tetapi yang pasti dia ingin kontennya itu di-take down. Tidak ada mekanisme yang jelas dan cenderung lempar tangan.
Kalau misalnya itu wilayah Kominfo, atau sekarang Komdigi, itu juga harusnya punya sistem koordinasi atau rujukan kasus yang jelas sehingga hak-hak korban tadi bisa diakomodir sepenuhnya.
Prohealth : Apa ada mekanisme perlindungan khusus bagi korban KBGO yang menghadapi intimidasi, doxxing, atau penyebaran data pribadi?
SN : Sejauh ini perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini hanya sekadar fisik. Kalau di dunia digital sepanjang yang saya dampingi kasus-kasus itu memang tidak ada bagaimana mekanisme perlindungan korban KBGO ketika misalnya dia mengalami teror yang sedemikian rupa.
Lalu ancaman melalui digital kemudian disebarluaskan semakin marak dan sebagainya. Atau bahkan penyebaran data pribadi. Memang sejauh ini APH belum ada mekanisme perlindungan itu.
Yang ada itu memang hanya fisik ketika dia mendapatkan ancaman dan sebagainya. Dalam hal ini lembaga yang berwenang untuk melindungi saksi dan korban yaitu lembaga LPSK. Hanya sebatas itu saja.
Di dunia digital memang belum ada mekanisme perlindungan khusus bagi korban KBGO.
Prohealth : Bagaimana peran pendamping hukum dalam memastikan pemulihan korban secara menyeluruh termasuk atas layanan psikologis dan perlindungan privasi?
SN : Kalau untuk memastikan pemulihan itu konteksnya di kami, di LBH APIK Jakarta, bekerja sama dengan beberapa lembaga psikolog maupun psikiater.
Ketika korban membutuhkan pemulihan maka kami bisa rujuk ke sana dan di lembaga pemerintah itu juga ada asesmen bukan hanya pada saat konseling. Konseling psikologis itu juga ada dalam hal ini. Biasanya yang menangani pemulihan psikologis itu UPTD P3A di bawah naungan Kementerian PPA. Di LPSK ada juga psikolog yang akan melakukan konseling psikologis kepada korban.
Untuk perlindungan privasi, kami belum melihat adanya itu. Kami melihatnya memang di negara ini belum ada perlindungan privasi meskipun di kemudian hari sudah diundangkan Undang-Undang PDP, Perlindungan Data Pribadi.
Prohealth : Lalu bagaimana perlindungannya agar nama-nama korban itu tidak muncul di putusan?
SN : Terkait dengan perlindungan korban KS, kekerasan seksual, atau terhadap anak itu sudah ada dalam aturan internal di Mahkamah Agung. Itu memang tidak boleh dipublikasi.
Bukan putusannya ya? Tetapi alamat, namanya itu disamarkan, diinisialkan, atau bahkan dicoret. Dikaburkan begitu namanya itu sudah ada sebenarnya.
Tetapi kembali lagi kadang-kadang aturan itu tidak seindah yang kita bayangkan. Penerapannya, implementasinya, masih ada kadang-kadang yang bolong atau melanggar aturan internal Mahkamah Agung itu sendiri.
Bahkan di kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami korban itu beberapa putusan kami temui itu tidak diinisialkan atau tidak dirahasiakan identitas korbannya itu.
Apalagi kasus KBGO yang menggunakannya Undang-Undang ITE. Itu hampir dipastikan tidak dijaga kerahasiaannya korban sehingga itu sangat jelas berdampak kepada korban. Misalkan korbannya belum menikah. Padahal waktunya berjangka panjang sehingga itu menimbulkan kecemasan tersendiri bagi korban.
Jadi memang sepengetahuanku itu kasus KS dan kasus anak sebenarnya dilindungi privasinya.
Tetapi terhadap kasus-kasus yang KBGO, apalagi pasal yang digunakan adalah pasal 27 Undang-Undang ITE, kebanyakan tidak dirahasiakan dan cenderung dipublikasi.
Prohealth : Kalau pelakunya punya kuasa bagaimana? Apa itu bisa mempengaruhi proses hukum?
SN : Iya, betul. Terkadang kasus cepat naik ke pengadilan atau tidak itu bukan hanya masalah hukum atau hukum acara, pembuktian, dan sebagainya.
Tetapi kadang-kadang juga intervensi politik di mana pelaku mempunyai jabatan atau mempunyai finansial yang bisa cenderung mempengaruhi proses hukum baik itu di kepolisian maupun di pengadilan. Apalagi kalau pelakunya adalah militer. Nah itu intevensinya cukup kencang. Bisa dikatakan pasti terjadi. Tidak mungkin tidak.
Terus apa kebutuhan korban nanti pasti akan dipenuhi semuanya oleh pelaku. Baik itu materi, pendidikan, usaha, atau apapun itu.
Lobi-lobi itu pasti dilakukan orang-orang yang mempunyai kuasa. Baik itu punya jabatan atau uang. Itu kerap terjadi sehingga akan memperlambat proses hukum di peradilan.
Prohealth : Bagaimana iika korban ini punya ini permasalahan dengan diskriminasi tambahan. Misalkan perempuan disabilitas, minoritas seksual, atau perempuan dengan HIV/AIDS?
SN : Sebenarnya tergantung apa dulu bentuk diskriminasi yang dialami oleh korban terkait pembukaan identitasnya. Misalkan keberagaman gender. Kalau kami menyebutnya keberagaman gender bukan mitos seksual. Keberagaman gender, ODHA, ODHIV, atau perempuan disabilitas?
Setiap kerentanan korban itu mempunyai efek tersendiri. Kalau misalnya kasusnya outing itu memang agak sulit membuat laporan ke polisi terkait dengan statusnya itu dia ODHA, ODHIV, dan sebagainya.
Karena sependek sepengalaman kami belum ada cantolan regulasinya untuk melaporkan seseorang yang melakukan outing. Outing itu pembukaan identitas tersebut. Misalkan keberagaman gender, atau HIV, AIDS.
Apabila dia mengalami diskriminasi misalnya diteror, bahkan dicaci maki, atau mendapatkan perundungan itu ‘kan ada cantolan regulasi yang bisa dipakai. Salah satunya di KUHP terkait dengan perundungan.
Atau misalkan dia sampai dianiaya, diarak, dan sebagainya. Di beberapa tempat kasus itu ‘kan terjadi. Kalau terjadi hal-hal demikian tentu kami bisa melaporkan atau proses ke hukum karena sudah ada cantolan hukumnya. Meskipun dalam prakteknya tu tidak semudah yang kita bayangkan juga.
Karena beberapa kali korban apa yang mengalami diskriminasi terkait dengan keberagaman gender, HIV, AIDS, dan sebagainya itu enggan untuk membuat laporan polisi. Karena dia menyadari belum tentu pada saat laporan polisi itu akan menyelesaikan perkaranya. Tetapi terkadang justru dia menjadi korban kedua kali atas diskriminasi yang dilakukan APH kepada dia.
Ditambah teman-teman keberagaman gender belum tentu punya identitas yang lengkap. Sementara salah satu membuat laporan polisi itu melampirkan identitas lengkapnya. Itu juga menjadi hambatan tersendiri yang dialami korban diskriminasi itu tadi.
Kalau untuk perempuan disabilitas harusnya clear pada saat membuat laporan polisi. APH biasanya bersedia untuk menangani. Meskipun dalam beberapa kesempatan tidak ada akomodasi yang layak bagi disabilitas. Misalnya disabilitas netra, tuli, dan sebagainya belum tentu mereka punya fasilitas yang ada. Fasilitas yang ada misalkan juru bahasa isyarat dan sebagainya. Tidak semua di kepolisian itu ada. Ini menjadi salah satu hambatan tersendiri yang dialami oleh korban disabilitas khususnya.
Prohealth : Kalau korban itu anak atau kasusnya korban dan pelaku itu sama-sama anak itu pakai UU TPKS atau Undang-Undang Perlindungan Anak ya?
SN : Undang-Undang Perlindungan Anak.
Prohealth : Dalam kasus tersebut pendekatannya bagaimana?
SN : Banyak sih terhadap kasus-kasus kaya itu bentuk advokasi yang kami lakukan. Karena tidak semua baik korban atau pelaku paham perbuatan atau peristiwa tersebut merupakan tindak pidana.
Memang harus dilakukan kesadaran dulu. Pemahaman, edukasi, begitu ya? Bentuk-bentuk kekerasan seksual, bentuk-bentuk diskriminasi, dan sebagainya.
Lalu kemudian baru kita memasukkan terkait upaya apa yang bisa dilakukan terhadap korban. Kemudian hak-hak korban kalau misalkan mau membuat aduan ke kepolisian.
Nah terhadap pelaku dan korban anak itu sudah jelas dipastikan undang-undang yang akan dipakai itu adalah Undang-Undang Perlindungan Anak. Karena Undang-Undang Perlindungan Anak ini spesifik.
Perbedaannya dengan undang-undang lain itu adalah terkait dengan batas usia. Kalau usianya di atas 18 tahun untuk korban maka tidak bisa dipakai Undang-Undang Perlindungan Anak. Tetapi kalau korbannya di bawah 18 tahun maka undang-undang yang dipakai itu Undang-Undang Perlindungan Anak.
Untuk pelaku itu sistem peradilan juga beda. Tidak kaya orang dewasa. Karena di Indonesia ‘kan sudah ada SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak). Nanti mekanisme peradilan yang akan digunakan itu adalah SPPA itu. Bukan acara pidana umum atau orang dewasa.
Karena pasti untuk tuntutannya di bawah, setengah dari tuntutan orang dewasa. Terus anak di lapasnya tidak boleh digabungkan dengan orang dewasa. Mereka juga wajib mendapatkan konseling. Terus wajib didampingi Bapas, Badan Pemasyarakatan, untuk anak itu dan lain sebagainya. Nah itu juga ada hak-hak yang diatur di dalam SPPA terkait dengan anak yang tentunya sangat berbeda dengan orang dewasa.
Kalau misalkan bicara terkait dengan kasus tadi ya jelas itu pidana. Begitu ‘kan? Sebaiknya bagaimana? Ya membuat laporan polisi karena bagaimanapun meskipun itu pelakunya anak tetapi ketika dia sudah remaja itu juga bisa dipidana.
Yang tidak bisa dipidana itu memang benar-benar anak balita di bawah lima tahun. Tetapi ‘kan kecil kemungkinan dia melakukan tindak pidana.
Prohealth : Bagaimana pengaruhnya terhadap hak anaknya seperti sekolah, pendidikan?
SN : Dalam beberapa kasus kami menangani pelaku yang adalah anak perempuan. Kalau di APIK itu sebenarnya PBH, perempuan berhadapan dengan hukum, kami tangani baik sebagai korban, saksi, pelapor, maupun anak. Tetapi anak juga harus perempuan.
Meskipun kami asesmen lebih lanjut ya? Apakah kasus ini ada KBG, kekerasan berbasis gendernya, atau memang tindak pidana yang tidak ada kaitannya dengan KBG.
Tetapi kami tangani beberapa kasus yang tidak ada kaitannya dengan KBG. Karena kami tidak yakin tindak pidana murni tanpa ada asas kausalitas.
Prohealth : Terkait KBGO tentunya tidak lepas dari peran platform digital. Baik media sosial, situs web, terus penyedia konten. Bagaimana mengintervensinya?
SN : LBH APIK Jakarta juga sempat kerjasama dengan Facebook. Sekarang Meta.
Dengan Meta itu spesifik memang terkait dengan kasus-kasus pelecehan seksual. Setahuku memang ada aturannya tidak boleh menyalahgunakan media sosial bertentangan dengan undang undang.
Memang di aturan mereka sudah ada. Karena mungkin banyak penggunanya dan yang mengontrol itu sedikit sehingga dia berperan, bergerak, ketika ada aduan memang. Aduan itu pasti akan ditindaklanjuti. Apalagi waktu itu konsern di isu KS juga. Karena erat kaitannya dengan pendampingan kasus yang dilakukan LBH APIK Jakarta waktu itu.
Waktu itu kami bekerja sama dengan Meta. Lalu terhadap aduan yang khususnya datang dari lembaga layanan, LBH APIK Jakarta, itu akan ditindaklanjuti secara tegas dan serius. Mereka bersedia untuk bekerjasama kalau misalkan diminta bukti dan sebagainya. Hanya sebatas itu sebenarnya.
Aku lihat juga mereka ada beberapa kali sosialisasi pencegahan terkait dengan kasus KBGO itu. Tetapi hanya sebatas pencegahan dan sebagai aduan standar bersedia mendukung kasusnya. Tetapi memang tidak persis sampai proses ke kepolisian kalau misalkan dijadikan saksi. Itu mereka tidak bersedia. Setahuku hanya sebatas itu.
Mereka juga bisa melakukan take down. Take down untuk beberapa konten asusila itu. Tetapi ‘kan mereka tidak bisa membatasi siapa saja.
Kalau misalkan ada aduan maka Meta bisa men-track tuh. Tetapi ‘kan hanya sebatas itu. Terhadap inisial yang berbeda, dengan pelaku yang berbeda, itu selagi tidak ada aduan, report dari kita, itu juga mereka tidak bisa untuk melakukan kontrol itu.
Kalau ada aduan dari kita itu mereka bisa untuk melakukan take down dan lain sebagainya. Tetapi Meta juga tidak bisa memungkiri, tidak bisa menghindar, kalau misalkan ada pelaku kemudian mengunggah lagi meskipun konten yang sebelumnya sudah di-take down. Itu juga menjadi tantangan tersendiri bagi korban-korban KBGO.
Waktu itu memang ‘kan diskusi terpumpun terkait dengan apa saja yang Meta bisa lakukan dalam upaya pencegahan. Karena itu sangat penting untuk melakukan pencegahan sebelum terjadi peristiwa.
Meta pernah waktu itu sempat minta kami memberi masukan kira-kira apa saja yang perlu dilakukan, upaya pencegahan, dan kalau diminta korban itu upaya apa yang bisa dilakukan? Waktu itu diskusinya hanya sebatas itu saja.
Kami juga tidak bisa mensomasi Meta dan sebagainya. Hanya sebatas itu saja. Jadi tidak bisa melakukan upaya intervensi hukum lebih lanjut kepada sosial media.
Sepengetahuan kami juga beberapa instansi Pemerintah itu baik Kepolisian maupun Kementerian juga bekerja sama dengan beberapa platform digital. Baik itu sosial media, website, dan lain sebagainya. Karena itu pasti nanti ada kaitannya nanti dengan pengupayaan kasus dan lain sebagainya.
Tetapi di LBH Apik Jakarta sendiri itu hanya sebatas itu. Hanya MoU saja. Tidak sampai ada konsekuensi hukum kalau misalkan tidak menjalankan MoU itu dan sebagainya.
Hanya sifatnya bekerja sama dan upaya pendampingan hukum yang bisa dilakukan itu ya paling melakukan aduan. Lalu kemudian meminta kerjasama kalau misalkan ada bukti yang terlampir di dalam platform digital itu.
Dan kebanyakan korban ‘kan memintanya adalah untuk di-take down konten-konten itu. Paling hanya sebatas itu saja upaya atau intervensi hukum yang bisa kita lakukan kepada platform digital ini.
Prohealth : Bagaimana tanggapan platform dalam menindaklanjutinya?
SN : Berdasarkan pengalaman di kami ya? Itu kalau di Facebook oke. Instagram oke. Yang tidak oke itu dulu di Twitter. Tetapi tidak tahu sekarang ketika sudah beralih kepemilikan.
Terus di akun aplikasi kencan tertentu itu juga kami tidak bisa mengakses atau menjangkau. Jadi tidak semua itu mau bersedia bekerja sama dengan kami atau penegak hukum.
Hanya platform digital yang mungkin stafnya punya isu konsern terkait KS, KBGO, dan sebagainya saja yang bersedia bekerja sama dengan APH maupun dengan lembaga layanan.
Editor : Fidelis Eka Satriastanti
Discussion about this post