Sepanjang tahun 2022 ini ada satu perjalanan penyakit yang membuat saya belajar tentang kefanaan hidup. Penyakit itu bernama kanker. Kata ‘kanker’ secara umum sudah banyak kita jumpai paling sederhana dalam bungkus rokok. Selain rokok, pemicu kanker lainnya adalah pola hidup yang tidak sehat, gizi yang tak seimbang, dan kurang berolahraga.
Sebagai warga gereja Katolik di Keuskupan Sufragan Bogor, secara otonom kami memiliki tema yang berbeda dari wilayah lain. Tahun ini temanya adalah ‘Mari Berjalan Bersama Menuju Betlehem’. Dalam kisah kelahiran Yesus Kristus, ada beberapa orang selain Yusuf dan Maria yang menghadiri kelahiran Yesus. Mereka adalah para gembala domba dan tiga raja yang mendapat kabar kelahiran sang Juruselamat. Sepertinya, tema ini ingin mengajarkan umat belajar memposisikan diri selain Maria dan Yusuf untuk menyambut Kristus.
Perjalanan mengikuti Kristus tidak sebatas berhenti di Betlehem. Kisah kelahiran hanyalah satu momentum awal untuk sebuah perjalanan panjang sejarah manusia yang bernama Yesus. Artinya, berjalan bersama menuju Betlehem merupakan ajakan untuk sepanjang hayat berjalan dan mengikuti ajaran Kristus.
Tidak ada ajaran Kristus yang bertentangan dengan ajaran agama atau keyakinan apapun. Sabda mutakhir dia yang paling berat adalah ‘kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri.’ Artinya, kasih diyakini sebagai modal utama untuk melakukan perjalanan bersama sesama manusia di kehidupan dunia yang fana.
Berjalan bersama dalam konteks ini juga tentu berlaku untuk pendampingan kepada mereka yang sakit dan kurang beruntung. Salah satunya adalah para penderita kanker. Setidaknya, ada dua orang yang menginspirasi saya untuk belajar berjalan bersama dan hidup berdampingan dengan sakit yaitu; ibu saya dan senior jurnalis Bangka Belitung, El Tjandring.
Kekalahan sistem kesehatan
Ibu saya divonis kanker rahim pada tahun 2020 tepat di masa awal pandemi Covid-19. Saya masih ingat jelas ketika mendadak pada Februari 2020 ibu saya mengeluh perut sakit dan buang air kecil berdarah. Kami berdua mengecek dan dugaan medis sementara ada tumor dalam rahim Mama.
Tiba-tiba, awal Maret 2020 pandemi Covid-19 meledak. Kocar-kacir sistem kesehatan berusaha memproteksi masyarakat dan tenaga medis dari incaran si virus yang saat itu belum ada vaksinnya.
Kekisruhan penanganan Covid-19 di Indonesia membuat Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada 10 Maret 2020 menulis surat kepada Presiden Joko Widodo. Isi surat adalah meminta pemerintah Indonesia segera meningkatkan mekanisme tanggap darurat menghadapi Covid-19 melalui deklarasi darurat nasional. Akhirnya, pada 15 Maret 2020, Jokowi meminta pemerintah daerah segera membuat kebijakan belajar dari rumah untuk pelajar dan mahasiswa. Hingga akhir Maret 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Pada tanggal 27 Maret 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien positif covid-19 mencapai 1.406 orang.
Dengan berbagai pertimbangan, pemerintah pun menetapkan peraturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Selain itu, Presiden juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Dalam kondisi kritis, pasien kanker termasuk pasien kanker yang baru divonis seperti ibu saya, harus bersabar dengan konsultasi melalui telemedisin. Operasi besar diprioritaskan untuk kelahiran bayi.
Ketidakpastian penyebaran virus dan kebingungan kami harus mengurus administrasi pengobatan membuat penundaan operasi sampai dua bulan. Barulah pada 1 Mei 2020, ibu saya mendapatkan kesempatan untuk operasi di RS Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. Operasi berjalan lancar, tumor di rahim berhasil diangkat, namun ternyata tumornya berjenis kelamin ganas. Artinya, ibu saya resmi menyandang status penderita kanker rahim stadium 1C.
Masih ada ruang syukur yang teramat dalam ketika Mama berhasil melalui maut dalam meja operasi saat usianya sudah berkepala enam. Sayangnya, penderita kanker tidak pernah lepas dari anjuran untuk melalui kemoterapi. Dengan berbagai pertimbangan dan atas kehendak Mama, dia mau melanjutkan perawatan dengan kemoterapi selama 8 kali di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat.
Usai menuntaskan kemoterapi, cobaan masih menimpa kami dengan terjangkitnya ibu dan bapak saya dengan Covid-19 varian Delta. Kali ini, saya berjalan bersama bapak dan ibu yang keduanya lansia dengan nasib yang tak menentu karena keterbatasan ruang perawatan di rumah sakit. Padahal, ayah saya juga seorang penderita diabetes dan asma, yang mana kelompok paling rentan terhadap Covid-19.
Berjalan bersama orang tua dalam masa sakitnya, ada perasaan aneh berupa gugatan terhadap kelambanan sistem kesehatan nasional. Mengapa begitu sulit untuk memprioritaskan kelompok rentan ketika menghadapi krisis? Mengapa begitu sulit memprioritaskan penderita penyakit kritis di luar Covid-19? Mengapa atas nama Covid-19, seolah-olah penyakit lain diabaikan?
Asumsi-asumsi dalam naluri saya terafirmasi ketika saya akhirnya harus berhadapan dengan wafatnya ibu saya pada tahun 2022 ini. Dalam waktu dua minggu saja, saya harus melawan kecepatan metastasis kanker ibu saya, berkeliling dari satu rumah sakit, ditolak, dan pergi ke rumah sakit lain. Saya harus bolak-balik rumah sakit swasta (RS Siloam Jakarta dan RS Carolus Salemba), ke rumah sakit pemerintah (RS Cipto Mangunkusumo), dan masih juga ditelantarkan akibat keterbatasan sumber daya manusia. Saya harus bolak-balik sampai adik saya harus membentak staf rumah sakit pemerintah untuk bisa mendapatkan satu saja kasur untuk ibu saya. Dalam waktu yang sangat cepat, saya harus menghadapi sulitnya memperjuangkan hak kesehatan ibu saya yang menderita kanker di tengah kenaikan kasus Covid-19. Hingga akhirnya, dengan mata kepala saya sendiri, saya harus menghadapi ketidakberdayaan ibu melawan kanker hingga menghembuskan nafas terakhir pada 17 Agustus 2022.
Saya kerap merasa pemerintah memang bersembunyi dari kegagalan mereka menyediakan layanan kesehatan. Faktanya, saya merasakan sendiri kelumpuhan layanan kesehatan atas nama kedaruratan Covid-19. Bahkan, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pada tahun 2021 mengakui memang ada potensi lumpuhnya sistem kesehatan Indonesia jika kasus positif Covid-19 terus mengalami kenaikan. Prof. Wiku beralasan, penambahan kasus positif secara harian akan berimbas pada meningkatnya keterisian tempat tidur di rumah sakit (RS) dan meningkatkan beban tenaga kesehatan.
Selang dua bulan kemudian, saya menerima kabar seorang kawan senior jurnalis dari organisasi Aliansi Jurnalis Independen, El Tjandring, Redaktur Bangka Pos, menderita kanker. Kondisinya memang tak lebih baik dari kasus yang dialami ibu saya.
BPJS Kesehatan tidak inklusif
Pada akhir November 2022, saya mencoba menjenguk Bang El Tjandring (panggilan khusus untuk senior dalam jurnalis) di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Ini adalah pertama kalinya saya menjumpai Bang El, yang sejak Agustus 2022 lalu hijrah dari Bangka Belitung ke Jakarta untuk pengobatan kanker. Ternyata, perjalanan sakit Bang El cukup panjang, sudah setahun dia bergulat dengan kanker.

Awalnya Bang El tidak menduga dia sakit kanker. Dia hanya kerap mengeluhkan rasa nyeri yang tak lazim pada otot-otot kaki. Bertahap, dia harus kehilangan kendali atas kakinya dan mulai duduk di kursi roda. Dengan bermodalkan kartu BPJS Kesehatan, dia berobat ke Rumah Sakit Bakti Timah (RSBT) Pangkalpinang. Menurut cerita sang istri, Fyllalinas Feoh (38), rumah sakit di Pangkalpinang tidak kunjung berhasil mendeteksi sumber penyakit Bang El. Mau tak mau, Bang El harus melalui pemeriksaan MRI. Lagi-lagi, sistem kesehatan yang tidak inklusif menunjukkan batang hidungnya. Layanan MRI di rumah sakit wilayah Pangkalpinang tidak bisa diakses pasien yang hanya bermodalkan BPJS Kesehatan. Dengan segala cara, Bang El dan istri terbang ke Palembang untuk bisa mendapatkan layanan MRI. Lagi-lagi, dua bulan menunggu, El Tjandring dan istri tidak mendapatkan konfirmasi untuk melakukan MRI. Barulah pada April 2022, El mendapat kabar layanan MRI tersedia di RS Pertamina, Jakarta. Hasil observasi menunjukkan ada penjepitan di lumbal (tulang belakang bawah), ada kerusakan di cervical (tulang belakang atas), organ ginjal. Diduga terjadi kesalahan penanganan yang cukup lama.
Untuk melanjutkan proses pengobatan, ayah tiga anak ini dianjurkan untuk operasi kanker di RS Fatmawati, Jakarta. Akhirnya pada 23 Agustus 2022, Bang El melalui proses operasi angkat kanker di organ ginjal. Selama proses penantian, Bang El dan istri harus berjibaku hidup di rumah singgah Pemerintah Kota Pangkalpinang di Jakarta.
Setelah proses operasi selama delapan jam, tim dokter di RS Fatmawati mengaku belum berhasil menemukan sumber asal atau induk kanker Bang El. Kondisi ini memicu ketidakpastian. Namun dalam pengharapan, Bang El dan istri tetap menanti. Dengan semangat melanjutkan rawat jalan, El Tjandring dan Fylla kembali tinggal di rumah singgah selama beberapa bulan. Bang El mengikuti perawatan jalan dan observasi di Griya Husada RS. Fatmawati. Tentu biaya yang dikeluarkan cukup besar, sehingga banyak bantuan dari rekan jurnalis termasuk Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta yang mencoba memfasilitasi donasi untuk El Tjandring. Fylla mengakui sekalipun proses pengobatan ini terlampau lamban, tetapi BPJS Kesehatan sangat meringankan pengeluaran selama proses pemulihan.
“Tapi kondisi bapak tidak membaik, sudah hampir 7 bulan saya di Jakarta, disini [RS Fatmawati] sudah sampai biopsi dan segalanya, tetapi belum ditemukan sumber kankernya,” kata Fylla kepada saya, seusai kami ikut dialog dengan tim dokter Bang El.
Salah satu dokter dalam diskusi mengatakan, tim medis menduga induk kanker Bang El adalah di bagian tulang belakang. Kondisi inilah yang membuat Bang El perlahan menjadi lumpuh. Untuk bangkit duduk saja pun Bang El sudah tidak sanggup. Senada, dua orang dokter lain yang tergabung dalam tim medis membenarkan bahwa ada perkembangan sel kanker.
Melihat dengan mata kepala kondisi Bang El membangkitkan kembali memori dan kegelisahan pada buruknya sistem kesehatan di Indonesia. Sorot mata lemah Fylla, mengingatkan saya pada kondisi batin saya yang pernah mengalami hal serupa. “Kami capek. Kami mau pulang [ke Bangka Belitung], karena rindu sekali dengan anak-anak,” ujar Fylla.
Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, pria kelahiran 29 Juni 1978 ini memutuskan pulang ke Bangka Belitung menjumpai keluarga dan merayakan Natal bersama anak-anak. Proses kepulangan juga tak mudah karena masih ada prosedur obat kemoterapi secara oral yang kemungkinan besar hanya bisa ditebus di Jakarta. Kerumitan prosedur ini makin membuat saya gerah dan merapal mantra agar sistem kesehatan tidak hanya cepat tanggap tetapi juga inklusif.
Pada 20 Desember 2022 saya hanya membaca pilu pesan singkat dari WhatsApp, kabar duka meninggalnya Bang El di Pangkalpinang. Lima hari sebelum Natal, Bang El telah menuntaskan rindu kepada keluarga dan melalui maut dengan memilih hidup kekal bersama Tuhannya.
Natal pada akhirnya bukan sekadar kelahiran, dia tentang sebuah perjalanan. Ketangguhan dalam berjalan bersama mereka yang sakit juga menjadi sebuah teladan Kristus yang tidak boleh dilupakan dalam amal hidup sehari-hari. Pada akhirnya, memaknai berjalan bersama ke Betlehem berarti merawat, mendampingi, mengantisipasi, dan berani mengevaluasi. Ada peran untuk merawat yang sakit, sampai peran mencegah orang jatuh sakit, mengevaluasi kecenderungan hidup yang kurang sehat, mengantisipasi orang candu zat adiktif hingga minuman berpemanis.
Pemaknaan Natal juga membawa sebuah harapan kepada pemangku kebijakan; tidaklah masalah untuk mengaku kalah. Termasuk ketika kalah menciptakan sistem dan ruang aman yang setara bagi mereka yang sakit dan terabaikan. Selamat Natal Sobat Sehat, dan selamat melanjutkan perjalanan.
Discussion about this post