Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

Rapor Penerapan Cukai Rokok di Indonesia Masih Jeblok

Komnas Pengendalian Tembakau membagikan pembelajaran kebijakan cukai produk tembakau di Indonesia dalam IHEA Congress 2025 di Bali.

by Admin
Monday, 21 July 2025
A A
Rapor Penerapan Cukai Rokok di Indonesia Masih Jeblok

Komnas Pengendalian Tembakau membagikan pembelajaran cukai rokok di Indonesia dalam IHEA Congress 2025.

Bali, Prohealth.id – Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mengadakan workshop bersama para pakar ekonomi kesehatan, pembuat kebijakan, serta organisasi masyarakat sipil. Workshop ini bertajuk, “Kerangka Cukai Produk Tembakau untuk Mengoptimalkan Pembiayaan Kesehatan Nasional”.

Acara ini menjadi bagian dalam International Health Economics  Association (IHEA) Pre-Congress 2025 di Bali International Convention Centre (BICC). Kegiatan ini berisikan para delegasi negara-negara peserta IHEA Congress. Setiap negara berbagi pengalaman dan pemahaman tentang kebijakan cukai tembakau sebagai langkah strategis dalam memperkuat pembiayaan kesehatan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

BacaJuga

BISNIS DAN HAM: Pentingnya Memitigasi Dampak Negatif PSN

KECELAKAAN KERJA: PTP Nonpetikemas Kembali Tegaskan Komitmen K3

Dalam hal ini, Komnas PT memperkenalkan instrumen cukai hasil tembakau (CHT) sebagai pengendali konsumsi rokok untuk Kesehatan masyarakat sekaligus memberi dampak ekonomi yang positif terhadap output nasional, lapangan kerja, dan pendapatan pekerja.

Sebagai lesson learn, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi produk tembakau (rokok) yang tinggi di dunia dengan peningkatan lima tahun terakhir, yaitu sekitar 29,7 persen dari populasi orang dewasa di Indonesia. Tingkat konsumsi yang tinggi ini menimbulkan beban kesehatan yang besar karena konsumsi rokok merupakan factor resiko utama dari berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker, hipertensi dan gangguan pernafasan.

Pada tahun 2019, rokok menjadi faktor penyebab 17 persen kematian, dan 21 persen penyakit kronis. Biaya kesehatan penyakit akibat rokok diperkirakan berkisar antara Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun pada tahun 2019 berdasarkan riset CISDI tahun 2021. Angka ini setara dengan 61,75 persen hingga 91,8 persen total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun tersebut, serta setara dengan 0,1 persen hingga 0,2 persen dari PDB negara.

Artinya, pemerintah masih perlu membuat rokok tidak terjangkau untuk menekan beban Kesehatan yang masih begitu besar. Sementara itu, penerimaan negara dari cukai tembakau belum dimanfaatkan secara optimal sebagai instrumen fiskal untuk menekan prevalensi merokok dan memperkuat pendanaan sektor kesehatan.

Dalam pendahuluannya, Prof Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menyoroti ironi; Indonesia tengah bersiap menyongsong Indonesia Emas 2045. Ini adalah sebuah visi besar untuk menjadi negara maju di usia kemerdekaan ke-100.

Namun pada saat yang sama, Indonesia juga masih menjadi salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Indonesia berada di dua jalur yang bertolak belakang. Pertama, menuju bangsa maju, atau terperangkap dalam beban penyakit akibat produk adiktif yang merusak generasi produktif.

Ia menjelaskan, masalah utama bagi Indonesia adalah meningkatnya jumlah perokok elektronik di kalangan anak-anak dan pelajar. Hal ini salah satunya karena Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani FCTC.

“Akibatnya, harga rokok masih sangat murah dan masyarakat Indonesia menghabiskan uang mereka untuk membeli rokok.” ungkapnya.

Jeffrey Drope, PhD, Research Professor di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health membagikan pembelajaran dari berbagai negara di dunia yang telah berhasil menurunkan angka perokok. Khususnya melalui instrumen cukai tembakau. Bahkan yang lebih penting lagi, bagaimana mereka menggunakan pendapatan dari cukai tersebut untuk memperkuat system kesehatan mereka.

Ia menjelaskan, telah melihat selama 25-30 tahun terakhir, seiring dengan peningkatan cukai rokok terjadi peningkatan hasil kesehatan di seluruh dunia. Utamanya di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah dan hal ini juga memiliki efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Kedua hal ini saling terkait karena yang kita ketahui bahwa orang yang sehat juga lebih produktif secara ekonomi,” katanya.

Kenaikan cukai hasil tembakau adalah instrumen kebijakan fiskal yang sangat efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok. Dari perspektif kesehatan masyarakat, setiap persen kenaikan cukai berkontribusi langsung pada penurunan prevalensi perokok. Khususnya di kalangan anak-anak dan remaja, yang paling rentan terhadap harga rokok murah.

Hal ini seperti yang ditekankan oleh dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), Kementerian Kesehatan RI. Ia menyebut, tugas Kemenkes adalah mendukung Kementerian Keuangan untuk menaikkan tarif cukai produk tembakau dan rokok elektronik. Tujuannya untuk mengurangi prevalensi perokok anak serta melakukan penyederhanaan cukai.

“Hal ini dimulai dengan menyesuaikan selisih harga eceran minimum (HJE) antar berbagai kategori rokok.”

Abdillah Ahsan dalam paparannya mengungkapkan bahwa Indonesia terlambat dalam mereformasi kebijakan cukai hasil tembakau. Negara-negara lain sudah lebih dulu menyederhanakan struktur tarif. Bahkan, menaikkan cukai secara progresif, dan menggunakan pendapatan dari cukai untuk mendanai pelayanan kesehatan. Dengan adanya peningkatan produksi SKT tetapi harganya murah rata rata 10 ribu dan hal itu perlu dikendalikan Indonesia hanya berlaku dua barang yang dikenakan cukai berbeda dengan Thailand yang sudah lebih dari 20 brang yang kena cukai. Sehingga alokasi dana kesehatan untuk penurunan prevelansei rokok lebih besar daripada Indonesia.

IHEA Pre-Congress ini menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi lintas sektor. Utamanya dalam mewujudkan kebijakan cukai tembakau yang berpihak pada kesehatan rakyat. Para peserta berharap agar hasil diskusi ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah. Sehingga bisa merumuskan kebijakan fiskal yang lebih responsif terhadap tantangan kesehatan.

 

 

Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi

Bagikan:
Source: cukai orkok
Tags: bea dan cukaiCenter for Indonesia’s Strategic Development InitiativesCISDIcukai hasil tembakauCukai RokokKomnas Pengendalian TembakauKomnas PTTarif Cukai Hasil TembakauUniversitas Indonesia

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.